Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Apakah Revolusi Saffron Akan Terulang Lagi di Myanmar?

17 Maret 2021   16:42 Diperbarui: 18 Maret 2021   17:06 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sekitar 6 minggu sejak kudeta militer di Myanmar dimulai pada 1 Februari 2021. Keadaan di sana pun tidak kian membaik seiringan dengan berita-berita yang dirilis dari meningkatkan anti-China dengan pembakaran pabrik, negara-negara yang mulai menarik warga negaranya dari Myanmar, harga makanan yang semakin mahal hingga korban yang tembus 180 orang hari ini (17/03/21).

Para biksu bersama dengan rohaniawan dari agama lain di Myanmar mulai turun di jalan untuk menyuarakan kudeta militer yang sudah memakan banyak nyawa. 

Berita yang menunjukkan para biksu turun ke jalan meningatkan penulis dengan salah satu aksi terbesar, dengan korban terbanyak dan menurut penulis paling sukses dalam melawan keputusan militer Myanmar, yaitu Revolusi Saffron. 

Revolusi Saffron bahkan dianggap sebagai demonstrasi yang membantu membuka jalan reformasi demokrasi di Myanmar hingga sekarang.

Revolusi Saffron

Revolusi Safron adalah serangkaian protes dan demonstrasi akan kebijakan ekonomi dan politik pemerintah Myanmar yang saat itu dipegang kendali oleh militer dari Agustus--Oktober 2007.

Demonstrasi yang terjadi 14 tahun lalu ini dipicu oleh keputusan pemerintah militer yang mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Penghapusan subsidi ini menyebabkan harga BBM naik 66-100% dan bagaikan domino, harga kebutuhan sehari-hari masyarakat pun ikut naik.

Serangkaian protes dan demonstrasi dipimpin oleh para mahasiswa, aktivis politik, perempuan Myanmar, dan juga para biksu yang melakukan demonstrasi tanpa kekerasan.

Awalnya hanya sedikit biksu yang ikut serta dalam demonstrasi ini. Namun pada 5 September 2007, pasukan militer membubarkan secara paksa demonstrasi damai dan melukai 2 biksu dan seorang biksu terbunuh. 

Para biksu menuntut permintaan maaf dari pemerintah dan memberi waktu hingga 17 September 2007, namun pemerintah menolak untuk meminta maaf.

Setelah kejadian tersebut, sekitar 30.000 hingga 100.000 orang turun ke jalan. Para biksu "memerahkan" jalanan kota Myanmar, di mana dilaporkan barisan para biksu membentang hingga 1 kilometer. 

Penamaan Revolusi Saffron sendiri diambil dari warna jubah biksu Myanmar yang mirip dengan warna merah dari tanaman rempah Saffron atau dalam bahasa Indonesia disebut Kuma-Kuma.

Hingga sekarang, korban dari Revolusi Saffron masih belum jelas dengan perbedaan jumlah dari berbagai sumber. Salah satunya adalah data menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana sekitar 30-40 biksu dan 50-70 warga sipil tewas. Selain itu, sekitar 1.000 orang yang terdiri dari para biksu, aktivis politik, dan masyarakat sipil ditangkap dan diberikan hukuman hingga 75 tahun penjara.

Aung San Suu Kyi di depan rumahnya untuk memberi hormat kepada para biksu di tahun 2007 | Foto diambil dari The Times 
Aung San Suu Kyi di depan rumahnya untuk memberi hormat kepada para biksu di tahun 2007 | Foto diambil dari The Times 

Aung San Suu Kyi

Salah satu kejadian yang menarik ketika Revolusi Saffron terjadi pada 22 September 2007. Saat itu, sekelompok biksu bersama masyarakat berkumpul di depan rumah Aung San Suu Kyi yang saat masih dalam tahanan rumah. 

Suu Kyi kemudian muncul di depan umum untuk pertama kalinya selama 4 tahun menjadi tahanan rumah untuk memberi hormat dan menerima berkat dari para biksu.

Munculnya Suu Kyi ini kemudian menghebohkan masyarakat sekaligus para biksu. Kejadian ini menjadi kejadian ke-2, setelah kematian seorang biksu, yang meningkatkan partisipasi para biksu dalam demonstrasi tersebut.

Seorang biksu yang membalikkan mangkuk persembahan sebagai bentuk protes ketika Revolusi Saffron | Foto diambil dari Reuters/Landov
Seorang biksu yang membalikkan mangkuk persembahan sebagai bentuk protes ketika Revolusi Saffron | Foto diambil dari Reuters/Landov

Patam nikkujjana kamma

Sebelum Revolusi Saffron, para biksu awalnya tidak pernah ikut serta dalam permasalahan politik Myanmar. Hal tersebut berubah dan Revolusi Saffron menjadi awal dari tanda dari perubahan para biksu.

Sekarang, melihat para biksu yang turun ke jalanan adalah hal yang kerap terjadi di negara yang 90% populasinya beragama Buddha. Bukan hanya ikut mengemukakan pendapat, mereka juga kerap berpartisipasi sekaligus memberikan kontribusi besar dalam perkembangan politik di Myanmar.

Salah satu bentuk protes dari para biksu adalah melalui patam nikkujjana kamma yang berarti "membalikkan mangkuk persembahan". Mereka melakukan boikot terhadap tokoh militer beserta keluarganya yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran Buddha dan mengancam demokrasi Myanmar. 

Pemboikotan tersebut dilakukan dengan para biksu yang menolak persembahan sedekah dari tokoh yang mereka boikot. Bukan hanya menolak persembahan, para biksu juga menolak memberikan layanan spiritual kepada tokoh militer.

Penolakan ini dianggap sangat berpengaruh kepada reputasi seseorang, sebagaimana ketika persembahan mereka ditolak maka mereka tidak mendapatkan pahala sesuai dengan ajaran Buddha di Myanmar. 

Menurut tradisi agama Buddha khususnya ajaran Theravada, umat yang memberikan persembahan kepada biksu akan mendapatkan karma baik yang melimpah agar di kehidupan selanjutnya dapat terlahir di alam bahagia. 

Penolakan ini dipandang sebagai gerakan simbolis paling kuat di Myanmar yang adalah negara yang sangat religius.

Para biksu yang
Para biksu yang "memerahkan" jalanan Myanmar sambil dilindungi oleh masyarakat sipil di tahun 2007 | Foto diambil dari The New York Times

Sebuah keretakan hubungan

Dikutip dari Reuters (17/03/21), hari ini sebuah kelompok biksu Buddha paling kuat dan berpengaruh di Myanmar, The State Sangha Maha Nayaka Committee (Mahana), meminta militer Myanmar untuk berhenti melakukan kekerasan kepada para demonstran. 

Permintaan ini dirilis melalui draft pernyataan sikap Mahana. Mahana adalah salah satu dari beberapa kelompok biksu yang berada di garis terdepan dalam Revolusi Saffron.

Selain Mahana, Skwekyin Nikaya yang merupakan kelompok biksu Buddha terbesar ke-2 di Myanmar juga mendesak untuk segera menghentikan serangan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Mereka juga meminta para militer untuk menahan diri untuk tidak merusak properti masyarakat.

Pernyataan sikap yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut disebut sebagai tanda keretakan yang signifikan antara pemerintah dan kelompok biksu yang biasanya memiliki hubungan yang baik setelah Revolusi Saffron.

Perlu ditegaskan, Mahana beserta Skwekyin Nikaya adalah 2 dari 9 kelompok biksu yang disetujui pembentukkannya oleh pemerintah Myanmar berdasarkan Law Relating to the Sangha Organization yang dibuat pada Oktober 1990.

Sebuah kelompok bernama Saffron Sangha Network mengeluarkan sebuah surat yang mengancam militer untuk melakukan patam nikkujjana kamma jika militer memasuki biara dan tempat suci agama lainnya dan mengancam para rohaniawan, maka para biksu seluruh Myanmar akan membalikkan mangkuk mereka.  

*

Menurut penulis, kemungkinan demonstrasi di Myanmar yang terjadi hingga sekarang akan berkembang menjadi Revolusi Saffron yang ke-2 cukuplah besar. Hal ini dilihat dari pernyataan sikap kedua kelompok tersebut, sebagaimana melihat para biksu memiliki peran kunci di Revolusi Saffron.

Apalagi ditambah dengan keadaan yang semakin memburuk seiringan dengan meningkatnya kekerasan yang dialami oleh para demonstran. Ibarat bola salju yang terus bergulir dan kian lama kian membesar, keadaan bukannya membaik justru terus memburuk setiap harinya di Myanmar.

Walaupun begitu, hingga sekarang tidak seluruh biksu serta kelompok biksu menolak kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar. Sama dengan masyarakat biasanya, para biksu juga terpecah dengan pendapatnya dalam menolak ataupun mendukung kudeta ini. Hal ini juga terjadi pada konflik Rohingya di Myanmar dimana terjadi perpecahan pendapat. 

Menurut penulis, jika semakin banyak kelompok yang menolak kudeta maka kemungkinan mereka untuk turun ke jalan mengikuti demonstrasi juga akan semakin besar. 

Sumber: 1,2 dan 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun