Cakwe adalah salah satu cemilan yang dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia. Cemilan satu ini selain dimakan sendiri juga kerap dimakan sebagai makanan pendamping bubur, susu kedelai, kopi panas, hingga dinikmati bersama dengan saus kacang. Cemilan renyah dengan rasa yang gurih ini berbentuk mirip dengan dua guling yang dijadikan satu.
Bukan hanya di Indonesia, cakwe juga digemari oleh masyarakat dari negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Sejarah cakwe bermulai dari China, tepatnya ketika Dinasti Song pada Abad ke-12. Ternyata cemilan yang sudah berusia kurang lebih 740 tahun ini memiliki sejarah yang buruk, penuh dengan dendam dari sebuah tindakan pengkhianatan. Bukan hanya itu, cakwe saat itu juga dijadikan sebagai sebuah simbol kebencian.
Hantu yang digoreng
Cakwe dalam Bahasa Hokkien diartikan sebagai “hantu yang digoreng”. Nama ini sangat berhubungan erat dengan sejarah dari dibuatnya cakwe itu sendiri. Mirip dengan arti dari cakwe, dalam Bahasa Kanton cakwe dikenal dengan sebutan yàuhjagwái yang berarti hantu yang digoreng di minyak panas. Berbeda dengan penamaan cemilan asal China lainnya yang memiliki filosofi yang membawa keberuntungan ataupun keindahan, cemilan satu ini justru menggunakan nama yang menyeramkan.
Hasutan yang berujung kematian
Sejarah cakwe dimulai pada Dinasti Song yang berkuasa dari tahun 1127 hingga 1279. Dinasti Song memiliki seorang Jenderal Utama yang sangat terkenal akan kemahirannya dalam memimpin pasukannya yaitu Jenderal Yue Fei (岳飛) yang lahir pada 24 Maret 1103. Yue Fei sukses membantu Dinasti Song menaklukan musuh dan merebut kembali kota milik Dinasti Fong yang awalnya direbut oleh Dinasti Jin.
Ketika Yue Fei sedang pergi berperang untuk merebut wilayah Kaifeng, seorang pejabat yang korup yaitu Kanselir Qin Hui (秦檜) menasehati Kaisar Gaozong untuk menyuruh Yue Fei kembali ke ibu kota dan membatalkan perebutan wilayah tersebut. Ia menghasut Kaisar Gaozong dengan alasan apabila Yue Fei kalah, sudah pasti Kaisar Gaozong akan jatuh dari takhtanya. Hasutan ini membuat Kaisar Gaozong ketakuan, dan buru-buru menyuruh Yue Fei cepat pulang.
Siapa sangka ternyata Qin Hui adalah seorang pengkhianat yang ternyata bekerja untuk musuh dan menjadi mata-mata. Setelah Yue Fei pulang, Qin Hui memenjarakan Yue Fei dan ia mengatur agar Yue Fei dieksekusi secepatnya atas sebuah tuduhan palsu buatannya. Ini semua ia lakukan agar Dinasti Song tidak semakin kuat.
Setelah dua bulan Yue Fei disiksa di penjara, Qin Hui tidak dapat membuat Yue Fei mengaku sesuai dengan tuduhan palsu yang ia buat. Masyarakat juga mulai protes untuk pembebasan Yue Fei. Qin Hui dan istrinya kemudian mendapatkan ide untuk menyelipkan sebuah pesan rahasia di kulit jeruk kepada hakim yang memimpin pengadilan Yue Fei untuk mengeksekusi Yue Fei secepatnya tanpa pemberitahuan kepada Kaisar dan masyarakat.
Terdapat beberapa sumber yang menyatakan informasi yang berbeda bagaimana Yue Fei meninggal pada 28 Januari 1142, antara dicekik hingga meninggal, disergap dan dibunuh, diracuni, hingga “dibunuh secara licik”.
Kesedihan dan kemarahan masyarakat
Berita tentang pengkhianatan Kanselir Qin Hui akhirnya diketahui oleh masyarakat. Mendengar Jenderal Utama yang dikagumi oleh banyak masyarakat telah dibunuh karena sebuah tuduhan palsu, masyarakat Dinasti Song saat itu sangatlah sedih dan marah kepada Qin Hui.
Di saat yang bersamaan, saat itu ada seorang pedagang kaki lima yang bernama Wang Xiao Er dan Li Si yang sedang mencari ide untuk menjual makanan. Melihat kesedihan dan kemarahan masyarakat kepada Chin Hui, mereka mendapatkan ide apa yang harus mereka jual. Mereka menggoreng dua adonan tepung yang mirip dengan dua badan manusia yang merepresentasikan Qin Hui dan istrinya.
Kreasi mereka diberikan nama Char Hui (油炸檜) yang berarti Hui yang digoreng di minyak yang sangat panas. Wang Xiao Er dan Li Si kemudian mempromosikan kreasinya ini dengan teriakan “Dijual Hui Goreng!” yang menarik perhatian masyarakat. Bukan hanya menarik perhatian masyarakat yang penasaran apa itu Hui goreng, kreasi ini juga menarik perhatian Chin Hui. Ia marah besar dan mencari penjual Char Hui ini di pasar bersama dengan pengawalnya, tetapi masyarakat justru berkumpul bersama dan berteriak:
“Kau, Qin Hui, mengingatkan kami agar tidak pernah menjadi pengkhianat,
Pengkhianat tidak bisa kabur dari gerbang nereka,
Semua orang akan memakanmu, Qin Hui,
Pengkhianat sudah dimasak dalam minyak panas neraka sebelum meninggal.”
Mendengar teriakan dari masyarakat, Qin Hui dan pengawalnya dalam diam meninggalkan mereka. Walaupun terbukti telah melakukan pengkhianatan, Qin Hui dan istrinya hidup hingga masa tuanya tanpa ada hukuman dari Kaisar Gaozong.
Patung Qin Hui dan istri di Kuil Yue Fei
Terletak di Hangzhou, China, terdapat sebuah kuil yang dibangun untuk menghormati Jenderal Yue Fei. Kuil ini dibangun pada tahun 1221 oleh Dinasti Song, 79 tahun setelah Yue Fei dieskekusi mati atas tuduhan palsu Qin Hui. Selain dapat mengunjungi makam Yue Fei, terdapat patung Qin Hui dan istrinya yang sudah tua berlutut di depan makam Yue Fei.
Pengunjung yang datang kerap mengutuk, meludahi, bahkan mengencingi kedua patung ini. Ketika penulis mengunjungi Kuil Yue Fei beberapa tahun yang lalu, penulis juga melihat beberapa orang yang tempak sedang memarahi patung Qin Hui dan istrinya.
Sekarang Yue Fei dianggap sebagai seorang pahlawan nasional di China dan kematiannya dijadikan sebagai sebuah teladan kesetiaan dalam budaya milik China. Sedangkan Qin Hui dan istrinya dianggap sebagai pengkhianat dan dibenci oleh masyarakat saat itu.
Walaupun Qin Hui dan istrinya tidak dihukum oleh Kaisar, mereka dihukum selamanya oleh masyarakat saat itu (dan mungkin dihukum oleh kita juga) secara simbolis dengan menggorengnya dengan minyak panas dan memakannya. Minyak panas disini juga menjadi simbol akan minyak panas neraka, sebagaimana kerap dituliskan dalam budaya Tionghoa dimana seseorang yang berdosa kelak akan digoreng di minyak panas neraka.
Walaupun masih diceritakan turun temurun sebagai sebuah peristiwa penting di China, di Indonesia sendiri sejarah ini sangat jarang diketahui oleh masyarakat. Tidak heran karena cakwe sendiri sebenarnya sudah berusia cukup lama dan bermigrasi dari China melewati negara-negara lain di Asia Tenggara, barulah sampai di Indonesia.
Dari tulisan ini, penulis berharap ketika Anda menikmati cakwe, mungkin Anda bisa teringat bagaimana kesetiaan Jenderal Utama Yue Fei dan pengkhianatan Qin Hui diabadikan lewat cemilan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H