Mohon tunggu...
Jeni Elkana
Jeni Elkana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan pada Wanita Hamil

28 Februari 2024   20:33 Diperbarui: 28 Februari 2024   20:46 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Mengapa Pernikahan Wanita Hamil Terjadi dalam Masyarakat?

Pernikahan wanita hamil dapat terjadi dalam masyarakat karena berbagai faktor kompleks. Salah satunya adalah nilai-nilai sosial dan budaya yang masih melekat di beberapa komunitas di mana pernikahan dianggap sebagai langkah yang diharapkan ketika seorang wanita hamil. Beberapa alasan utama dapat mencakup:

A. Norma-Norma Sosial: Beberapa masyarakat memiliki norma-norma yang menghargai pernikahan sebagai bentuk legitimasi hubungan seksual dan kehamilan. Oleh karena itu, untuk menjaga norma-norma ini, pernikahan seringkali dianggap sebagai solusi yang diterima oleh masyarakat.

B. Stigma Sosial: Dalam beberapa kasus, wanita hamil di luar pernikahan masih dihadapkan pada stigma sosial. Pernikahan dapat menjadi cara untuk menghindari stigma ini dan mendapatkan dukungan sosial yang lebih besar.

C. Tekanan Keluarga atau Agama: Beberapa wanita mungkin mengalami tekanan dari keluarga atau agama mereka untuk menikah jika mereka hamil di luar nikah. Keluarga atau agama dapat melihat pernikahan sebagai cara untuk memperbaiki situasi dan mengembalikan "kehormatan" keluarga.

D. Pemenuhan Tanggung Jawab Orang Tua: Terkadang, pernikahan di tengah kehamilan dianggap sebagai langkah yang bertanggung jawab, terutama jika ada rencana untuk membesarkan anak bersama-sama. Ini bisa dilihat sebagai komitmen untuk memberikan lingkungan keluarga yang stabil bagi anak yang akan lahir.

E. Aspek Ekonomi: Ada situasi di mana pernikahan dianggap sebagai solusi praktis, terutama jika pasangan berdua berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Pernikahan dapat memberikan kestabilan finansial dan keamanan bagi kedua orang tua dan anak yang akan datang.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pernikahan karena kehamilan tidak selalu membawa kebahagiaan atau kestabilan jangka panjang. Beberapa pernikahan semacam itu mungkin menghadapi tantangan tambahan, dan keberlanjutan hubungan dapat tergantung pada faktor-faktor seperti kompatibilitas, dukungan emosional, dan komitmen jangka panjang.


2. Apa yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan wanita hamil?

  • Usia pelaku belum mencapai batas yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan, sehingga wanita yang menikah di usia muda lebih berisiko untuk hamil sebelum menikah
  • Tingkat pendidikan yang rendah. Wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah lebih berisiko untuk hamil sebelum menikah.
  • Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dapat meningkatkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan.
  • Pengalaman pelecehan seksual. Wanita yang pernah mengalami pelecehan seksual lebih berisiko untuk hamil sebelum menikah.
  • Tidak memiliki kesiapan finansial yang cukup untuk melangsungkan perkawinan.
  • Tidak mendapatkan izin orang tua sehingga  mereka berpikiran jika sudah hamil terlebih dahulu maka mau tidak mau pasti nantinya orang tua akan mengizinkan dan merestui pernikahan tersebut .
  • Laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat izin untuk melakukan poligami sehingga ia secara diam-diam  melakukan hubungan yang terlarang dengan wanita lain sehingga terjadi perkawinan wanita hamil.
  • Kurangnya pengawasan dari orang tua sehingga anak melakukan perilaku menyimpang dari norma yang berlaku dalam masyarakat baik dalam norma agama maupun norma hukum (pergaulan bebas) yang mengakibatkan resiko adanya seks diluar nikah.
  • Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual.

3. Bagaimana Argumen Pandangan Ulama Tentang Pernikahan Wanita Hamil?

1. Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya (lelaki dan wanita yang berzina boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan apabila telah bertaubat dan telah menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina..

2. Imam Abu Yusuf mengatakan bahwa keduanya tidak boleh dikawinkan, sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Tidaklah pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.

3. Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dengan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:

a. Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.

b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.

4. Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun