Sejarah Pencatatan Perkawinan di IndonesiaÂ
Sejarah hukum perkawinan Islam di Indonesia pada tiga masa, yaitu:
1. Masa penjajahan
2. Masa kemerdekaan sebelum lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Setelahnya
Sejarah pencatatan perkawinan di Indonesia mencerminkan perubahan hukum yang terjadi selama masa penjajahan dan pasca kemerdekaan. Selama masa penjajahan Belanda, terdapat dua pendekatan terhadap hukum perkawinan Islam. Pertama, dengan menerapkan teori receptio in complexu, hukum Islam dijadikan sebagai sumber hukum bagi perkawinan. Kedua, dengan teori receptie, hukum Islam diakui sebagai sumber hukum, namun harus sesuai dengan hukum adat. Di bawah pemerintahan Jepang, tidak ada pengaturan khusus terkait hukum perkawinan Islam, yang berarti hukum Islam tetap dijadikan sebagai sumber hukum perkawinan di Indonesia.
Setelah kemerdekaan, sebelum lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dua undang-undang yang mengatur pencatatan nikah, talak, dan rujuk, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Undang-undang ini mencerminkan upaya untuk mengatur perkawinan dengan memperhatikan keberagaman masyarakat hukum di Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura.
Setelah lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terjadi dua fase penting dalam sejarah pencatatan perkawinan. Pertama, adalah fase pengesahan undang-undang tersebut, yang bertujuan untuk menghasilkan unifikasi dalam hukum perkawinan tanpa menghilangkan keberagaman yang harus diakui. Kedua, adalah fase penerapan undang-undang tersebut dengan pembentukan Kompilasi Hukum Islam melalui Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dan tindak lanjutnya dengan Surat Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991. Hal ini menandai langkah menuju harmonisasi antara hukum nasional dan hukum Islam dalam mengatur perkawinan di Indonesia.
Pentingnya Pencatatan PerkawinanÂ
Ada beberapa alasan mengapa pencatatan perkawinan diperlukan:
 1. Kepastian Hukum: