Mohon tunggu...
Wiranto
Wiranto Mohon Tunggu... Guru - Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Hobi membaca dan menulis terutama cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Membahagiakan Sekolah

17 April 2023   13:22 Diperbarui: 17 April 2023   13:26 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Wiranto

Apakah selama ini sekolah telah mampu membuat anak didik bahagia? Sepertinya tidak? Buku berjudul Happy Schools: A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific terbitan UNESCO (2016) melaporkan hasil survei di negara-negara kawasan Asia-Pasifik yang melibatkan 654 responden dan menemukan bahwa kebahagiaan masih menjadi barang mahal di sekolah. Termasuk Indonesia tentunya.

Apa sumber ketidakbahagiaan itu? Sepertinya sistem pendidikan kita telah salah memaknai kebahagiaan! Ditanamkan pemahaman kepada murid bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui kesuksesan belajar berdasarkan pencapaian nilai raport maupun kelulusan yang tinggi. Ekosistem sekolahpun direkayasa sedemikian rupa untuk mendukung dan mencapai anggapan tersebut.

Tak terkecuali orang tua, mereka berlomba memburu sekolah-sekolah "favorit" sebagai jaminan kebahagiaan bagi anaknya, apapun cara dan berapapun biayanya. Uang, kekuasaan, jabatan, dan koneksi jika perlu dimainkan demi sebuah kursi di sekolah favorit.Pun waktu belajar di sekolah dirasa kurang cukup, sehingga les diberikan sebagai tambahan. Demi apa? Demi nilai ujian kelulusan yang mentereng tentunya. Sang biang kebahagiaan.

Kebahagiaan yang Tidak Membahagiakan

Terjadilah eksternalisasi kebahagiaan. Dipahamkan bahwa sumber kebahagiaan itu letaknya diluar diri, bukan didalam diri. Kebahagiaan ada nun jauh di sana, sulit dijangkau, berbiaya mahal serta hanya bisa digapai orang-orang dengan kekayaan melimpah atau jabatan tertentu. Kebahagiaan bukan untuk murid biasa, apalagi kaum miskin.

Setali tiga uang, murid membangun anggapan yang sama. Motivasi yang berkembang pada diri anak akhirnya juga bersifat eksternal; karena tuntutan orang tua, tuntutan masyarakat, tuntutan persaingan antar teman, dan aneka sebab yang tidak bersumber dari dalam diri.

Murid tumbuh dalam atmosfer persaingan, perundungan dan kekerasan, serta meningkatnya ketakutan peserta didik untuk mengekspresikan kepribadian mereka. Kesalahan menjadi dosa besar yang harus dihindari sehingga murid tak pernah belajar darinya. Murid miskin terus dimiskinkan, sekolah pinggiran terus terpinggirkan. Sementara kaum kaya bergelimang peluang.

Kebahagiaan sulit ditemukan di sekolah karena sistem pendidikan telah terjebak pada semangat Bhetamian dimana kebahagiaan hanya diukur oleh seberapa besar capaian-capain kesuksesan materi yang di dapat; tingginya nilai maupun ranking yang diperoleh serta favorit atau tidaknya sekolah sang anak. Sudah saatnya membahagiakan sekolah! Mau tidak mau.

Berharap Pada Merdeka Belajar

Merdeka Belajar telah hadir untuk membahagiakan sekolah. Menjadikan sekolah tidak hanya sebagai sarana memberikan instruksi pendidikan, tetapi lebih sebagai lingkungan yang memungkinkan untuk pertumbuhan dan perkembangan sosial dan emosional. Kodrat sekolah adalah sebagai tempat yang membahagiakan.

Dalam salah satu karya masterpiece-nya, Democracy and Education (1916), Dewey menegaskan bahwa pendidikan hakikinya berurusan dengan kebahagiaan, dimulai sejak pendidikan itu dirancang hingga dijalankan. Bagi Dewey sekolah adalah taman mini sosial-multikultural, dimana kebahagiaan dialami dan dinikmati lewat peduli dan berbagi.

Membahagiakan sekolah sangatlah penting karena kebahagian adalah prasyarat pendidikan yang berkualitas. Sekolah yang memprioritaskan kebahagiaan pelajar menjadi lebih efektif, dengan hasil belajar yang lebih baik serta pencapaian yang lebih tinggi dalam kehidupan pelajar (Layard and Hagell, 2015). Lantas apa yang perlu dilakukan untuk membahagiakan sekolah?

Pertama, membahagiakan guru. Guru yang bahagia akan selalu berusaha menciptakan kelas yang menyenangkan. Di kelas, mereka akan menumbuhkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam dirinya sehingga menyebar kepada murid-muridnya. Guru bahagia akan menjadi guru-guru yang berani mengambil inisiatif kreatif dalam pembelajaran yang dilakukannya.

Di bawah bimbingan guru bahagia, siswa diberikan kebebasan dalam menyatakan pendapat dan perasaannya tanpa merasa takut mendapat ancaman, dipermalukan, atau penilaian buruk. Membuat suasana belajar menjadi lebih nyaman karena semua masalah pembelajaran diselesaikan dengan damai dan tanpa kekerasan.

Jangan sampai sebuah sekolah didominasi oleh guru yang tak bahagia. Guru macam ini bisa saja menjadi preman-preman yang hobi menggunakan kekerasan. Dalam jangka panjang, kekerasan bisa memunculkan ketidak-bahagiaan dan trauma psikologis. Sebagai korban, mereka akan menyimpan dendam terhadap guru, makin kebal terhadap hukuman, serta cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap murid lain yang dianggap lemah.

Fakta menunjukkan bahwa guru menjadi mayoritas pelaku kekerasan di sekolah dengan jumlah 117 kasus selama 2022 (Antara, 2023). Hingga saat ini masih banyak guru yang menilai bahwa kekerasan masih efektif untuk mengendalikan anak didik. Mereka mengaitkan kekerasan dengan kedisiplinan. Kewibawaan guru dikaitkan dengan ketakutan anak didik. Guru-guru seperti ini harus dibahagiakan!

Kedua, membahagiakan anak didik. Bagi anak didik, sekolah yang membahagiakan adalah sekolah yang menganggap mereka sebagai subyek. Mereka dianggap sebagai individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus. Mereka diarahkan untuk menjadi dirinya sendiri dan bukan menjadi jiplakan siapapun. Anak didik juga dipahamkan bahwa mereka adalah sepenggal narasi yang mempengaruhi sebuah kisah sosial yang lebih besar.

Membahagiakan anak didik bisa dilakukan melalui pembelajaran yang memberikan keleluasaan untuk kritis tanpa ada tekanan sehingga mereka merasa bahagia dalam proses belajarnya. Sekolah harus menghindarkan memperlakukan anak didik sebagai objek yang akan menyebabkan proses pendidikan di sekolah membatu menjadi institusi formal tanpa jiwa.

Jangan sampai sekolah menjadi tempat tak berjiwa, hanya ada relasi kekuasaan monologis guru terhadap murid. Tidak ada ruang-ruang sela untuk meluaskan imajinasi, kreatifitas, inovasi, pikiran-pikiran kritis, dan perkembangan alami anak. Sekolah menjadi tempat pengasingan anak terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sosio-kultural sekitarnya.

Murid merupakan makhluk yang unik penuh dengan misteri, masa depanya penuh dengan teka teki. Tidak ada satupun guru dan orang tua di dunia ini dapat memprediksi secara akurat anak-anaknya akan menjadi apa dan seperti apa. Namun sekolah yang membahagiakan akan membuat mereka menjadi yang terbaik, apapun dan dimanapun mereka akan menjadi.

Ketiga, bahagiakan kurikulum. Lihat India, negara yang menggagas dan menerapkan kurikulum kebahagiaan. Negara tersebut mencatat antara 2014 dan 2016 terdapat lebih dari 26.000 siswanya melakukan bunuh diri, sekitar 30 % di antaranya memutuskan bunuh diri karena gagal ujian. Merespon tragedi pendidikan tersebut, kebijakan "Kurikulum Kebahagiaan" dijalankan oleh Pemerintah Delhi sejak Juli 2018 untuk anak-anak kelas satu hingga delapan. Lihatlah, betapa mengerikan dampak kurikulum yang tidak membahagiakan. Beruntung pemerintah setempat cepat mengambil kebijakan inovatif.

Belum ada data pasti mengenai jumlah angka bunuh diri murid yang murni disebabkan oleh ujian di Indonesia. Namun untuk membahagiakan kurikulum di negeri ini tak perlu menunggu hilangnya nyawa karena ujian. Nilai apapun tidak sepadan dengan hilangnya nyawa, bahkan satu nyawa sekalipun. Beruntung kini kita memiliki Kurikulum Merdeka Belajar yang secara konseptual bertujuan untuk membahagiakan sekolah.

Jelas sudah bahwa membahagiakan sekolah adalah membahagiakan Indonesia. Dari sekolah yang bahagia akan muncul generasi yang mampu berkompetisi dan juga beradaptasi dengan baik dengan segala perubahan kondisi. Generasi unggul nan bahagia inilah yang nanti akan membawa bendera kejayaan bangsa ini. Nah, mari kita membahagiakan sekolah.

Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang berproses menjadi Calon Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun