Gejala "ketidakbahagiaan" semakin diperparah saat ini, kala hampir semua Negara di dunia dihantam pandemi COVID 19. UNESCO mencatat ada 39 negara yang melakukan penutupan sekolah dan merumahkan sekitar 577 juta pelajar (Cicilia, 2020).
Di Indonesia sendiri, dilarangnya pola pembelajaran tatap muka menyebabkan sebanyak 3.017.296 orang guru di seluruh Indonesia sebagai aktor utama dalam pembelajaran mengalami kebingungan metodologis serta guncangan pola berpikir.
Ketidaksiapan sistem persekolahan dan guru dalam mengantisipasi terjangan pandemi menyebabkan kebahagiaan yang belum tercapai, semakin pergi menjauh. Ditambah lagi ketidak-siapan orang tua menjalankan fungsi pendidikan anak dalam keluarga. Situasi "penuh ketidak-bahagiaan" yang menjadikan ancaman terhadap merosotnya kualitas SDM serta  berakibat hilangnya satu generasi (lost generations).
Kini saatnya sistem pendidikan memposisikan ulang sekolah. Tidak hanya sebagai sarana memberikan instruksi pendidikan, tetapi lebih sebagai lingkungan yang memungkinkan untuk pertumbuhan dan perkembangan sosial dan emosional. Sudah saatnya sekolah harus dibahagiakan! Mau tidak mau.
Membangun Kebahagiaan
Dalam salah satu karya masterpiece-nya, Democracy and Education. Dewey menegaskan bahwa pendidikan hakikinya berurusan dengan kebahagiaan, dimulai sejak pendidikan itu dirancang hingga dijalankan. Bagi Dewey sekolah adalah taman mini sosial-multikultural, dimana kebahagiaan dialami dan dinikmati lewat peduli dan berbagi.
Alih-alih menjadikan semacam pacuan kuda untuk memperoleh nilai serta capaian akademik, Â sekolah sejatinya merupakan tempat mengenal jati diri serta kemanfaatan secara sosial. Pembelajaran yang akan mengarahkan peserta didik pada kebahagiaan. Sekolah yang "Memanusiakan Manusia Muda", seperti cita-cita Driyarkara.
Dengan demikian, kebahagian semestinya menjadi prasyarat, bukannya tujuan akhir. Â Menurut "The 2015 World Happiness Report, sekolah yang memprioritaskan kebahagiaan pelajar menjadi lebih efektif, dengan hasil belajar yang lebih baik serta pencapaian yang lebih tinggi dalam kehidupan pelajar (Layard and Hagell, 2015). Lantas apa yang perlu dilakukan untuk membahagiakan sekolah?
Pertama, membahagiakan guru. Guru yang bahagia akan selalu berusaha menciptakan kelas yang menyenangkan. Mereka mudah menumbuhkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam dirinya sehingga menyebar kepada murid-muridnya.
Guru bahagia bisa mengubah dunia karena keberadaannya di kelas mampu mengubah sebuah generasi. Guru bahagia akan menjadi guru-guru yang berani mengambil inisiatif kreatif dalam pembelajaran yang dilakukannya.
Siswa diberikan kebebasan dalam menyatakan pendapat dan perasaannya tanpa merasa takut mendapat ancaman, dipermalukan, atau penilaian buruk. Membuat suasana belajar menjadi lebih nyaman karena semua masalah pembelajaran diselesaikan dengan damai dan tanpa kekerasan.