Mohon tunggu...
Wiranto
Wiranto Mohon Tunggu... Guru - Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Hobi membaca dan menulis terutama cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyemai Ekonomi Otak Kanan

21 Agustus 2020   15:18 Diperbarui: 21 Agustus 2020   21:51 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekonomi kreatif dan sistem pendidikan sekolah di Indonesia sepertinya saling berjalan berlawanan arah. Satu ke kanan dan lainnya ke kiri. Ya, geliat ekonomi kreatif yang mulai menjadi andalan negara ini ternyata tak didukung peran dari "pabrik penghasil pelaku ekonomi kreatif" yaitu sekolah. Ironisnya, saat hampir semua negara mulai sadar peran otak kanan. Kita justru terjebak dalam pendidikan berorientasi otak kiri.

Fakta menunjukkan bahwa ekonomi kreatif harus menjadi pilihan dan tak terelakkan. Sebuah model ekonomi yang tak lagi mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam yang sifatnya terbatas dan eksklusif. Namun lebih mengandalkan pada kreativitas manusia sebagai faktor produksi utama.

Kreativitas merupakan sumber daya yang tidak terbatas dan inklusif. Tidak terbatas karena semakin dimanfaatkan, kreativitas tidak akan habis, justru memantik munculnya kreativitas-kreativitas baru.

Bersifat inklusif karena kreativitas merupakan hak milik semua orang. Siapapun memiliki daya kreativitas, tak peduli batasan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, maupun kedudukan sosial. Artinya, setiap orang berpeluang sama sebagai pelaku ekonomi kreatif.

Ekonomi kreatif bermula dari gebrakan Tony Blair pada tahun 1997 selaku Perdana Menteri Inggris yang membentuk Department of Culture, Media and Sports (DCMS) dan melahirkan Creative Industries Task Force (Gugus Tugas Industri Kreatif).

Sejak itu, kesadaran masyarakat akan kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian Inggris mulai bersemi. Melihat keberhasilan yang nyata, negara-negara lain lantas berlomba meniru Inggris.

Alhasil, Korea Selatan, Singapura dan Cina menjadi beberapa negara di Asia yang berhasil membangun daya saing negaranya melalui kebijakan ekonomi kreatif yang terbukti berdampak pada kemajuan ekonomi mereka. 

Tidak luput Organisasi Pendidikan, Sains dan Budaya (UNESCO) PBB mengimbau seluruh negara anggotanya untuk membangun ekonomi negara melalui pengembangan ekonomi kreatif guna mencapai Development Millenium Goal (Sasaran Pembangunan Milenium).

Meski terlambat, beberapa tahun terakhir geliat ekonomi kreatif di Indonesia mulai terasa. Dalam skala makro, ekonomi kreatif mampu menunjukkan sumbangan yang positif.

Bahkan pada tahun 2019, PDB ekonomi kreatif diproyeksikan menembus 1.211 triliun rupiah (Badan Ekonomi Kreatif, 2019: 14). Menparekraf, Wishnutama Kusubandio, optimistis ekonomi kreatif akan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh OPUS Ekonomi Kreatif 2019, sektor ekonomi kreatif berkontribusi sebesar Rp 1.105 triliun terhadap PDB nasional. Nilai ekonomi tersebut disumbang dari 17 subsektor yang terdapat dalam ekonomi kreatif. Selain berkontribusi cukup tinggi, sektor ekonomi kreatif mampu meningkatkan angka serapan tenaga kerja sebanyak 17 juta orang selama satu tahun.

Oleh karena itu, sektor ekonomi kreatif dewasa ini tidak bisa diremehkan karena memberikan dampak yang nyata bagi ekonomi nasional. Dukungan semua lini terhadap perkembangan ekonomi kreatif harus terus digalakkan. Lantas bagaimana dengan peran sekolah?

Sekolah Pembunuh Otak Kanan?
Daniel Pink dalam bukunya, The Whole New Mind (2006), tegas mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia. Jika ingin seperti negara maju, mau tak mau pengembangan otak kanan haru menjadi prioritas.

Bagaimanapun ekonomi kreatif berkembang karena hasil dari kegiatan mengolah kreasi akal budi menjadi produk bernilai tambah ekonomi tinggi. Siapa aktor utamanya? Tentu saja manusia-manusia berotak kanan yang mampu mengubah ide menjadi produk bernilai ekonomi tinggi. Adakah kabar baik dari pengembangan otak kanan di sekolah?

Sayang beribu sayang, bukan kabar gembira nampaknya. Alih-alih mengembangkan kemampuan otak kanan, proses pembelajaran di sekolah selama ini cenderung menekankan pada pemikiran reproduktif, hafalan dan hanya berkutat mencari satu jawaban benar dari sekian soal-soal yang diberikan.

Kreativitas dianggap tak punya peran, sementara intelektualitas begitu diagungkan dengan rangking dan nilai sebagai indikatornya. Aneka model pembelajaran yang berusaha meningkatkan kemampuan anak dalam menghafal atau mengerjakan soal secara singkat menjadi pilihan utama. Metode instan pendongkrak nilai menjadi idola.

Sekolah yang diharapkan punya peran dalam pengembangan ekonomi kreatif, diam-diam menjadi "silent killer" dengan membunuh, mengkerdilkan arti kreatifitas dan membuat siswanya tidak kreatif. Sekolah yang membunuh otak kanan menempatkan anak didik sebagai objek. Sekolah menjadi institusi formal tanpa jiwa.

Di dalamnya terbangun relasi kekuasaan monologis guru terhadap anak didik. Mereka tak memiliki ruang publik untuk melapangkan imajinasi, kreasi, inovasi, dan menyemaikan pikiran-pikiran kritis. Sekolah menjadi lokus pengasingan anak terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sosio-kulturalnya.

Seorang pengusaha Indonesia, Bob Sadino, menunjuk ketidakmampuan sekolah mengembangkan kreativitas ini sebagai biang kerok minimnya bakal wirausahawan kampiun di negara ini. Sistem sekolah telah memandulkan kebebasan anak didik untuk mengembangkan dirinya sendiri secara utuh, hingga berimbas pada munculnya rasa takut dan pikiran terbelenggu. Alhasil, otak kanan menjadi beku.

Sejatinya, proses pembelajaran anti otak kanan di sekolah sangatlah dipengaruhi oleh kompetensi guru dalam mengelola pembelajaran. Bagaimana potret program sertifikasi guru yang digadang-gadang mampu meningkatkan kompetensi mereka? Sertifikasi yang dimulai tahun 2007 nyatanya belum memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan kompetensi guru.

Meski kesejahteraan guru merangkak naik, tidak demikian halnya dengan kompetensi. Sertifikasi guru yang menguras sekitar dua pertiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN tersebut belum mampu berkontribusi banyak dalam geliat ekonomi kreatif di Indonesia.

Lihat saja hasil Uji Kompetensi Guru (UKG). Berdasarkan Uji Kompetensip Guru (UKG) tahun 2015 terhadap 2.699.516 guru di seluruh Indonesia, peta kompetensi guru ternyata cukup memprihatinkan. Dari rerata Kompetensi Capaian Minimal (KCM) nasional tahun 2015 yang dicanangkan oleh Kemdikbud yaitu 55, hasil yang diperoleh guru berada pada angka 56,69 alias 1,69 poin di atas batas minimal.

Meski melampaui target, rerata ini menunjukkan bahwasanya kompetensi guru di Indonesia masih rendah. Pencapaian rerata di atas KCM didominasi oleh guru-guru di Pulau Jawa, sementara rekan mereka di luar Jawa bahkan ada yang terpuruk pada angka 44,79.

Hasil olah data terhadap hasil UKG juga menyuguhkan fakta yang mengharukan di mana nilai UKG guru yang mengajar di sekolah swasta lebih tinggi dibanding rekan mereka di sekolah negeri. Pun nilai guru yang telah tersertifikasi (padahal telah menyedot demikian besar anggaran negara) tidak berbeda dengan yang belum bersertifikat pendidik, meski nilai kelompok pertama lebih tinggi. Suka tidak suka, demikianlah fakta kompetensi guru Indonesia.

Mengaca pada hasil UKG di atas, tidaklah mengherankan jika sebagian besar tidak memahami tentang konsep kreativitas dalam mengembangkan otak kanan di sekolah. Bahkan sebagian besar mengalami gagu-gagap kemampuan akademik dan teknis dalam proses belajar mengajar.

Menjadikan Ekonomi Kreatif Milik Kita
Perkembangan jaman ternyata berkata lain. Sekarang adalah abad kreativitas sekaligus abad pengetahuan. Dalam era yang menghargai pengetahuan, kreativitas memberi nilai tambah pada pengetahuan dan menjadikannya lebih berguna secara progresif.

Nilai penting abad ini bukanlah terkait dengan materi tetapi lebih terkait dengan hal-hal yang bersifat non materi dan bersifat bersifat manusiawi seperti imajinasi, inspirasi, kejeniusan, dan inisiatif. (Kao, 1996).

Nilai penting kreativitas sebagai faktor penting dalam kehidupan juga ditegaskan oleh Goleman, seorang pakar EQ. Baginya intelektualitas hanya menyumbang 20 persen saja dalam keberhasilan seseorang, sementara 80 persen lainnya ditentukan oleh karakter seperti kesediaan untuk bekerja keras, disiplin, rasa percaya diri, dan termasuk di dalamnya EQ.

Karakter-karakter itulah yang memberi warna pada kreativitas. Berita gembiranya adalah, keseluruhan faktor penunjang kreativitas ini dapat dibina, dilatih, dan dikembangkan pada anak sejak usia dini. Bagaimana caranya?

Pertama, pengembangan otak kanan mesti diprioritaskan di sekolah dengan mengedepankan pembelajaran yang melibatkan proses-proses pemikiran tingkat tinggi (High Order Thinking Skill-HOTS) seperti berpikir kreatif dan inovatif. Sudah saatnya proses pembelajaran yang menghambat kreativitas siswa dihilangkan, yaitu dengan cara memberi kebebasan kepada siswa dalam menjalankan proses berfikirnya atau dalam proses belajarnya.

Pembelajaran di sekolah harus memunculkan motivasi internal peserta didik dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik.

Kreativitas tidak saja merupakan kapasitas atau kemampuan dasar manusia, akan tetapi lebih jauh lagi- disamping rasionalitas- merupakan identitas manusia, yang menunjukkan keunggulannya dari binatang. Oleh karena itu, kreatifitas merupakan ciri manusia, ekspresi dari humanitas itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Yasraf amir Piliang dalam bukunya "kreativitas dan Humanitas".

Kedua, guru mesti sadar bahwa kemampuan berpikir kreatif, inovatif dan produktif sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa mendatang.

Guru "baru" sangatlah dibutuhkan. Mereka adalah guru yang mampu mendidik dan memberi tauladan pada anak didik agar mereka saling menghargai sebagai individu yang unik. 

Guru yang memiliki paradigma baru dalam memaknai kesalahan atau kegagalan anak didik. Alih-alih menekan anak, guru harus mengajak anak duduk bersama, menelusuri kesalahan secara mendalam, membantu anak meletakkannya dalam kerangka yang benar, memberi tahu anak tentang pilihan dan konsekwensi serta membantunya mengatasi persoalan tersebut.

Guru "baru" ini adalah guru yang melihat proses pendidikan dengan cakrawala luas. Tidak hanya berpusat di kelas, mereka mendidik anak melalui pekerjaan, melalui kegiatan sosial, melalui partisipasi dalam kehidupan kultural, melalui tanggapan-tanggapan emosional, melalui hubungan antar manusia, melalui perjalanan dan olah raga, serta media lain yang membantu proses subyektivikasi anak.

Guru "baru" ini sadar bahwa bukan mereka yang mendidik siswa, tetapi siswalah yang "mendidik dirinya sendiri". Mereka sadar bahwa pengetahuan sekolah hanyalah pengetahuan orang-orang dewasa yang justru membentuk lingkungan sekolah (sebagai lingkungan buatan) menjadi asing bagi anak.

Pada akhirnya, mereka seminimal mungkin menggunakan "bahan" dari sumber-sumber luar dan menggunakan semua materi yang dialami anak. Hal ini akan mengembangkan kreativitas anak didik dalam memikirkan fungsi-fungsi mereka sendiri di luar konteks pengetahuan sekolah.

Ketiga, anak didik harus dilihat sebagai subyek. Harus dipahami bahwa peserta didik memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara pesrta didik yang satu dengan peserta didik yang lain. Para pendidik dan lembaga pendidikan harus menghargai perbedaan yang ada pada mereka.

Sebagai subyek, anak didik menjadi individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus. Anak didik menjadi dirinya sendiri dan bukan menjadi jiplakan guru. 

Hadari Nawawi (1989) jauh-jauh hari mengingatkan bahwa anak didik adalah individu dengan totalitas kepribadian yang dinamis, sehingga harus diperlakukan sebagai subyek. Oleh karena itu, memandang siswa sebagai subyek akan lebih memberikan dampak positif dalam pengembangan kreatifitas daripada melihat mereka sebagai obyek.

Keempat, Budaya sekolah mesti diarahkan untuk membangkitkan potensi kreatif para siswa. Guru-guru didorong untuk berani mengambil inisiatif kreatif dalam pembelajaran yang dilakukannya. 

Iklim yang mendukung siswa agar bisa menjadi lebih kreatif perlu dikembangkan seperti; siswa diberikan kebebasan dalam menyatakan pendapat dan perasaannya tanpa merasa takut mendapat ancaman dari guru. Fantasi dan imajinasi anak tidak diterima secara negatif, bahkan kedua kemampuan tersebut dibiarkan berkembang melalui pemberian fasilitas secukupnya.

Sekolah mesti memperbanyak kegiatan-kegiatan kreatif yang melibatkan siswa sehingga mereka mampu menyalurkan hasrat kreatif mereka sekaligus melatih mereka untuk mengapresisai karya kreatif siswa yang lain. Semangat dasar yang perlu dikedepankan dalam budaya sekolah adalah bagaimana pendidik bisa melihat siswa-siswi sebagai sebuah pribadi yang utuh dengan segala bakat, minat dan kemampuannya.

Kreativitas merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang dengan tingkat yang berbeda-beda. Setiap orang lahir dengan potensi kreatif, dan potensi ini dapat dikembangkan dan dipupuk. Individu yang kreatif akan memberikan warna bagi bangsa dan negara.

Secara makro, pengembangan otak kanan utamanya kreativitas tidak hanya akan menggerakkan ekonomi kreatif. Bangsa atau masyarakat yang kreatif akan memunculkan karakter-karakter luar biasa seperti adanya kemauan kuat untuk berubah.

Terbuka terhadap gagasan-gagasan baru dari manapun datangnya, toleran terhadap perbedaan pendapat sehingga berbagai gagasan dari masyarakat memperoleh tempat yang terhormat, ada rasa aman untuk mengekspresikan fikiran tanpa merasa takut disalahkan, mempunyai motivasi kuat untuk berprestasi, lebih berorientasi prestasi, tumbuhnya etos kerja dan kewirausahaan.

Mengutip pendapat Utami Munandar, pakar psikologi pendidikan di Indonesia, yang menyatakan bahwa kreatif adalah fondasi dari pendidikan itu sendiri. Kreativitaslah yang akan mengembangkan sumber daya manusia menjadi berkualitas dan mampu mengantar Indonesia ke posisi terkemuka, paling tidak sejajar dengan negara-negara lain, baik dalam pembangunan ekonomi, politik, maupun sosial budaya.

Jika kreativitas bisa menjadi jalan bagi bangsa Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera, sekolah punya peran besar dalam mewujudkannya.

Ayo kita semaikan otak kanan dari sekolah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun