Hasil olah data juga menghasilkan fakta yang mengharukan di mana nilai UKG guru yang mengajar di sekolah swasta lebih tinggi dibanding rekan mereka di sekolah negeri. Pun nilai guru yang telah tersertifikasi (padahal telah menyedot demikian besar anggaran negara) tidak berbeda dengan yang belum bersertifikat pendidik, meski nilai kelompok pertama lebih tinggi. Suka tidak suka, demikianlah fakta kompetensi guru Indonesia.
Sebenarnya masih bisa diperdebatkan apabila hasil UKG semata dianggap pemerintah mewakili kompetensi guru laiknya Ujian Nasional menentukan kelulusan siswa. Namun demikian peta kompetensi ini memang menampilkan fakta bahwa kualitas kompetensi guru masih perlu dibenahi. Potret suram tersebut sekaligus menjelaskan kenapa mutu pendidikan di negeri ini tidak begitu memuaskan.
Kedua, ironi tingginya angka perceraian guru paska sertifikasi. Meski belum ada penelitian yang ilmiah mengenai fenomena ini, beberapa media melaporkan adanya kecenderungan tingginya angka perceraian guru begitu mereka menerima tunjangan profesi. Bahkan  laporan tersebut diamini oleh pejabat daerah yang bersangkutan.
Survei maya yang dilakukan penulis menunjukkanterjadinyakecenderungan ini di Cirebon, Kendal, Boyolali, Ciamis, Malang, Lumajang dan beberapa daerah lainnya. Tampaknya limpahan ekonomi cenderung membuat pasangan guru menjadi lebih mudah memilih cerai dan berpisah daripada tetap utuh dalam satu keluarga. Urusan kompetensi menjadi tak penting lagi.
Ketiga, ironi minimnya guru tersertifikasi yang meneruskan S2. Guru berpendidikan S2 saat ini masih langka yaitu hanya 1 persen dari sekitar 2,7 Â juta guru di Indonesia (Sulistyo, 2012).Â
Studi lanjut merupakan salah satu cara meningkatkan kompetensi seorang guru tersertifikasi sesuai UU No. 14/2005 pasal 7 ayat 1 poin g. Jika dihitung, total pendapatan dari tunjangan profesi lebih dari cukup untuk melanjutkan studi S2.
Sayangnya, sebagian besar guru tersertifikasi lebih senang merencanakan jenis mobil atau rumah seperti apa yang mereka miliki daripada melanjutkan studi. Di Australia, semakin tinggi level pendidikan guru semakin besar pula gaji yang mereka terima. Andai negara ini menerapkan kebijakan tersebut.
Keempat, ironi mandegnya kepangkatan guru tersertifikasi. Menurut Badan Kepegawaian Nasional, setidaknya 344 ribu dari 2,7 juta guru di Indonesia memiliki golongan IV/A dan kebanyakan adalah guru tersertifikasi. Dari jumlah tersebut baru sekitar 2.200 guru yang naik ke golongan IV/B ke atas.Â
Sisanya tertumpuk di golongan IV/A karena belum mau dan mampu membuat karya tulis ilmiah. Mestinya menyusun karya ilmiah, apalagi yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pembelajaran, menjadi kemampuan dasar guru tersertifikasi.
Kemdikbud mesti tanggap dengan ironi-ironi tersebut dengan mengeluarkan kebijakan yang pro-kompetensi. Terkait mutu pendidikan, nilai penting peningkatan kompetensi guru terletak pada meningkatnya efektifitas pembelajaran yang dilakukan guru.Â
Efektifitas ini pada akhirnya akan mempengaruhi hasil dan mutu pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan generalisasi pada program sertifikasi guru kurang berdaya mendongkrak kompetensi sebagian besar guru tersertifikasi. Toh, kompeten atau tidak, tunjangan profesitetap cair.