Mohon tunggu...
Armin Yubu
Armin Yubu Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Other outsider

Selanjutnya

Tutup

Money

Slag Nikel Diambang Aturan

6 Januari 2020   09:45 Diperbarui: 6 Januari 2020   09:57 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Upaya pemerintah memicu investasi industri mobil listrik di Indonesia terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan mempercepat beleid tentang larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah mulai Januari 2020. Hal itu dilakukan demi memastikan ketersediaan bahan baku untuk kebutuhan industri mobil listrik nantinya.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu, tentunya akan berdampak pada perkembangan industri peleburan (smelter) nikel di Indonesia. Di tahun 2021, pemerintah menargetkan bakalan ada 41 smelter yang akan beroperasi dengan kapasitas input tahunan 91 juta ton. Dari proyek tersebut, tahun 2019 lalu terdapat 11 smelter yang telah beroperasi. 10 diantaranya menunjukkan progres pembangunan 40-90 persen, 20 lagi menunjukkan progres pembangunan yang sangat lambat.

Saling berkait, rencana pemerintah ini pun disusul dengan upaya mereduksi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3. Melalui itu, pemerintah membuka peluang pengecualian limbah slag nikel sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3). Peluang ini muncul dari rencana penerbitan aturan baru yang mempermudah pemanfaatan dan pengelolaan slag nikel oleh perusahaan.

Langkah yang diambil oleh pemerintah ini memang sepatutnya dilakukan, karena sampai hari ini, slag nikel masih menjadi momok bagi pengusaha dengan penyematan label limbah B3 pada ampas nikel tersebut. Perlu diketahui, PP 101 Tahun 2014 menggolongkan slag nikel sebagai limbah B3 kategori bahaya 2 dengan kode limbah B403. Hal ini berarti slag nikel merupakan limbah yang memiliki efek tunda, dan berdampak tidak langsung terhadap manusia dan lingkungan.

Dikutip dari situs CNBCIndonesia.com edisi 30 Agustus 2019 (diakses pada tanggal 4 Januari 2020), Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengatakan, volume slag saat ini mencapai 20 juta ton per tahun. Jumlah itu diperkirakan bertambah mencapai sekitar 35 juta ton per tahun pada 2021 mendatang.

Yunus Saefulhak mengatakan, limbah sebanyak itu selama ini hanya ditumpuk dan ditimbun di tambang. Seiring bertambahnya jumlah smelter, timbul masalah baru yakni sulitnya mencari lokasi baru untuk menempatkan limbah tersebut yang semakin meningkat. Kendala yang dihadapi tentu saja karena limbah itu belum boleh dimanfaatkan secara masif.

Di negara-negara maju seperti Jepang, Yunani, China, Korea dan Republik Dominika, telah memanfaatkan secara optimal slag nikel pada industri konstruksi mereka. Bahkan Jepang sendiri telah memanfaatkan hampir seluruh slag nikel yang berasal dari industri pengolahan nikel mereka. Sementara, Republik Dominika telah mengaplikasikan slag nikel sebagai campuran aspal hot-mix pada salah satu proyek konstruksi jalan di Provinsi Duarte.

Aturan Direvisi, Ladang Rupiah Baru Muncul

Sampai saat ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutaan (KLHK) pun masih berupaya supaya limbah slag nikel bisa termanfaatkan. Meski begitu, beberapa perusahaan pemurnian pun sudah mengelola slag nikel mereka sendiri. Tentunya mereka yang telah mengantongi ijin dari pemerintah atau KLHK.

Dikutip dari situs Tirto.id edisi 27 September 2019 (diakses pada 30 Desember 2019), Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, pengelolaan limbah slag nikel bisa dimungkinkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan limbah dan PP 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3. Dalam Pasal 191 PP 101 tahun 2014 tertuang bahwa perusahaan dapat mengajukan pengecualian limbah B3.

Vivien menyebut, pertimbangannya karena slag nikel dinilai tidak terlalu berbahaya sebab tidak mudah meledak, menyala, menimbulkan infeksi serta tidak korosif. Masuknya slag nikel ke dalam limbah B3 pun lebih disebabkan karena jumlahnya yang banyak.

Hal itu yang juga mendorong PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), untuk berinovasi menggunakan limbah slag nikel sebagai bahan campuran disegala bidang konstruksi. Namun hal itu masih terkendala oleh ijin lingkungan dari KLHK. Pasalnya, sampai hari ini perubahan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kawasan belum juga diterbitkan.

Sejak berdiri pada 2014 lalu, PT IMIP mengelola kawasan industri seluas 1.200 hektar. Di tahun 2019, luas kawasan industri naik menjadi lebih dari 2.000 hektar. Rencananya, kawasan industri PT IMIP akan dikembangkan menjadi 2.800 hektar.

Manager Departemen Enviromental PT IMIP, Yundi Sobur, melalui staff-nya, Narita Indriati saat ditemui belum lama ini mengatakan bahwa perubahan AMDAL tersebut belum juga terbit. Hal itulah yang menyebabkan pihak Enviromental PT IMIP belum mengajukan izin pemanfaatan limbah slag nikel ke KLHK. Meski begitu, PT IMIP telah menggandeng pihak ketiga untuk uji karateristik pengecualian sebagai salah satu syarat pemanfaatan limbah slag nikel ini.

Kawasan industri PT IMIP sendiri pada dasarnya telah mencoba memanfaatkan limbah slag ini dibeberapa konstruksi. Diantaranya, stabilisasi lahan, pengeras jalan, beton konstruksi dan bahan utama pembuatan batako. Pengujiannya pun telah dilakukam supaya produk yang dihasilkan ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Jika saja aturan tentang pengecualian slag nikel sebagai limbah B3 ini telah diteken oleh pemerintah, dapat dipastikan bahwa hal itu akan memicu penggunaan slag nikel dibidang konstruksi pada taraf nasional. Tidak menutup kemungkinan pula, hal tersebut akan mengundang ketertarikan dari masyarakat menggunakan limbah ini sebagai bahan campuran pada konstruksi bangunan rumah atau pada bidang lainnya.

Alasannya bisa saja karena limbah ini telah mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai bahan yang tidak berbahaya, dan tentu saja harganya akan jauh lebih murah dari bahan campuran lainnya semisal sirtu atau pasir. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun