nggak ndorong dong?". Mereka kompak menjawab "Nggak apa-apa Bu". He...he...jadilah saya tidak ikut dorong bus tapi motret mereka yang sedang bekerja keras mendorong bus.
Akhirnya setelah didorong bus mesinnya bisa hidup,  bus berjalan dan berhenti di tempat penjualan oleh-oleh dan ikan segar.
Kami pun sibuk memilih ikan asin, serta hasil laut lain yang segar sambil tawar-menawar dengan seru. Maklum ibu-ibu, paling pintar kalau nawar. Saya beli terasi, teri yang 1/2 kg Rp10.000,00, ikan asin bawal, udang yang langsung dimasak 1 kg dua puluh lima ribu, cumi-cumi sekilo sama.
Eh masih belum puas, beli juga kerupuk kakap di kios sebelahnya, satu plastik sekitar setengah kilo harganya tujuh ribu rupiah. Ada pula ikan asin yang tipisnya seperti kerupuk, beli 1 ons delapan ribu rupiah.
Sambil menanti udang dan ubur-ubur masak saya sholat di Mushola di belakang kios dengan Mas Warjo dan Bu Indri. Musholanya bersih, air untuk wudlunya lancar mengalir deras dari kran. Bahkan seusai sholat saya ganti baju, setelah pintu masjid ditutup dan dtunggui di luar oleh Bu Indri. Aman, saya pun ke luar masjid dengan baju yang sudah berganti, maklum celana panjang basah terkena air laut dan banyak pasir yang menempel.
Sampai di kios udang dan ubur-ubur sudah masak, baunya sih enak. Belanjaan pun dihitung saya bayar, lumayan sudah dapat oleh-oleh untuk yang di rumah.
Setelah usai belanja dan sholat , bus siap berangkat dan  lagi-lagi gotong royong mendorong bus, saya sih motret lagi mereka yang sibuk mendorong bus.
Perjalanan dilanjutkan ke pantai Widara Payung sambil pulang karena Widara Payung letaknya di Kroya, sebelah timur Cilacap. Sampai di pasar Adipala ada yang lihat tulisan pantai Widara Payung 8,5 km, maka beloklah kami ke selatan, namun ternyata kami kesasar ke Proyek PLTU Buton. Kami pun akhirnya balik lagi ke ajlan semula. ternyata dari pasar Adipala masih ke timur 3 km, baru ke selatan. Sekitar 15 menit kemudian sampailah kami ke apntai Widara Payung. Baru dengar deburan ombak dan lamat-alamat pantainya terlihat kami sudha bertepuk tangan, gembira karena akhirnya sampai ke pantai ini.
Membayar retribusi yang di pantai Widara Payung lebih mahal dari Teluk Penyu, satu bus Rp80.000,00. Namun pantainya sangat indah, ombaknya lebih besar karena memang laut lepas. Smentara kalau di Teluk Penyu ada Pulau Nusa Kambangan yang menghalangi dari laut lepas Samudra Indonesia.
Pantai Widara Payung ternyata lebih luas dari Teluk Penyu. Mirip pantai Parang Tritis, termasuk ada kuda dan andong yang bisa disewa. Ada pula penyewaan papan surfing. Rupanya ombak yang besar menarik minat para peselancar.
Duduk di pantai yang ada payung dan bangku kayunya ternyata ditarik sewa bangku lima ribu rupiah. Akibat disuruh membayar Bu Sri sampai tidka mau mendekati pantai dan duduk-duduk terus di bangku....Ha...ha...ha..katanya sayang sudah bayar lima ribu.