Mohon tunggu...
jemsmil
jemsmil Mohon Tunggu... Konsultan/Pemerhati Pendidikan dan Kebijakan Publik -

Sederhana, Realistis, Kasih Terhadap Sesama, Senang dgn Modernitas, Pencinta Seni dan Kedamaian. (Link terkait : www,kompasiana.com/jemmyluan dan www.kompasiana.com/jemsmil)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Mungkin Negara Ini Berjalan Tanpa DPR?

10 Februari 2016   15:11 Diperbarui: 10 Februari 2016   15:36 2496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau di dunia ini ada negara yang dapat berjalan tanpa konstitusi tertulis dan dengan keadaannya itu malah dapat menjadi salah satu negara yang relatif aman, damai, maju, sejahtera dan cukup disegani, contohnya Inggris dan Canada. Perbandingan atau contoh ini walaupun tidak sama persis namun terdapat hubungan yang erat di antara keduanya atau dengan konteks tulisan ini. Karena tanpa konstitusi tertulis saja dapat berjalan dan mencapai hasil seperti di atas, apalagi hanya soal keberadaan sebuah lembaga yang dapat dikatakan hanya sebagai “penyeimbang” kekuasaan atau “perwakilan” rakyat dalam kehidupan pemerintahan/bernegara. Sementara di sisi yang lain keberadaan sebuah lembaga tinggi negara pada umumnya diatur dalam konstitusi negara tersebut.

Maka untuk menjawab pertanyaan besar sekaligus judul tulisan di atas dengan jawaban sederhana saja yakni, ya mungkin saja atau dengan kata lain bisa kalau rakyat mau, kenapa tidak? Ya, karena rakyatlah yang berdasarkan konstitusi negara kita (UUD 1945) sebagai pemegang kedaulatan dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 Ayat [2]).

Selain itu karena negara kita juga menganut sistem pemerintahan presidensial, jadi DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden demikian pula sebaliknya. Jadi masalah ini kembali pada pilihan rakyat dalam menggunakan kedaulatannya yang dapat diwujudkan melalui cara yang “elegan”, adalah melalui pemilu anggota legislatif.

Tulisan ini sebenarnya bertolak dari rasa ketidakpercayaan saja (pribadi) yang sudah mencapai klimaksnya yang juga dapat dipastikan dengan perasaan/pemikiran sebagain besar rakyat Indonesia di mana saja berada atas berbagai sikap dan prilaku anggota DPR yang dari tahun ke tahun tetap “dapat dikatakan” tidak menunjukkan “prestasi” yang cukup membanggakan bagi rakyat yang diwakilinya atau negara Indonesia sebagai Bumi – Ibu Pertiwi kita semua dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanya, namun yang ada malah “memalukan” dan “menyusahkan” rakyat yang diwakilinya bahkan yang parahnya lagi “mengkhianati” negaranya sendiri!

Memalukan? Ya ... karena sikap atau tindakannya (ancaman/pemukulan ala “cowboy” atau “berkhianat” terhadap rakyat/negara dengan memanfaatkan jabatan dan bersekongkol dengan pihak “asing” untuk mengelola kekayaan yang dimiliki negara demi kepentingan pribadi/kelompok) itu SEHARUSNYA tidak boleh atau pantas dilakukan oleh “mereka” yang tidak saja sebagai wakil rakyat, akan tetapi juga sebagai seorang tokoh, pemimpin/elit, atau orang yang karena status sosialnya itu layaknya harus memberikan teladan, contoh atau berbagai sikap/prilaku yang baik dan pantas kepada rakyat yang diwakilinya, anggota organisasi – parpolnya, pegawai/stafnya atau berbagai elemen bangsa lainnya.

Menyusahkan? Ya ... karena tidak sedikit kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dengan jumlah triliunan rupiah, yang seharusnya besarnya dana yang dikorupsi tersebut dapat mensejahterakan/meningkatkan taraf hidup atau membebaskan dari kemiskinan yang menyusahkan hidup jutaan rakyat Indonesia atau membangun ribuan fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat/daerah, seperti sekolah, puskesmas/rumah sakit, terminal, dermaga, telekomunikasi, dll.

Akumulasi dari masalah yang dimaksudkan di atas, dapat dilihat atau katakanlah diambil saja dari masa 6 bulan belakangan ini, maka paling tidak terdapat 6 kasusbesar (Pidana – Korupsi [3], Ancaman [1], Pemukulan [1] dan Kode Etik - Mantan Ketua DPR, Setya Novanto “Papa Minta Saham” yang bertemu dengan pihak manajemen Freeport demi kepentingan pribadi/kelompoknya yang saat ini juga sudah mulai memasuki ranah hukum pidana) yang sempat mencuat dan menyita perhatian kita semua sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media massa di tanah air, dan yang baru lewat beberapa hari dan cukup menghebohkan, adalah kasus pemukulan yang dilakukan oleh anggota DPR RI dari PDIP, Masinton Pasaribu terhadap seorang wanita yang tidak lain merupakan staf ahlinya sendiri.

Batasan waktu di atas segaja diambil dengan alasan baru saja dan masih segar dalam ingatan kita semua, sehingga dengan tanpa komfirmasi atau mencari-cari sumber yang mengungkapkan secara detail pun kita sudah bisa paham dan tidak mengatakan bahwa tulisan ini mengada-ada, di samping itu bila ditarik lagi jauh ke belakang maka sudah barang tentu terdapat begitu banyak masalah yang tidak cukup diuraikan dalam 2 atau 3 halaman kertas ukuran double folio sekalipun, bahkan dapat dikatakan bahwa hampir semua masalah kriminal yang dilakukan masyarakat umum juga sudah dilakukan oleh para anggota legislatif yang dihormati ini, baik pusat (DPR) maupun daerah (DPRD) mulai dari kejahatan biasa sampai dengan luar biasa, seperti Korupsi (sering – bahkan sesuai pernyataan Pimpinan KPK yang baru bahwa pihaknya punya target operasi atau akan terus menyelediki keterlibatan para politisi “Senayan” atau DPR dalam hal korupsi.

Ini berarti masih terdapat banyak indikasi yang telah dimiliki KPK ke masalah yang luar biasa ini) dan Narkoba! Tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk mencari jawaban atau membahas soal mengapa semua ini bisa terjadi atau dilakukan oleh anggota DPR? Atau soal kewenangannya maupun dalam hubungannya dengan lembaga eksekutif (Presiden), sehingga bisa atau tidaknya saling menjatuhkan seperti dalam sistem parlementer.

Akan tetapi sebagaimana judul di atas, maka guna menjawab mungkinkah negara ini (Indonesia) bisa berjalan tanpa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di mana secara sekilas atau singkat telah dijawab di atas dengan sekedar membandingkan namun tanpa penjelasan yang luas dan mendalam tentang mungkin saja atau bisa saja sebagaimana jawaban yang diberikan, kecuali yang berkaitan atau soal kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta bubar – membubarkan antara Presiden dan DPR berdasarkan sistem pemerintahan yang dianut.

Jadi soal ada atau tidak adanya saja! Di mana kalau selama ini kita sudah tahu atau mengalami bagaimana negara kita yang tercinta ini berjalan dengan adanya lembaga legislatif (DPR), sedangkan bagaimana kalau seandainya lembaga perwakilan rakyat ini tidak ada karena suatu alasan tertentu? Inilah yang dimaksudkan dengan ada atau tidak ada tersebut yang akan dibahas.

Landasan Hukum tentang Keberadaan DPR dalam Sistem Pemerintahan Kita

Dalam Bab VII UUD 1945 yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat, khusus pada Pasal 19 Ayat (1) menyebutkan “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum” selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan bahwa “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang” sementara dalam Pasal 22B menyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.

Sedangkan dalam Bab III yang mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, yang terdiri dari 13 pasal, setidaknya terdapat 7 pasal yang berkaitan dengan DPR dan hanya 1 pasal (Pasal 7C) yang menyatakan secara tegas bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, yang mana hal ini lebih berkaitan dengan sistem pemerintahan yang kita anut, yaitu presidensial. Sebaliknya DPR pun tidak dapat menurunkan atau menjatuhkan Presiden dari jabatanya, sekalipun dalam Undang-Undang Dasar ini DPR dapat mengusulkan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Presiden (termasuk Wakil Presiden) bila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A).

Ketentuan ini mengindikasikan bahwa hal itu tidak mudah atau tidak dapat dilakukan kecuali hal-hal yang digariskan tersebut dilakukan atau dialami oleh Presiden/Wakil Presiden. Kemudian pasallainnya hanya lebih bersifat minta persetujuan atau kaitannya dengan ke-3 fungsi pokoknya, yakni legislasi, anggaran dan pengawasan (Pasal 20A). Dari pasal-pasal atau ayat-ayat ini, jelas terlihat bahwa eksistensi DPR dalam konstitusi kita secara nyata dalam arti tidak saja lembaga tapi harus ada orang-orang (anggota) untuk menjalankan tugas atau fungsi-fungsi pokoknya (3 fungsi) sebagai lembaga perwakilan rakyat seperti yang telah dikemukakan di atas, di mana orang-orang atau para anggota yang dimaksudkan ini bisa ada karena adanya pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali (Pasal 22E Ayat [1]) sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Ayat (1) di atas.

Artinya pemilu yang dilaksanakan ini, agar rakyat yang memegang kedaulatan tersebut dapat memberikan hak politiknya dengan cara memilih anggota DPR/DPRD yang dicalonkan dari berbagai Parpol Peserta Pemilu guna menjadi wakilnya untuk duduk dalam lembaga legislatif tersebut untuk menyalurkan aspirasinnya serta menjalankan tugas atau ke-3 fungsi utama di atas.

Jadi dalam konteks ini anggota DPR/DPRD baru ada apabila ada rakyat yang punya hak politik mau memilihnya lewat mekanisme pemilu setiap lima tahun sekali. Artinya kalau rakyat tidak mau menggunakan hak poltiknya atau tidak memilih para anggota DPR/DPRD yang diusulkan dalam pemilu karena suatu alasan tertentu, misalnya karena sudah tidak percaya lagi atau muak dengan semua sikap/prilaku anggota DPR/DPRD dalam periode atau masa-masa sebelumnya atau sebagaimana digambarkan di atas mulai akhir tahun 2015 hingga awal 2016 ini saja yang sudah ada 6 kasus besar, maka berarti lembaga DPR bisa saja ada namun tidak punya anggota sehingga tidak dapat menjalankan semua tugas/fungsi dalam sistem pemerintahan kita. Ini berarti sama saja dengan bisa tidak ada.

Dan apa mungkin keadaan ini bisa terjadi? Kalau mau menjawabnya lagi, maka kenapa tidak? Apalagi dalam beberapa survei dan juga partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak yang dilaksanakan pada tgl. 9 Desember 2015 yang lalu juga menunjukkan adanya penurunan serta secara hukum pun tidak ada sanksi bila rakyat tidak memberikan suaranya dalam pemilu atau pilkada. Jadi kemungkinan itu bisa saja terjadi! Atau sekalipun ada yang memilih tapi tidak mencapai jumlah atau prosentase minimum dari jumlah suara yang seharusnya, maka tentu tidak bisa juga diakomodir karena berkaitan dengan legitimasinya. Sedangkan khusus mengenai susunan DPR dan syarat-syarat diberhentikan sebagai anggota DPR yang ditindaklanjuti dalam sebuah undang-undang yang dibuat khusus berdasarkan perintah konstitusi ini, di mana secara hukum, hirarkinya dibawah Undang-Undang Dasar dalam kaitan dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Hal atau ketentuan ini mau menunjukkan juga sebenarnya mana yang lebih tinggi antara yang diwakili dengan yang mewakilinya, karena dalam prakteknya sudah salah kaprah, sebab yang terjadi malah sebaliknya. Lantas, bagaimana kalau tidak ada anggota DPR yang terpilih dalam pemilu karena beberapa atau suatu alasan tertentu sebagaimana tersebut di atas, apa roda pemerintahan dapat berjalan?

Bila kembali melihat konstitusi, maka tidak ada satu bab, pasal atau ayat pun dalam UUD 1945 yang menjelaskan soal ini, sehingga mungkin hal ini dapat menjadi obyek kajian hukum tata negara ke depan berdasarkan fenomena yang ada serta nantinya dapat menjawab secara tepat. Namun bila melihat hal yang sama atau mirip dengan negara lain sebagaimana gambaran di atas atau juga dalam sejarah perjalanan negara – pemerintahan kita, misalnya ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk membubarkan Badan Konstituante yang dinilai gagal dalam menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945.

Serta ketika Gus Dur memerintah negeri ini, Ia pun hendak mengeluarkan hal yang sama dengan Bung Karno pada tahun 1959(Dekrit) untuk membubarkan DPR yang mendapat reaksi keras dari berbagai pihak termasuk dua orang dekat/pembantunya, yaitu Menteri Kehakiman dan HAM serta Penasihat Hukum Presiden, karena dinilai hal tersebut bukan saja sebagai tindakan yang inkonstitusional tapi juga kudeta. Juga menurut mereka berdua berbeda keadaannya dengan Dekrit 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Bung Karno, karena pada saat itu negara dalam keadaan bahaya, sedangkan keadaan pemerintahan pada saat ini (era pemerintahan Gus Dur) tidak dalam keadaan bahaya (alwishahab.wordpress.com, 4 Pebruari 2001).

Terlepas dari alasan hukum ini, dapat saja dilihat benang merah dari alasan dikemukakan tulisan ini yang mungkin sama bahwa, bisa saja Gus Dur menganggap sikap/prilaku anggota DPR yang ada pada saat itu sudah “tidak pantas” lagi, bahkan Ia pernah mengatakan DPR bagaikan “Taman Kanak-Kanak” karena mungkin saking kesalnya, sama dengan mungkin kita sebagian besar rakyat Indonesia saat ini yang sangat kesal, marah atau rasa lainnya yang bercampur aduk dengan melihat semua tingkah laku sebagian besar anggota DPR sebagaimana dilukiskan di atas namun peduli dengan kelangsungan hidup atau masa depan bangsa/negara yang lebih baik, sehingga bersuara dan harus ada tindakan nyata.

Dengan demikian dari perbandingan, contoh dan pengalaman historis yang ada serta kemungkinan dalam konstitusi kita (karena yang hanya dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945 yang TIDAK dapat dilakukan perubahan, adalah mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia – Pasal 37 Ayat [5]), maka jawabannya bisa saja berjalan tanpa DPR dengan ketentuan bahwa, pasal-pasal yang mengatur tentang DPR maupun Kekuasaan Pemerintahan Negara yang ada kaitan dengan DPR nantinya harus diubah melalui mekanisme amandemen yang sekalipun ini membutuhkan peran DPR akan tetapi karena konteksnya “dianggap” sudah “tidak ada”, sehingga peran tersebut diabaikan atau tidak perlu diperhatikan lagi dan langsung diambil alih oleh pemerintah (eksekutif) sehingga pada akhirnya ke-3 fungsi pokok DPR yang dimaksudkan dalam konstitusi tersebut dapat dijalankan oleh eksekutif saja! Hal ini tentunya dapat terlaksana kalau memang benar pada suatu saat realita itu ada (tidak ada rakyat yang mau memilih atau yang memberikan suara namun tidak memenuhi ketentuan yang ada),

Maka Presiden dengan kekuasaan atau kewenangannya dapat menetapkan keadaan darurat (bahaya) – Pasal 12 UUD 1945 atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang – Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, sehingga dengan ini berbagai kemungkinan yang dapat dijalankan demi berputarnya roda pemerintahan/negara dapat berjalan termasuk dengan tanpa DPR itu. Jadi berbeda dengan konteks atau latar belakang Sukarno mengeluarkan Dekrit (1959) atau juga dengan rencana Gus Dur pada tahun 2001. Ini “skenario” yang “dibuat atau impikan” saja, kalau keadaan di mana DPR benar-benar tidak ada sebagaimana “cerita mimpi” (pendapat) pribadi di atas, atau bisa saja lain yang mungkin belum diatur namun ada peluangnya dalam konstitusi (misalnya berkaitan dengan “Perubahan Undang-Undang Dasar” atau “Aturan Peralihan”, sehingga tindakan/keputusan yang diambil sebagaimana maksud di atas tidak dikatakan inkonstitusional) yang bertujuan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang perlu kita antisipasi, namun dengan 2 keadaan dan alasan tersebut di atas dapat diterima.

Dengan adanya pengalaman atau munculnya fenomena seperti ini hendaknya dapat menjadi refleksi bagi kita bersama terutama bagi pemerintah dan para anggota DPR serta Parpol sebagai pengusung atau peserta resmi dalam pemilu, agar bila sistem pemerintahan ini kita tetap mau pertahankan, sehingga DPR tetap eksis dan dapat menjalankan tugas/fungsinya secara baik dan disenangi rakyat yang diwakilinya nanti, maka para parpol harus benar-benar melakukan sistem pengkaderan atau pendidikan politik secara internal yang baik dulu sebelum keluar, harus diseleksi secara serius, kontinyu dan berjenjang atau melalui mekanisme yang jelas dan terukur, baik itu soal pengetahuan dan moralnya – integritas, pengalaman berpolitiknya, sejarah masa lalu atau rekam jejaknya seperti apa, wawasan kebangsaan serta rasa patriotismenya dan apa motivasi utamanya untuk mau menjadi anggota DPR harus diketahui secara jelas!

Jadi tidak asal usul/calonkan atau tempatkan dengan alasan keadaan atau lainnya, sehingga pada akhirnya menghasilkan banyak politisi “karbidan” (daripada yang seharusnya belajar atau meniti karir/jabatan/keanggotaan parpolnya dari bawah atau eksistensi/pengalamannya di partai dapat diakui/diterima) yang duduk di DPR/DPRD atau sebagai elit/pengurus Parpolnya yang bisa diduga bagaimana kualitasnya dan tidak sedikit dari kalangan inilah yang bermasalah. Sehingga dengan begini berbagai kemungkinan yang negatif yang mungkin saja bakal terjadi (kemungkinan melakukan korupsi, berkhianat terhadap negara/rakyatnya, dll) dapat diantisipasi sedini mungkin.

Dengan demikian kita berharap nantinya bisa memperoleh anggota DPR yang dapat benar-benar mengembankan tugas/fungsi-fungsi utamanya sebagai wakil rakyatdengan kompeten, sehingga berbagai kasus yang memalukan atau dapat menyusahkan rakyat yang diwakilinya serta negara sebagaimana diutarakan di atas tidak lagi terjadi! Dan pemikiran-pemikiran seperti, bubarkan saja atau tidak perlu ada DPR, dan lain-lain yang mirip dalam sistem pemerintahan kita juga tidak akan muncul lagi dalam setiap benak rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun