Terpilih sebagai tenaga musim haji barangkali adalah impian setiap mahasiswa yang belajar di universitas-universitas di Timur Tengah. Sejak berangkat ke Mesir sebagai penerima beasiswa resmi Universitas Al-Azhar Cairo lewat jalur Kemenag tahun 2006, aku tak pernah tahu perihal temus ini. Kala itu aku hanya berpikir untuk belajar seserius dan setekun mungkin di Al-Azhar, meraih nilai dan prestasi yang memuaskan, lulus tepat waktu selama empat tahun, lalu pulang ke tanah air.
Setelah sekian lama berada di Mesir dan menjalani segala macam dinamika mahasiswa baik di kampus maupun di organisasi kemahasiswaan, aku jadi mengetahui bahwa mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di negara-negara Timur Tengah berkesempatan untuk menjadi tenaga musim haji lewat jalur KBRI di negara masing-masing.
Ya, tentu saja ini adalah kesempatan yang sangat diidam-idamkan. Sebab, selain mendapatkan peluang guna mengunjungi tanah suci dan menunaikan ibadah haji secara gratis, terpilih sebagai temus juga memberikan kesempatan untuk memperkaya pengalaman hidup, berkhidmat sebagai pelayan jamaah haji Indonesia, dan tentu saja memperoleh penghasilan yang sangat lumayan. Uangnya bisa digunakan untuk keperluan studi, ditabung, biaya nikah, atau dijadikan modal usaha sekembali ke tanah air.
Singkat cerita, di tahun pamungkasku belajar di Universitas Al-Azhar, yaitu tahun 2010, aku pun mendaftar dan mengikuti seleksi perekrutan temus. Sesuai peraturan, mahasiswa yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh KBRI Cairo, yaitu minimal tengah menempuh studi di tahun terakhir, berhak menjadi calon temus dan mendaftar ke paguyuban daerah masing-masing.
Sejatinya, pola perekrutan tenaga musim haji ini berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya di Timur Tengah. Misalnya, proses perekrutan untuk mahasiswa Indonesia di Mesir mungkin tidak sama dengan yang berlaku di negara-negara lain seperti Arab Saudi, Kuwait, Syria, Yordania, Lebanon, Uni Emirat Arab, Sudan, Yaman, Libya, Maroko, atau Tunisia. Sebab, ketika itu KBRI hanya berperan sebagai perantara atau perpanjangan tangan dari PPIH Arab Saudi, sedangkan proses dan mekanisme perekrutannya diserahkan kepada persatuan mahasiswa Indonesia di masing-masing negara.
Undian Temus
Proses perekrutan temus di Mesir kala itu sesungguhnya dilakukan berdasarkan undian per masing-masing paguyuban daerah. Di Mesir ada banyak organisasi kemahasiswaan yang dibentuk atas semangat kesamaan asal daerah dan provinsi. Setiap organisasi kedaerahan ini memperoleh jatah temus berdasarkan banyak sedikitnya anggota mereka. Semakin banyak anggota sebuah paguyuban, semakin banyak pula jatah temus yang mereka peroleh. Artinya, jumlah jatah temus yang dialokasikan untuk Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Mesir dibagi-bagikan kepada paguyuban-paguyuban mahasiswa ini.
Selain itu, setiap paguyuban ini pun memiliki aturan main yang hampir seragam, bahwa demi memperlancar keuangan organisasi, setiap temus yang terpilih wajib menyetorkan dana sumbangan yang nominalnya disepakati kepada paguyuban masing-masing. Namun, beberapa tahun belakangan pola perekrutan semacam ini sudah ditiadakan.
Kini, KBRI Cairo yang terjun langsung mengadakan tes tulisan dan wawancara terkait haji dan umrah bagi setiap calon temus, tidak lagi lewat undian di masing-masing paguyuban daerah. Bagiku, sistem seperti ini lebih baik dan lebih fair, karena temus yang dikirim ke Arab Saudi bisa lebih dijamin kapasitas dan integritas kerjanya.
Alhamdulillah, ketika itu namaku keluar dalam undian temus yang digelar di sekretariat organisasi kekeluargaan kami di bilangan Hay Asyir, Cairo bersama delapan orang rekan lainnya. Bahagia dan bersyukur rasanya, karena cita-citaku selama di Mesir agar bisa berkunjung ke tanah suci akan segera terwujud. Yeah, my dream will come true.
Maka, di saat Mesir tengah memasuki puncak musim panas, mulailah aku mengurus segala berkas dan persyaratan yang diperlukan untuk dikirim ke Arab Saudi, mulai dari pengurusan dokumen-dokumen di kampus Al-Azhar yang terkenal melelahkan, bolak-balik ke KBRI di bilangan Garden City, sampai pemeriksaan kesehatan dan suntik vaksin meningitis di klinik Mesir yang pelayanannya sangat tidak nyaman.
Jelang bertolak ke Arab Saudi, semua temus terpilih beberapa kali berkumpul guna pemberian briefing oleh pihak KBRI Cairo dan PPMI Mesir terkait hal-hal yang menyangkut pelayanan jamaah haji, rapat penentuan koordinator seluruh temus dan koordinator daerah kerja, sampai pembagian daerah kerja dan hotel bagi seluruh temus asal Mesir. Aku sendiri ditempatkan di daerah kerja Jeddah, tepatnya di Bandara King Abdul Aziz di bagian transportasi jamaah haji.
Hari keberangkatan pun tiba. Para temus terpilih yang berjumlah seratus orang dilepas dari Cairo oleh jajaran pengurus PPMI Mesir dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di Negeri Kinanah itu. Ramai sekali. Pemandangannya persis seumpama pelepasan jamaah haji di Indonesia. Hari itu, dengan bus-bus besar, kami, para temus asal Mesir bertolak dari Cairo menuju Alexandria Airport untuk selanjutnya terbang ke Jeddah, Arab Saudi.
Setiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah, kami langsung disambut oleh bapak-bapak PPIH Arab Saudi. Sejatinya, Bandara King Abdul Aziz sangat luas dan megah. Wajar memang, karena sepanjang tahun jutaan jamaah haji dan umrah mendarat di bandara ini untuk selanjutnya bertolak ke Makkah atau Madinah. Saat itu, aku melihat beberapa orang temus sudah stand by di bandara dengan mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru muda dipadu dengan celana berbahan gelap. Mereka sudah sampai di Arab Saudi beberapa hari sebelumnya, kendati hingga hari itu belum ada jamaah haji Indonesia yang datang.
Bertugas Delapan Jam Setiap Hari
Dua hari setelah sampai di Jeddah, aku mulai bertugas sebagai temus. Sehari sebelumnya kami menerima arahan dari kepala daerah kerja masing-masing dan diberikan seragam kerja. Hari itu adalah hari pertama kedatangan jamaah haji Indonesia. Perjalanan dari hotel menuju ke Bandara King Abdul Aziz dan sebaliknya memakan waktu satu jam, sehingga satu jam sebelum tugas dimulai kami sudah harus berangkat ke bandara dengan bus-bus PPHI. Lantaran kelelahan setiap harinya, tak jarang beberapa orang dari kami memanfaatkan waktu perjalanan dari dan ke bandara untuk tidur.
Di daerah kerja Jeddah yang berpusat di bandara itu, satu shift tugas terdiri dari bagian administrasi, Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI), bagian penyambutan jamaah, bagian pengaturan bagasi, bagian transportasi, dan beberapa orang sopir. Setiap shift bekerja setiap hari selama delapan jam, untuk kemudian digantikan oleh shift berikutnya. Seminggu sekali ada hari lembur, dengan durasi kerja dua belas jam setiap shift.
Detail pekerjaanku sebetulnya tidak sulit, lokasi tugas pun berada di dalam kompleks bandara yang teduh dan tidak panas. Berbeda dengan rekan-rekan temus lapangan di Makkah dan Madinah yang sepanjang hari harus standby melayani jamaah haji di bawah terik matahari. Akan tetapi, pekerjaanku ini bisa menjadi sangat repot dalam kondisi-kondisi tertentu.
Namun, betapa repotnya ketika detail tugas di atas hanya dipegang oleh dua-tiga orang temus di bagian transportasi, sementara pada saat bersamaan ada beberapa kloter sekaligus yang mendarat di bandara. Urusan satu kloter belum selesai, ternyata sudah ditambah oleh kloter-kloter berikutnya. Stres dan pusing rasanya, apalagi ditambah dengan sikap calon jamaah haji yang kerap tidak sabar untuk segera diberangkatkan ke Makkah.
Terkadang aku dibuat heran. Para jamaah calon haji ini baru saja mendarat di Jeddah setelah menempuh perjalanan belasan jam dari tanah air. Bukannya capek dan beristirahat dulu, mereka malah ingin langsung melanjutkan perjalanan ke Makkah saat itu juga. Agaknya para jamaah ini sudah tidak sabar ingin segera melihat dan bersujud di depan Ka'bah, mengingat mereka sudah menunggu jadwal keberangkatan ke tanah suci belasan tahun lamanya.
Batu Ulekan Cabe
Kendati demikian, banyak hal lucu dan menarik yang kuperhatikan dari para jamaah calon haji ini. Masing-masing kloter punya ciri khas sendiri-sendiri, punya pembawaan masing-masing. Suatu hari rombongan jamaah dari kloter SOC mendarat di bandara dengan mengenakan caping, yaitu topi anyaman bambu berbentuk kerucut yang biasa dipakai oleh para petani di sawah.
Kontan saja, hal demikian mengundang perhatian orang-orang Arab yang bertugas di bandara. Bagi mereka, pemandangan seperti itu tentu saja unik, karena sebelumnya mereka tidak pernah melihatnya. Bahkan yang hampir terjadi setiap hari, petugas-petugas haji dari Arab Saudi senang meminta permen kepada jamaah haji Indonesia di pintu masuk bandara. Mereka tahu jamaah haji asal Indonesia suka membawa permen dalam perjalanan ke tanah suci. Kata mereka, permen dari Indonesia rasanya enak.
Lain lagi dengan rekan-rekan temus yang bertugas di bagian pengaturan bagasi. Mereka menuturkan, bahwa bagasi dari sebuah kloter terkenal jauh lebih berat dibanding kloter lainnya. Mengapa? Karena jamaah wanitanya banyak yang membawa cobek, alias batu ulekan cabe. Saat mengetehui hal tersebut, kami semua terkekeh-kekeh. Kami membayangkan ibu-ibu itu akan membuat sambal terasi selama di tanah suci. Bahkan yang membuat geleng-geleng kepala, tak sedikit bapak-bapak yang kedapatan membawa berpak-pak rokok di dalam bagasi-bagasi mereka.
Selain itu, ada jamaah yang bisa kooperatif dengan pengarahan dari petugas temus, ada jamaah yang sedikit-sedikit komplain, bahkan ada jamaah yang tak mengerti sedikit pun bahasa Indonesia. Untuk kasus terakhir ini, serius, aku angkat tangan. Guna menjelaskan sesuatu kepada tipe jamaah semacam ini, biasanya aku akan memanggil temus yang berasal dari daerah yang sama dengan jamaah tersebut.
Namun, hampir semua jamaah haji ini memiliki masalah yang serupa: tidak bisa sabar. Suatu ketika saat kepulangan jamaah haji ke tanah air, aku pernah dibentak oleh seorang bapak. Kala itu Bandara King Abdul Aziz tengah mengalami overloaddengan ribuan jamaah haji yang akan kembali ke negara masing-masing. Ribuan orang tumpah-ruah di bandara, petugas bandara kalang kabut. Para temus pun tak kalah panik. Betapa tidak, bila kondisinya demikian, maka alamat delay berjam-jam yang bakal terjadi.
Rupa-rupanya benar. Pesawat kepulangan ke tanah air dikabarkan akan delay. Tak pelak, beberapa kloter jamaah haji Indonesia yang telah sampai dan menunggu di pelataran bandara tampak sangat kecewa. Namun sekonyong-konyong, rombongan dari sebuah kloter yang telah lama menunggu, memaksa bergerak ke arah pintu masuk bandara. Mereka tampak sudah tidak tahan ingin segara pulang.
Melihat hal demikian, beberapa orang petugas temus, termasuk aku, mendekati jamaah tersebut. Kami kembali meminta mereka untuk sabar menunggu karena penerbangan ke tanah air tengah mengalami keterlambatan. Bukannya mengerti, mereka justru marah-marah. Emosi mereka makin menjadi-jadi. Salah seorang dari mereka malah membentak-bentak dan hampir saja memukulku. Aku pucat pasi dibuatnya. Untung saja saat itu salah seorang petugas temus menarikku agar segera menjauh. Sebab, tak ada gunanya juga berbicara kepada mereka di saat-saat kritis seperti itu.
Bagaimanapun, menjadi temus memberikan sejuta pengalaman berharga dalam hidupku. Aku sangat bersyukur diberikan anugerah ini. Menjadi temus banyak sukanya, tapi tak sedikit pula pengalaman tidak enaknya. Di antara sukanya, saat jeda tugas, kami biasanya akan menyempatkan diri untuk menunaikan umrah ke Makkah. Naik bus dari Jeddah pada malam hari, lalu sampai di Makkah menjelang waktu Subuh. Ketika melakukan thawaf wada' di mana saat itu kompleks Masjidil Haram telah sepi, aku pun sempat dua kali mencium Hajar Aswad. Hal yang tentu sangat sulit dilakukan saat jamaah haji sedang ramai-ramainya.
Sedangkan di antara pengalaman tidak enaknya, ketika tengah berwukuf di Arafah, kami, para temus diperintah-perintah seenaknya oleh pejabat-pejabat elit yang berhaji dari dari tanah air. Kami disuruh melayani keperluan-keperluan mereka sedemikian rupa, padahal itu jelas-jelas bukan tugas kami. Duh, jengkel dan makan hati rasanya.
Melalui temus pula, aku jadi kenal lebih banyak manusia dengan beragam tipikal dan karakter, mulai dari jamaah haji dari berbagai daerah, sesama petugas haji, pejabat-pejabat, hingga orang-orang Arab yang kerap menyebalkan. Namun, kesemua itu pada gilirannya mengajarkanku bahwa inilah hidup dengan segala sisinya. Pun kesemua itu melatihku bagaimana memandang orang-orang dan permasalahannya dengan lebih bijak hingga kini.
Solok, Sumatera Barat, 25 November 2017
Â
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H