Apakah kita pernah mencoba memikirkan bahwa sepak bola hanya sekedar olahraga. Saat berbicara mengenai sepak bola mungkin hal pertama yang terlintas dalam pikiran kita adalah Ronaldo, seorang pemain sepak bola paling terkenal di dunia.
Makna sepak bola sangatlah luas, tidak bisa diukur dengan uang. Sebuah gairah emosi dan semangat adalah esensi dari olahraga ini. Sejarah, rivalitas, intrik magis, pertandingan kontroversial hingga alat perjuangan adalah nilai lebih yang terdapat pada sepak bola.
Maka sangat wajar apabila sepak bola merupakan olahraga yang paling digemari di planet bumi. Sepak bola adalah sebuah perwujudan ideologi, gerakan perlawanan, politik, bahkan juga musik. Lebih dari itu sepak bola telah menjadi sebuah jalan hidup bagi para penggemarnya.
Olahraga paling digemari di penjuru dunia ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Namun hal tersebut ternyata membuat sepak bola menjadi jauh dengan para penggemarnya. Olahraga yang awalnya dimainkan oleh kelas pekerja ini berubah menjadi sebuah ladang bisnis bagi kaum borjuis.
Pada awal abad 20 banyak pebisnis dan konglomerat yang mengakuisisi klub-klub sepak bola dengan tujuan komersil. Secara tidak sadar hal tersbut membuat penggemar hanya dijadikan bak sapi perah yang diperas setiap hari.
Hal itu dapat dilihat dari mahalnya tiket pertandingan. Tidak hanya itu, perlengkapan pertandingan seperti baju atau pernak-pernik yang berlabel official dengan harga yang sangat tidak terjangkau, membuat klub semakin jauh dari para penggemarnya.
Against Modern Football atau Gerakan melawan sepak bola modern adalah sebuah bentuk protes atas ketidakpuasan penggemar terhadap berbagai permasalahan yang terjadi. Protes mengenai segala bentuk aturan yang semakin menyebalkan serta komersialisasi yang dilakukan terus digaungkan, spanduk bertuliskan “Against Modern Football” dan istilah lain yang mengandung makna protes pun sering terlihat di dalam maupun di luar lapangan.
Slogan ini biasanya diekspresikan melalui nyanyian dan spanduk di tribun stadion, dirujuk di fanzine dan e-zine, sering dikutip di situs web penggemar, diskusi, dan forum, serta dilukis pada tembok-tembok di penjuru kota.
Ekspresi pertama ketidakpuasan para penggemar dengan apa yang disebut perkembangan sepak bola “modern” terjadi pada periode pascaperang sebagai tanggapan atas meningkatnya komersialisasi dan meningkatnya keterlibatan borjuis dengan sepak bola. Hal tersebut dianggap menghilangkan hubungan tradisional antara manajemen klub dan pendukung yang merebut kembali kontrol subkultur yang hilang atas proses pengambilan keputusan.
Gerakan yang awalnya muncul dari Inggris ini merebak ke seluruh penjuru dunia. Dengan satu tujuan, para penggemar hanya menginginkan olahraga yang sangat mereka cintai ini kembali pada esensi dan hakikatnya.
Tingginya nilai transfer pemain dan gaji selangit yang menjijikan, membuat pemain tidak perduli lagi soal kecintaan dan sejarahklub. Loyalitas pemainpun telah hilang asal mendapatkan pundi-pundi harta. Hal tersebut membuat klub yang tidak mampu membayar gaji dengan standar tinggi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemain bagus.
Pada akhirnya pertandingan sepak bola hanya dapat dimainkan oleh yang memiliki uang saja. Nilai organik dan kompetitif dalam sepak bola pun hilang.
Dengan dalih pembangunan dan meningkatkan kualitas sepak bola, modernitas justru mengubah identitas. Tradisi dan budaya yang dimana sejatinya sepak bola adalah permainan milik kelas pekerja atau proletar. Dengan perkembangan zaman permainan ini terus diekploitasi oleh modernisasi.
Akibatnya modernitas sepak bola justru telah menghilangkan kesenangan organik yang ada. Banyak orang tidak sadar bahwa sistem yang sekarang dan komersialisasi pada permainan ini justru telah menghilangkan esensi dari permainan sepakbola.
Gerakan “Against Modern Football” tidaklah menentang kemajuan dari sepak bola, tetapi yang dilawan adalah kemajuan yang tidak menguntungkan bagi sepak bola dan supporter, terutama persoalan komersil yang mengakibatkan hilangnya jiwa dari permainan sepak bola. Justru gerakan ini mengupayakan sepak bola kembali kepada fitrah yang seharusnya, dengan mendekatkan kembali hubungan penggemar dengan klub yang mereka cintai. Lalu apakah kita akan tetap menjadi sapi yang diperah habis-habisan oleh kapital dalam industri sepak bola atau bergabung dengan mereka yang sedang berjuang untuk permainan yang kita cintai ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H