Gerakan yang awalnya muncul dari Inggris ini merebak ke seluruh penjuru dunia. Dengan satu tujuan, para penggemar hanya menginginkan olahraga yang sangat mereka cintai ini kembali pada esensi dan hakikatnya.
Tingginya nilai transfer pemain dan gaji selangit yang menjijikan, membuat pemain tidak perduli lagi soal kecintaan dan sejarahklub. Loyalitas pemainpun telah hilang asal mendapatkan pundi-pundi harta. Hal tersebut membuat klub yang tidak mampu membayar gaji dengan standar tinggi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemain bagus.
Pada akhirnya pertandingan sepak bola hanya dapat dimainkan oleh yang memiliki uang saja. Nilai organik dan kompetitif dalam sepak bola pun hilang.
Dengan dalih pembangunan dan meningkatkan kualitas sepak bola, modernitas justru mengubah identitas. Tradisi dan budaya yang dimana sejatinya sepak bola adalah permainan milik kelas pekerja atau proletar. Dengan perkembangan zaman permainan ini terus diekploitasi oleh modernisasi.
Akibatnya modernitas sepak bola justru telah menghilangkan kesenangan organik yang ada. Banyak orang tidak sadar bahwa sistem yang sekarang dan komersialisasi pada permainan ini justru telah menghilangkan esensi dari permainan sepakbola.
Gerakan “Against Modern Football” tidaklah menentang kemajuan dari sepak bola, tetapi yang dilawan adalah kemajuan yang tidak menguntungkan bagi sepak bola dan supporter, terutama persoalan komersil yang mengakibatkan hilangnya jiwa dari permainan sepak bola. Justru gerakan ini mengupayakan sepak bola kembali kepada fitrah yang seharusnya, dengan mendekatkan kembali hubungan penggemar dengan klub yang mereka cintai. Lalu apakah kita akan tetap menjadi sapi yang diperah habis-habisan oleh kapital dalam industri sepak bola atau bergabung dengan mereka yang sedang berjuang untuk permainan yang kita cintai ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H