Mohon tunggu...
Jefrianus Tamo Ama
Jefrianus Tamo Ama Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

-Jadilah orang yang berguna dan bermanfaat untuk keluarga dan masyarakat-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembuktian dalam Konteks Hukum Acara Peradilan Pidana

19 Juli 2023   18:40 Diperbarui: 19 Juli 2023   20:44 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PEMBUKTIAN DALAM KONTEKS HUKUM ACARA PERADILAN PIDANA

Berbicara tentang pembuktian hukum pidana sesuatu hal yang sangat urgen bagi hakim untuk menimbang, mempertimbangkan, dan memutuskan sebuah kasus dalam acara pidana. Pembuktian (bewijs) dalam bahasa belandanya memiliki dua arti yang pertama sebagai “perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, kemudian yang kedua biasa diartikan sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu terdapatnya suatu kepastian.

Pembuktian dalam hukum kitab undang-undang hukum acara pidana berdasarkan pasal 183 KUHAP, sistem yang dianut dalam oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative dimana dalam isinya berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya. Dalam pasal tersebut mendung sebuah ketentuan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan seseorang bersalah dan menyatakan bersalah, diantaranya:

1.Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

2.Adanya keyakinan hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.

Selain dari itu pembuktian menurut Undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijsheorie) dalam kontek sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim dikesampingkan. Dalam pembuktian kesalahan terdakwa asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian terdakwa asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan apakah hakim yakin atau tidak. Dalam konteks sistem ini lebih eksisnya atau lebih berpedoman pada undang-undang bukan pada keyakinan hakim. Semisalnya apabila terbukti secara sah bersalah menurut undang-undang hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Dalam sistem pembuktian negatif dan sistem pembuktian positif ialah kedua hal yang bertolak belakang. Pembuktian menurut undang-undang pembuktian negative ialah sistem pembuktian gabungan dari sistem pembuktian menurut undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim.

Dalam pembuktian korelasinya tentunya berkaitan dengan menyelidikan fakta-fakta yang yang terjadi dalam aspek korban maupun pihak pelaku atau tersangka. Sebelum saya lanjut dalam pembahasan pembuktian dalam konteks hukum acara peradilan pidana, disini saya cobah untuk menguraikan dulu apa itu pembuktian? Pembuktian ini sesuatu yang penting dalam perkara/kasus pidana. Pembuktian merupakan sebuah fakta-fakta yang diungkapkan pada saat terjadinya sebuah kasus. Dalam hal terjadinya sebuah perkara tersebut tentunya adanya sebuah sebab akibat yang kemudian munculnya perkara tersebut makah dalam pembuktian menyelidiki dan mencari dan mengumpulkan fakta-fakta didalam pengadilan yang menjadi sebuah patokan dalam pertimbangan hakim dalam pengadilan. Ada beberapa ahli yang mengemukakan pengertian pembuktian dalam konteks hukum acara pidana, diantaranya sebagai berikut:

1.Rahmat Aries. SB,MH.

Menurut Rahmat Aries ‘Pembuktian adalah perbuatan pembuktian membuktikan berarti memberikan atau memperlihatkan bukti,melakukan sesuatu kebenaran,melaksanakan,menandakan menyaksikan, dan meyakinkan.

2.R. Subekti

Subekti berpendapat pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.

3.Murir Faudy

Menurut Murir Faudy sistem pembuktian dalam hukum acara pidana hampir seragam di negara manapun bahwa beban pembuktian diletakkan pada pundak pihak jaksa penuntut umum. Kemudian ia menguraikan lagi tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:

a)Bagi penuntut umum , pembuktian merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah sesuai surat atau catatan dakwaan;

b)Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usah sebaliknya untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Dalam hal ini terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus menunjukkan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya, biasanya bukti tersebut disebut kebalikannya.

c)Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dangan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat atas dasar untuk membuat keputusan.

Berbicara tentang pembuktian tentunya berlandaskan atau memiliki teori-teori yang menjadi sebuah landasan khusus. Ada beberapa teori pembuktian dibawah ini diantaranya sebagai berikut:

a.Teori pembuktian obyektif murni

Teori tersebut dianut oleh hukum gereja katolik (cononiek reht) dan juga aliran ini ajaran positif menurut hukum positif weettelijke. Menurut teori ini ialah hakim sangat terikat pada bukti serta dasar pembuktian yang telah ditentukan oelh undang-undang yakni dengan menyatakan bahwa sesuatu perbuatan-perbuatan yang didakwakan telah terbukti haruslah didasarkan kepada hal-hal yang telah disimpulkan dari sekian jumlah alat-alat pembuktian yang semata-mata berdasarkan undang-undang. Dalam teori ini sangat berkorelasi dengan hukum positif kita di indonesia untuk menghindari hal-hal yang bersifat analogi, dan keyakinan-keyakinan hakim tanpa berlandaskan undang-undang/ mengesampingkan undang.

b.Teori pembuktian subyektif murni

Teori pembuktian subyektif murni (conviction in time atau bloot gemoedilijk ofer tuiging) dalam pembuktian ini bertolak belakang dengan teori pembuktian objektif murni karena dalam teori pembuktian subyektif murni didasarkan pada keyakinan hakim belaka (keyakinan hakim semata). Dalam prinsip pembuktian ini pembuktiannya kepada penilaian hakim atas dasar keyakinan menurut perasaanya semata-mata, dan tidak menyandarkan kepada pembuktian menurut undang-undang tetapi memberikan kebebasan yang mutlak kepada hakim . Yang menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun