Seorang aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan divonis 7 bulan penjara karena aksinya dalam menjaga lingkungan Karimunjawa dari upaya perusakan alam.
Awal Mula Permasalahan
Semua berawal dari unggahan video mengenai kondisi pesisir Karimunjawa yang terdampak limbah tambak udang ilegal, berdurasi 6:03 menit di akun Facebook Daniel pada 12 November 2022. Unggahan tersebut menuai banyak komentar dan Daniel membalas salah satu komentar, “Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak yang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan.”
Daniel kemudian dilaporkan ke Polres Jepara oleh warga berinisial R menggunakan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tentang ITE Tahun 2016 pada 8 Februari 2023. Pada 7 Desember 2023 Daniel ditahan, tetapi keesokan harinya sudah dibebaskan, menunggu permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan. Lalu Daniel ditahan kembali pada 23 Januari 2024 setelah berkan permohonan tersebut lengkap. Menurut kuasa hukum pelaku, komentar tersebut dianggap menghina warga Karimunjawa “otak udang” dan mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan.
Bagaimana Seharusnya Pemerintah Bertindak?
Ini merupakan perbuatan yang tidak bisa diterima secara akal sehat sebagai warga negara Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat sejak era reformasi dimulai. Diketahui bahwa UU ITE banyak mengalami pasal karet dari beberapa frasa multitafsir hingga membatasi hak bersuara dalam mengkritisi badan negara, pemerintah, dan oknum yang merugikan barang, negara, dan orang lain. Apa dampak baik yang dirasakan warga Karimunjawa setelah aktivis lingkungan tersebut ditangkap? Suatu perkara ditangani demi kesejahteraan bersama bukan?
Persoalan ini menanyakan keberadaan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) yakni, asas kecermatan, asas kepentingan umum, asas permainan yang layak (fair play), asas keadilan dan kewajaran, asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi, dan asas kebijaksanaan. Asas-asas tersebut mengedepankan keadilan, menerima sudut pandang yang luas, dan penanganan pemerintah yang tidak kaku.
Melihat reaksi yang diberikan oleh Daniel tidaklah lebih buruk dibandingkan mereka yang menomorsatukan kepentingan pribadi sampai merugikan orang lain dan ekosistem. Perlunya memaknai setiap kata yang hendak diuji kebenarannya. Apakah masuk akal jika Daniel sang aktivis lingkungan memberikan aksi perlindungan terhadap lingkungannya dan merasakan langsung menjadi warga di sana juga menghina tempat yang dilindunginya itu? Tidak semua perkara dapat ditangani menggunakan hukum material yang kaku.
Aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, Didit Wicaksono berpendapat bahwa jika Daniel diputus bersalah, bisa memicu pandangan buruk kepada pejuang lingkungan sebagai pelaku kriminal dan dianggap sebagai provokator. Padahal apa yang dilakukan para aktivis lingkungan jelas dilindungi oleh UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Para nelayan di sana mengakui bahwa mereka mengalami kesulitan dalam bekerja dan untungnya sedikit setelah ada tambak udang ilegal yang tidak mengikuti prosedur dan membuang asal limbah tersebut ke laut. Limbah tambak udang tersebut telah mencemari air dan lumut sutra di sana mulai lebat menutupi permukaan laut sehingga ikan-ikan tidak menerima sinar matahari dan akhirnya mati. Petani rumput laut pun rugi besar sebab gagal panen. Bukan hanya itu, ketika bekerja, kulit mereka melepuh seperti herpes.
Sudah berkali-kali warga yang menolak memberikan aduan sejak 2018 ke pemerintahan daerah tidak kunjung ditanggapi, sampai akhirnya pada November 2023, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) KLHK menerima aduan adanya dugaan pencemaran perairan Taman Nasional Karimunjawa dan menutup beberapa tambak ilegal. Sayangnya, mengapa sepertinya sulit sekali pemerintah peka dan cepat tanggap akan suatu permasalahan bahkan yang paling dasar, padahal hal tersebut juga merugikan negaranya sendiri.
Implementasi Demokrasi
Indonesia sebagai negara berkedaulatan rakyat sudah menjadi risiko bagi pemerintah untuk membuka telinga selebar-lebarnya tanpa terbawa perasaan yang dapat mengalihkan fokus dari inti permasalahan yang merugikan banyak orang lalu memilih menangani kepentingan-kepentingan yang tidak membawa perubahan yang lebih baik. Rupanya Indonesia merupakan negara berkembang yang masih butuh belajar mengimplementasikan demokrasi (yang sebenarnya) sebagai negara yang mengaku bahwa negaranya menganut sistem demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Tidak sekali dua kali pemerintah membuat pasal undang-undang yang tidak memiliki tolak ukur. Kemarin Maret 2024 baru saja Mahkamah Konstitusi menghapus isi pasal Pasal 14 dan Pasal 15 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana mengenai berita bohong dan penghapusan isi Pasal 310 KUHP mengenai pencemaran nama baik. MK memberikan 6 alasan penghapusan, salah satunya membuat kebebasan berpendapat bagi warga negara yang dijamin UUD 1945 terancam aktualisasinya. Dari contoh kasus ini, diharapkan bagi pemerintah belajar dari kesalahan untuk bisa melihat keganjalan dalam pasal maupun suatu kasus agar terciptanya kepastian hukum yang adil.
Referensi:
BBC News Indonesia 27 Maret 2024:
Aktivis lingkungan Karimunjawa 'dikriminalisasi' dengan UU ITE - Mengapa disebut pertaruhan besar bagi para pegiat lingkungan?
Grafis Tempo 27 Maret 2024: MK Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H