“Saya sedang mengumpulkan lagi terbitan-terbitan Bentang,” SMS susulannya.
“Boleh didiskon, Bang!” kutawarkan.
“Oke!”
Setelah disepakati harga, akhirnya Sang Penerbit kembali membeli buku Zarathustra yang diterbitkannya dulu, tak ketinggalan sebuah kopi dari Metamorfosis.
Perjalanan Sebuah buku kadang memang absurd—walaupunmungkin tak seabsurd cerita-cerita Kafka dan Camus. Dari Jawa pulang lagi ke Jawa (info lebih dari 80% pelanggan buku Jejak Langkah berasal dari Jawa), bahkan dari penerbitnya kembali ke penerbitnya.
***
SEKARANG 2015. Buku-buku Jogja yang dulu susah di dapat terbit lagi. Beredar lagi. Ini mesti hasil kerja tak kenal lelah dan rugi dari orang-orang yang peduli dengan bacaan bermutu yang ada di Jogja sana. Di Medan, di toko buku Gr yang ada di bilangan Jalan Gajah Mada, kalau saja teliti mau masuk sampai ke setiap lorong yang ada di toko buku itu bisa didapatkan buku Zarathustra, Kitab Lupa dan Gelak Tawa Milan Kundera, Republik Plato, dan lain-lain. Tersuruk-suruk sebagai nasib buku non Gr, walaupun buku baru tidak diletakan di rak “selamat datang!”. Buku-buku itu kini diterbitkan di bawah bendera Pustaka Promothea dan Narasi. Senang, paling tidak bisa melengkapi buku-buku yang belum didapat dari Bentang dulu, walaupun ada rasa kurang puas karena dicetak dengan kertas kuning bookpaper yang gampang berubah kecoklat-coklatan kalau terpapar udara (mungkin karena pertimbangan budget dan isu ramah lingkungan?), dan tidak ada lagi logo huruf B yang saling punggung-memunggung itu.
Tapi tak apalah, paling tidak buku-buku ini bisa mengobati kerinduan terhadap buku-buku lama terbitan Jogja! Selamat datang lagi buku-buku Jogja di Medan. Selamat datang kembali buku-buku berat, sebagai Nietzsche, yang ditulis dengan darah ...
JEMIE SIMATUPANG, pedagang buku bekas asal Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H