Sekarang genap usiamu dua tahun. Sudah bisa bicara walau masih telo. Celat sana-sini. Bisa bilang “Bunda”, menyebut “Ayah”. Satu harapanku padamu jangalah tiru cakap kami (juga cara berpikir dan bertindak kami), orang dewasa ini, yang berbohong, munafik, tak jujur. Yang tak mau mengatakan yang hitam itu hitam, putih itu ya putih. Suka yang abu-abu.
Memang konon kata pemikir dunia sekarang penuh simulakra, dimana segala sesuatu yang bertolak belakang bisa bercampur: baik-buruk, moral-amoral, jahat-pahlawan, ... semua konon bisa dirubah dengan citra, tampilan, penampakan palsu dari orang-orang, tingkah laku, ...
Tapi Nak, kau pasti bisa membedakan mereka kalau saja bertanya pada hati yang paling dalam. Pada nurani. Dia, kalau saja masih hidup, tak akan pernah berbohong mana yang salah mana yang benar. Akh, konon memang generasi kami, orang-orang tua-mu ini banyak nuraninya yang telah mati, semoga tidak dengan generasimu nanti.
Nak,
Sekali lagi selamat ulang tahun, maaf kalau surat untukmu ini penuh—sepertinya—kebencian, tak ada bermaksud lain daripada kau bisa kelak belajar darinya. Maaf juga kalau ayah belum bisa beli kue tar, balon, dan pesta macam ulang tahun kawan-kawanmu.
Pematangsiantar, 26/02/2011
Peluk cium, Ayahmu sendiri,
JEMIE SIMATUPANG
NB: