Ini tahun ketujuh saya mengajar di pondok sejak 2016 lalu---tahun di mana saya menyerah beralasan kepada ibu saya supaya tidak melanjutkan studi di perguruan tinggi dan akhirnya malah diterima di Jurusan Sastra Indonesia UNY. Dan sebagaimana pengalaman-pengalaman lain dalam hidup, kesan dari pengalaman pertama kali saya mengajar begitu membekas.
Ketika itu, jika boleh memilih, sebetulnya saya ingin terus mengaji dulu agar lebih siap. Tapi, itu jelas saya pendam dan tidak saya sampaikan sebab tak berani menolak perintah guru saya. Dan betapa kagetnya saya ketika tahu bahwa adik-adik yang musti saya dampingi belajar di kelas hampir seratus orang. Saya tertegun mengetahuinya, banyak sekali. Ditambah lagi, usia mereka beragam, mulai dari kelas 1 tsanawiyyah---santri baru yang notabene masih belum betah dan masih kerap menangis---hingga santri di kelas 3 aliyah yang kerap sudah merasa paling senior. Terus terang, saya gentar.
Untungnya, mata pengajian yang saya ajar saat itu tergolong pelajaran dasar. Saya mengajar Pegon---bahasa Jawa yang ditulis dalam aksara Arab yang biasa dipakai untuk memaknai kitab yang dikaji dan dibacakan oleh pengampunya. Itu sungguh menguntungkan saya sebab saya sudah cukup menguasainya dan tidak perlu bekerja keras dalam menyiapkan materi ajar.
Singkat cerita, saya masuk kelas, menyampaikan materi, begitu seterusnya hingga seiring berjalannya waktu menyadari hal menyebalkan dari menjadi guru: Tidak diperhatikan sewaktu menerangkan. Betapa beratnya menjadi ikhlas. Saat menjelaskan atau menulis contoh di papan tulis, misalnya, lalu melihat adik saya ada yang tidur atau berbicara sendiri dengan kawannya, rasanya saya ingin menjadi Iron Man dan menembakkan laser di jidatnya. Meski demikian, kenyataan bahwa saya tidak bisa melakukannya justru terasa lebih berat lagi. Saya musti bersabar dan menahan diri. Sulit sekali.
Kesadaran tersebut membuat saya teringat pada keterangan guru saya bahwa -- materi merupakan hal yang penting. Walakin, -- metode adalah lebih penting. Saya pun menautkannya dengan dugaan bahwa barangkali cara saya mengajar adalah lebih penting ketimbang apa yang saya ajarkan. Dalam menyampaikan materi Pegon, saya bisa saja merujuk ke buku acuan X, Y, Z. Namun begitu, cara saya menyampaikannyalah yang pada akhirnya lebih menentukan keberhasilan pembelajaran.
Teringat pula saya pada pengalaman semasa SMA, masa di mana saya sama sekali tidak tertarik sekolah karena merasa bahwa segala tentangnya terasa membosankan. Tak ada minat dalam diri saya untuk mempelajari pelajaran apa pun. Jangankan mempelajari, memperhatikan guru menerangkan di kelas saja saya enggan. Memikirkan itu, saya jadi merasa berdosa sendiri sebab membayangkan bahwa barangkali guru-guru saya dulu sungguh menahan diri supaya tidak menjitak kepala saya akibat kelakuan saya di kelas.
Saya pun melakukan refleksi dan berusaha lebih memperhatikan pembawaan diri serta cara saya mengajar. Saya berusaha tidak lagi sekadar masuk kelas, mengabsen, menjelaskan materi, dan bertanya apakah ada bagian yang tidak dipahami. Dalam bayangan saya, cara tersebut begitu membosankannya, begitu tidak menariknya, begitu tidak membangkitkan keingintahuan adik-adik saya.
Seiring berjalannya waktu pula, di mata pelajaran apa pun yang diamanahkan kepada saya, saya mulai untuk tidak sebatas menganggap bahwa tanggung jawab saya adalah menyiapkan materi, melainkan juga bagaimana cara penyampaian yang menarik dan efektif. Berkaitan dengan hal ini, saya bersyukur sebab pernah menonton beberapa film tentang sosok guru aneh yang dapat saya jadikan rujukan.
Yang pertama, tentu, adalah Taare Zameen Par (2007), film India yang menceritakan bocah pengidap disleksia yang oleh semua penghuni sekolahan dianggap bodoh tak ketulungan. Walakin, nasibnya berubah tatkala seorang guru baru datang dan masuk kelas dengan cara yang mencengangkan.
Pak Guru Baru, alih-alih masuk dan duduk di meja guru layaknya pengajar pada umumnya, datang dengan mengenakan kostum badut. Pak Guru Baru datang dengan mengenakan kostum badut dan bernyanyi dan menari. Pak Guru Baru datang dengan mengenakan kostum badut dan bernyanyi dan menari dan seisi kelas bahagia.
Cara masuk Pak Guru Baru itu, dalam amatan saya, menggoncang kesadaran si bocah disleksia bahwa belajar bisa tidak semembosankan itu. Dengan pembawaannya, Pak Guru Baru akhirnya dapat mengantarkan si bocah disleksia untuk menemukan cara belajarnya sendiri hingga akhirnya lulus dengan predikat terbaik.