Mohon tunggu...
Jembar TunggulWisesa
Jembar TunggulWisesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jember

Hobi saya menonton film dan menjelajahi alam terbuka

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Membongkar Dilema Globalisasi: "America First" Vs "Made In China 2025" dan Implikasi Geopolitik dalam Perdagangan Internasional

22 Maret 2024   00:25 Diperbarui: 22 Maret 2024   00:29 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Globalisasi merupakan fenomena yang telah mengubah dunia kita menjadi semakin terhubung. Proses ini melibatkan pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya di antara negara-negara dan masyarakat di seluruh dunia. Kemajuan dalam infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, seperti kemunculan telegraf dan Internet, telah memainkan peran penting dalam mendorong proses globalisasi ini.

Globalisasi telah membawa sejumlah dampak dan manfaat. Misalnya, globalisasi telah mempengaruhi perubahan nilai dan sikap dalam masyarakat. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibawa oleh globalisasi telah memudahkan berbagai aktivitas dan mendorong pemikiran yang lebih maju. 

Globalisasi juga telah membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan membuka industri baru dan menciptakan lapangan kerja. Selain itu, globalisasi telah mendukung penguatan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Globalisasi juga telah membuka peluang pasar perdagangan luar negeri dan memungkinkan perusahaan asing untuk beroperasi di berbagai negara.

Dalam konteks ekonomi politik internasional, globalisasi telah mengubah lanskap ekonomi internasional secara signifikan. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Uni Eropa, dan Jepang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk arah dan dinamika globalisasi. Mereka memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan, pasar konsumen yang besar, dan daya tarik bagi investasi asing. Sebagai hasilnya, mereka memiliki peran sentral dalam menentukan aturan main dalam sistem ekonomi global.

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok merupak contoh nyata dari dilemma globalisasi ekonomi dalam ranah ekonomi politik internasional. Pada tahun 2018, Amerika Serikat mulai menaikkan tarif impor terhadap barang-barang dari Tiongkok sebagai bagian dari strategi "America First" yang di canangkan oleh Presiden Donald Trump. Langkah itu diambil dengan tujuan untuk melindungi industry dalam negeri dan mengurangi akan defisit perdangan Amerika Serikat denan Tiongkok.

Namun, Tiongkok sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, merespons dengan mengenakan tarif balasan terhadap barang-barang yang berasal dari Amerika Serikat. Hal tersebut memicu perang tarif yang berkepanjangan dan berdampak luas terhadap perekonomian global. Perang dagang ini tidak hanya mempengaruhi kedua negara tersebut, tetapi juga berdampak pada negara lain di seluruh dunia. 

Contohnya, negara-negara yang terlibat dalam rantai pasokan global merasakan dampak dari perang dagang ini. Selain itu, ketidakpastian yang telah ditimbulkan oleh perang dagang ini juga dapat mempengaruhi pasar keuangan global dan pertumbuhan ekonomi dunia. Penulisan pada studi kasus ini menunjukkan bahwa bagaimana globalisasi ekonomi yang seharusnya menciptakan ketergantungan antarnegara dan mendorong akan kerjasama. Namun, dapat juga memicu konflik dan ketidakstabilan akan ekonomi politik internasional.

Politik "America First" berasal dari era Presiden Donald Trump. Konsep ini berakar pada ideologi bahwa kepentingan Amerika harus menjadi prioritas utama dalam semua kebijakan luar negeri dan perdagangan. Sebelum era Trump, Amerika Serikat telah memasukkan 26 negara berkembang dengan lebih dari 4.800 produk ke dalam fasilitas Generalize System of Preference (GSP) dengan tujuan merangsang perdagangan dengan negara berkembang sebagai bagian dari pelebaran kekuatan ekonomi AS. 

Kebijakan "America First" diimplementasikan melalui berbagai cara, termasuk penawaran kewarganegaraan bagi 1,8 juta imigran gelap yang dibawa ke Amerika oleh orang tua mereka ketika masih kecil, pembangunan tembok perbatasan antara Meksiko dan Amerika, pengakhiran undian izin tinggal tetap, dan pengakhiran imigrasi berantai, yaitu membawa anggota keluarga ke Amerika tanpa batas. Selain itu, kebijakan ini juga mencakup America First Energy Plan (AFEP) yang bertujuan untuk mencapai dominasi energi Amerika Serikat.

Kebijakan "America First" telah memicu ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk China, dengan penerapan tarif dan pembatasan impor. Pada September 2018, Amerika Serikat mulai memberlakukan kenaikan bea impor sebesar 10% terhadap produk yang berasal dari Tiongkok senilai US$200 miliar. Kenaikan tarif ini bertujuan untuk memperbaiki sistem ekonomi dalam negeri dan meminimalisir defisit neraca perdagangan antara kedua negara.

Kemudian, pada Mei 2019, Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa dia akan menaikkan tarif impor lebih lanjut menjadi 25% atas barang China senilai $200 miliar. Ini merupakan bagian dari strategi "America First" yang dicanangkan oleh Presiden Donald Trump untuk melindungi industri dalam negeri Amerika Serikat. Namun, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan bahwa tarif perdagangan yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap barang-barang China merupakan tindakan ilegal.

Perang dagang ini juga berdampak pada volume perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Dengan adanya penerapan tarif dan hambatan perdagangan antara kedua negara, hal ini menghambat pengaliran jasa dan barang dari kedua negara. Sebagai contoh, barang-barang seperti baja, teknologi, dan produk pertanian menjadi pusat perselisihan, yang mengakibatkan peningkatan biaya dan harga bagi para konsumen akhir. Dalam jangka panjang, penurunan perdagangan dapat berdampak negatif pada perekonomian global.

"Made in China 2025" adalah rencana strategis nasional dan kebijakan industri dari Partai Komunis Tiongkok untuk mengembangkan lebih lanjut sektor manufaktur Tiongkok. Rencana ini dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, Xi Jinping, dan kabinet Perdana Menteri Tiongkok, Li Keqiang, pada Mei 2015. 

Sebagai bagian dari Rencana Lima Tahun ke-13 dan ke-14, Tiongkok bertujuan untuk beralih dari menjadi "pabrik dunia" - produsen barang murah berteknologi rendah yang difasilitasi oleh biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan keuntungan rantai pasokan. 

Kebijakan "Made in China 2025" diimplementasikan melalui berbagai cara, termasuk peningkatan produksi produk dan layanan berteknologi tinggi, dengan industri semikonduktor menjadi pusat rencana industri. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mencapai kemandirian dari pemasok asing dan mendorong produksi dalam produk dan layanan berteknologi tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, Tiongkok memberikan dukungan keuangan dan kebijakan lainnya kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam industri-industri tersebut.

 Kebijakan "Made in China 2025" telah memicu ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat. Beberapa negara menganggap bahwa Tiongkok tidak adil dalam perdagangan internasional dan telah melakukan dumping (penjualan produk dengan harga lebih murah dari harga pasar) untuk menguasai pasar global. Selain itu, Tiongkok juga melakukan subsidi terhadap industri tertentu untuk mendorong ekspor. Hal ini dianggap melanggar aturan perdagangan internasional.

Kedua kebijakan antara, "America First" dan "Made in China 2025", memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperkuat industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor. Namun, pendekatan yang digunakan oleh kedua negara ini berbeda. "America First" lebih berfokus pada proteksionisme dengan menaikkan tarif impor dan membatasi akses pasar bagi produk asing. 

Sementara itu, "Made in China 2025" lebih berfokus pada pengembangan teknologi tinggi dan inovasi dengan memberikan dukungan keuangan dan kebijakan lainnya kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam industri-industri tersebut. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah menjadi topik yang mendominasi perdebatan global dalam beberapa tahun terakhir. 

Sebagai dua negara terbesar dalam bidang ekonomi, Amerika Serikat dan Tiongkok memiliki banyak negara yang bergantung dan terikat. Dengan adanya penerapan tarif dan hambatan perdagangan antara kedua negara, hal ini menghambat pengaliran jasa dan barang dari kedua negara. Sebagai contoh, barang-barang seperti baja, teknologi, dan produk pertanian menjadi pusat perselisihan, yang mengakibatkan peningkatan biaya dan harga bagi para konsumen akhir. Dalam jangka panjang, penurunan perdagangan dapat berdampak negatif pada perekonomian global.

Referensi:

McBride, J. (2019, May 13). Is 'Made in China 2025' a threat to global trade? Council on Foreign Relations. https://www.cfr.org/backgrounder/made-china-2025-threat-global-trade

Muhamad Kemal, . (2021) IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AMERICA FIRST ENERGY PLAN (AFEP) PADA MASA PEMERINTAHAN DONALD TRUMP (2017-2020): Isu Perubahan Iklim. Skripsi thesis, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

The meaning of "America First." (n.d.). Kenyon Alumni Magazine. https://bulletin.kenyon.edu/article/the-meaning-of-america-first/

Wambrauw, M. S. F., & Menufandu, D. N. (2022). DAMPAK PERANG DAGANG TERHADAP NERACA PERDAGANGAN AMERIKA SERIKAT-CHINA. Citizen, 2(4), 627--636. https://doi.org/10.53866/jimi.v2i4.174

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun