Mohon tunggu...
Jembar tahta
Jembar tahta Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

pejalan sunyi, penikmat karya tuhan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Shodaqoh Demokrasi

27 November 2024   00:58 Diperbarui: 27 November 2024   02:04 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kawan, selamat malam
Indonesia malam ini meniti tali di atas deras sungai
Di ujung jalan ada pilihan: bangkit atau jatuh
Indonesia malam ini, jadi emas yang berkilau
Atau besi yang berkarat, terbuang di tepian waktu.

Kawan...
Apakah tidurmu pulas malam ini?
Pulas karena bingung memilih jalan
Atau pulas karena rupiah dalam genggaman?

Kawan...
Ini pesta demokrasi atau mabuk demokrasi?
Apakah kita bahagia, atau kehilangan sadar diri?
Suara kita, semurah itu kah nilainya?
Harga diri kita, mudah sekali dinaik turunkan.

Kawan...
Bukankah kita ini rakyat? Bukankah kita pemegang kedaulatan?
Bukankah suara kita lebih kuat dari para pejabat?
Mengapa kini, kepala kita kalah tinggi dari kaki mereka?
Mabuk apa yang membuat kita lupa ini semua?

Bangunlah!
Fajar esok menunggu, dan kita harus bangkit.
Sambut pagi dengan serangan optimisme,
Pilihlah dengan hati yang jernih,
Dan serahkan semuanya pada Tuhan yang Mahakuasa.

Tepat di pergantian malam 26 menuju 27 November 2024, Indonesia bersiap melaksanakan pesta demokrasi dalam bentuk pilkada serentak. Sebuah momen besar yang melibatkan seluruh rakyat untuk memilih pemimpinnya. Namun, di balik semarak demokrasi ini, sebuah pertanyaan besar mengemuka: setelah berulang kali menggelar pemilu, apakah kita semakin dewasa atau justru masih berkutat dalam masalah yang sama?

Diskriminasi akibat perbedaan pilihan dan politik uang tetap menjadi luka lama yang sulit sembuh. Keduanya kini seperti ciri khas dalam praktik demokrasi kita. Pancasila, yang telah menjadi fondasi ideologis bangsa, bersama undang-undang, hukum adat, dan agama, terus digaungkan sebagai panduan. Namun, dua masalah ini tetap saja hadir, seakan berakar dalam dan sulit dicabut.

Perbedaan pilihan adalah hal biasa dalam demokrasi. Tetapi, pilkada kali ini justru banyak menimbulkan korban. Peristiwa tragis seperti saling bunuh di Sampang karena perbedaan pilihan politik, atau pengeluaran tiga anak TK di Rembang dari yayasan hanya karena pilihan orang tua mereka, menunjukkan betapa fanatisme telah mengaburkan akal sehat kita. Hidup kita, yang seharusnya diperkaya oleh keberagaman pandangan, justru dipermainkan oleh politik yang kotor.

Dalam hal ini, tidak masuk akal jika kandidat atau petinggi mereka langsung disalahkan. Sebab tindakan semacam itu hanya akan merugikan elektabilitas mereka. Namun, ini justru mencerminkan kelemahan masyarakat kita sendiri. Kita terlalu mudah disetir, terlalu mudah fanatik, dan terlalu mudah tergoda oleh iming-iming materi. Kita lupa bahwa pandangan setiap orang berbeda dan tidak perlu dipaksakan untuk sama.

Fanatisme yang membutakan hanya membawa kerugian bagi rakyat. Mereka yang kita bela mati-matian tidak menjamin kehidupan kita setelahnya. Justru kita yang menjadi korban dari nafsu dan kefanatikan kita sendiri. Kita lupa bahwa sebagai rakyat Indonesia, kita terikat oleh nilai-nilai Pancasila yang menuntut persatuan. Kenapa kita begitu mudah diadu domba oleh kepentingan politik yang tidak membawa manfaat bagi kehidupan kita?

Sementara itu, politik uang tetap menjadi duri dalam daging demokrasi kita. Berbagai pihak, mulai dari aktivis hingga akademisi, terus menyuarakan bahwa politik uang adalah perusak demokrasi. Namun, praktik ini tetap bertahan dan bahkan berkembang.

Berbeda dengan kasus diskriminasi, dalam politik uang, kesalahan tidak sepenuhnya ada pada rakyat. Paslon dan para petinggi politik yang memainkan cara licik inilah yang harus dipersalahkan. Mereka menaburkan uang untuk meraup suara, sementara rakyat---terutama mereka yang hidup dalam kesulitan ekonomi---tidak punya banyak pilihan. Bagi sebagian besar rakyat, uang 50 hingga 200 ribu itu berarti besar.

Namun, di sinilah ironi muncul. Uang yang diterima sering kali dianggap wajar. Bahkan istilah "serangan fajar" telah menjadi bagian dari tradisi pemilu. Betapa murahnya harga suara rakyat kita. Bahkan beberapa tokoh agama ikut terpengaruh, menyarankan untuk menerima uangnya tetapi tidak "memasukkannya ke perut." Tapi bukankah uang itu tetap menjadi bagian dari hidup kita, entah untuk beli bensin atau keperluan lain? Masih murni kah niat dan perjalanan kita setelah menerima uang itu?

Logika yang dihasilkan oleh politik uang begitu berbahaya. Paslon memanfaatkan kemiskinan rakyat untuk keuntungan mereka. Semakin miskin rakyat, semakin mudah suara mereka dibeli. Setelah pemilu usai, rakyat yang semula penting menjadi terlupakan.

Maka dari itu, gunakan hak pilihmu dengan bijak. Jangan golput. Pilihanmu adalah suara yang menentukan masa depan Indonesia. Dasarkan keputusanmu pada hati dan logika, bukan sekadar pada rupiah yang ditawarkan.

Biarlah pilihan kita menjadi shodaqoh demokrasi untuk negeri ini. Cobloslah dengan niat baik, lalu pasrahkan hasilnya kepada Tuhan. Jika pemimpin yang kita pilih amanah, biarkan mereka melanjutkan tugasnya. Jika tidak, kita percaya bahwa Tuhan yang akan memberikan ganjarannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun