Mohon tunggu...
Jembar tahta
Jembar tahta Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

pejalan sunyi, penikmat karya tuhan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Digugu dan Ditiru, Bukan Diburu

25 November 2024   17:13 Diperbarui: 25 November 2024   17:24 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Digugu dan ditiru" adalah frasa yang sering diasosiasikan dengan guru. Ia bukan sekedar pendidik, melainkan contoh nyata yang dipercaya dan dijadikan teladan oleh murid-muridnya. Guru juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga amanah dalam mendidik dan membimbing siswa dengan keteladanan. Namun, di belakangan ini, hubungan guru dan murid yang selama ini penuh harmoni mulai tercemar oleh isu kekerasan.

Beberapa hari terakhir, media diberitakan oleh kasus pelaporan guru ke pihak berwajib atas tuduhan kekerasan terhadap murid. Fenomena ini mencerminkan pergeseran kepercayaan antara guru, murid, dan orang tua. Jika dulu guru dihormati, kini kesalahan sekecil apa pun seakan dicari untuk dijadikan celah pelaporan.

Dulu, sekitar satu dekade yang lalu, pelaporan semacam ini hampir tidak terdengar, terutama di lingkungan desa. Karakter masyarakat desa yang autentik dan sederhana membuat guru dihormati meski metode pengajarannya keras. Pemuda desa yang dimarahi atau dihukum guru enggan mengadu pada orang tua, karena mereka tahu hukuman dari orang tua bisa lebih berat. Orang tua pun merasa malu kepada guru jika anak mereka menunjukkan perilaku buruk, karena dianggap cerminan kegagalan mendidik di rumah.

Hal yang menarik, kekerasan dalam pendidikan di desa dahulu justru sering melahirkan generasi yang kuat secara mental. Anak-anak yang terbiasa dididik dengan disiplin tegas oleh guru mereka mampu menghadapi kerasnya persaingan hidup di masa depan, baik di kota maupun desa. Mereka menjadi pemuda-pemuda tangguh yang siap mengabdi kepada masyarakat.

Namun, situasi saat ini berbalik. Ketika seorang murid mendapat teguran, baik verbal maupun fisik, orang tua merasa martabat keluarga mereka diinjak. Alih-alih mendukung guru, mereka memilih melaporkannya ke pihak berwajib. Apa yang berubah? Mengapa perbedaan pola pikir ini terjadi?

Masalah ini tidak hanya melibatkan guru atau murid, tetapi semua pihak: guru, murid, orang tua, dan bahkan sistem pendidikan. Ada kesalahan mendasar dalam pembagian fungsi pendidikan antara keluarga dan sekolah.

Orang tua memiliki peran fundamental dalam mendidik akhlak anak. Pepatah Arab mengatakan, "Al-adab fauqal ilmi" ---adab lebih utama dari ilmu. Dengan kata lain, orang tua mengawali kehidupan dengan  bertanggung jawab untuk menanamkan sopan santun dan moralitas sejak dini, sebagai bekal anak dalam perjalanan mencari ilmu. Contohnya, orang tua harus mengajarkan anak untuk menghargai pendapat orang lain, termasuk dengan cara mendengarkan apapun itu dengan baik. Bekal adab inilah yang akan menjadi landasan anak dalam proses belajar di sekolah.

Sebaliknya, guru bertugas menyampaikan ilmu yang telah terkodifikasi dalam berbagai rumus dan teori, seperti matematika atau ilmu sosial. Guru hanya perlu memperkuat ajaran akhlak yang telah ditanamkan di rumah bersama orang tua dengan nilai-nilai universal seperti Pancasila atau ldasar agama. Namun, yang terjadi kini adalah banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan moral kepada guru, sehingga terjadi tumpang tindih fungsi. Beban ini kian berat bagi guru, yang juga harus menahan tantangan kesejahteraan yang belum merata. Kata orang "guru itu gaji sulit, beban berat melilit". Seperti, ketika seorang murid nakal maka yang disalahkan adalah gurunya. Padahal tanggung jawab etika dan moral adalah tanggung jawab orang tua.

Di sisi lain, kekerasan yang dilakukan oleh guru, baik verbal maupun fisik, memang tidak bisa dibenarkan. Namun, kita juga perlu memahami bahwa tidak semua tindakan guru semata-mata karena muridnya atau dalam rangka memperbaiki sikap muridnya.

Ada guru yang bertindak keras karena pelampiasan masalah pribadi seperti baby blues, gangguan kesehatan mental, bipolar, atau tekanan lainnya. Ini adalah kesalahan fatal dan tidak boleh dibiarkan, hal yang seperti ini yang seharusnya masuk pantauan undang undang kekerasan.

Sebagian besar guru yang keras sejatinya bertujuan mengarahkan muridnya untuk berubah menjadi lebih baik. Jika orang tua gagal membangun akhlak di rumah, guru justru sering berupaya membantu membenahinya. Maka, menilai kekerasan ini hanya sebagai arogansi guru adalah pendekatan yang tidak adil.

Baca juga: Negeri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun