Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan timbulan sampah selama periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024-2025 diperkirakan mencapai 55 ribu ton. Hanif menjelaskan berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, diperkirakan akan ada pergerakan hampir 110 juta jiwa di seluruh Indonesia selama Nataru. Setiap individu diperkirakan akan menghasilkan sampah antara 0,05 hingga 0,1 kilogram (republika.co.id, 28-12-2024).Â
Salah satu sampah yang paling banyak adalah dari penggunaan kemasan sekali pakai yang praktis. Untuk itu Hanif mengajak masyarakat untuk menyadari pentingnya pengelolaan sampah yang baik. Kebersihan lingkungan mencerminkan peradaban suatu negara, dan Indonesia harus berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan hal ini. Negara-negara maju umumnya memiliki lingkungan yang bersih, sementara negara-negara yang kurang maju seringkali menghadapi masalah sampah yang serius.
Kapitalisme, Ciptakan Sampah Akidah
Persoalan sampah memang masih jadi salah satu problem di negeri ini. Tak sekadar dampak dari tingkat konsumerisme yang tinggi, tapi juga tingkat literasi dan edukasi yang rendah. Sampah di negeri ini menghadapi kurangnya teknologi terkini dalam hal pengolahan dan pemanfaatan, juga mahal sebab tidak ditangani sendiri oleh negara. Lebih tepatnya, negara abai dalam mengurusnya, bahkan di daerah diberikan kewenangan mengelola sendiri tanpa support negara.Â
Akibatnya swastanisasi mengambil lahan basah ini, padahal sampah rumah tangga saja sudah memusingkan apalagi jika ada even atau hari besar. Lebih memprihatinkan lagi, sampah akidah yang menjadi sumber petaka dalam kehidupan manusia. Â
Setiap Natal dan Tahun Baru, seolah menjadi tradisi bagi negeri dengan jumlah muslim terbanyak di dunia ini, Indonesia, untuk merayakannya. Di mulai kepala negara, kepala daerah hingga deretan pejabat negaranya, para pengusaha yang memaksakan pegawainya mengenakan pernak-pernik Natal hingga ikut merayakan tahun baru, minimal mengucapkan selamat dan maksimalnya merayakan bersama. Dan kini semakin banyak yang merayakan Natal bersama di gereja, ataupun masjid. Naudzubillah.
Alasan terkuat karena ini negara majemuk, wajib menjaga kerukunan beragama, mengedepankan toleransi, tidak boleh menganggap benar hanya pada satu agama saja. Sebab jika tidak demikian maka akan disebut tidak menjunjung tinggi kebhinekaan, anti Pancasila bahkan hingga pemecah persatuan bangsa dan negara.Â
Sepertinya memang ada yang salah terkait makna toleransi. Bukankah sudah jelas Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka" (HR Ahmad).
MUI pun , sudah cukup jelas mengeluarkan fatwa yang pada 7 Maret 1981, yang menyatakan keharaman Muslim merayakan Natal bersama. Pada tahun-tahun selanjutnya MUI juga menghimbau pada pengusaha yang beragama Kristen agar tidak mendorong atau mewajibkan pegawainya yang muslim untuk terlibat dan memakai asesoris Natal.
Semua tak dihiraukan, inilah fakta ketika negara menerapkan sistem Kapitalisme yang asasnya sekuler, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Akidah amat sangat terguncang, ketika negara justru memberi contoh yang pertama mengucapkan Natal hingga merayakan tahun baru.Â
Natal adalah perayaan umat beragama Nasrani, yang dalam akidah kaum muslim tak ada dasarnya, sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya, "Sungguh perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepada dirinya, "Jadilah", maka jadilah ia "(TQS Ali Imran 3: 59).
Sementara perayaan Tahun Baru Masehi pertama kali dirayakan oleh bangsa Romawi dengan menyiapkan berbagai persembahan untuk dewa-dewa mereka. Pada Abad Pertengahan di Eropa, pemimpin gereja Kristen mengikuti perayaan tahun baru pada 1 Januari.Â
Kapitalisme mengambil celah ini dengan sebuah tindakan bisnis, diopinikan menjadi gaya hidup kekinian. Padahal apa yang terjadi? perayaan tahun baru kerap diisi dengan hura-hura, tidak jarang terjadi campur-baur pria-wanita, bahkan disertai minuman keras. Lebih memprihatinkan lagi, tidak jarang perayaan tahun baru diisi dengan perzinaan. Berbagai laporan dari sejumlah daerah menginformasikan bahwa penjualan kondom di toko-toko ritel, online bahkan lewat jasa ojol meningkat menjelang perayaan malam tahun baru.Â
Sungguh sampah akidah! Lebih buruk dari sampah yang diprediksi bakal ditinggalkan usai perayaan. Mengapa masih dipertahankan? Ini bicara omset dan perputaran perekonomian. Bukan lagi bicara agama, toleransi atau budaya. Bahkan lebih ngeri lagi ini adalah upaya kafir barat mengoyak akidah kaum muslim agar semakin jauh dari ajaran agamanya.Â
Maka, butuh peran negara yang menjadi garda terdepan melindungi akidah rakyatnya. Benarlah jika sampah fisik menggambarkan peradaban buruk apalagi sampah akidah, jelas tragis!
Islam Akidah dan Syariah
Perayaan Natal dan Tahun Baru seringkali menjadi ajang kampanye paham pluralisme. Umat Islam diajak untuk menerima paham semua agama adalah benar. Tidak ada dikotomi iman dan kafir. Padahal pluralisme itu hakikatnya adalah mencampuradukkan iman dan kekufuran, haq dan batil. Jelas bertentangan dengan akidah seorang muslim. Terlebih bagi seorang muslim, meyakini hanya Islam yang benar hukumnya wajib, sebab Allah SWT telah berfirman yang artinya, "Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam". (TQS Ali Imran 3: 19).
Umar bin Khattab pernah berkata, "Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nasrani saat mereka berkumpul pada Hari raya mereka. Sungguh saat itu murka (Allah SWT) turun kepada mereka dan aku takut hal itu juga akan menimpa kalian. (HR al-Baihaqi).Â
Maka, kebutuhan akan pemimpin yang bertakwa dan sekaligus menjaga ketakwaan rakyatnya adalah segera, demikianlah Islam memerintahkan. Wallahualam bissawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H