Beberapa waktu lalu viral kalimat " Lo Punya Duit Lo Punya Kuasa" , maknanya kurang lebih ketika seseorang memiliki uang banyak, maka ia pun memiliki kekuasaan, setidaknya ketika lapar ia menguasai daftar warung makanan favorit, berikut menu termahalnya dan siapa yang bakal mengantar makanan tersebut.
 Sangat cocok jika dianalogkan dengan keadaan hari perpolitikan hari ini, dimana setidaknya ada 15 mantan terpidana korupsi masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) sebagaimana yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023 lalu. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.
Menurut peneliti ICW ( Indonesia Corription Watch), Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka (voaindonesia.com, 26/8/2023).
Kurnia mengatakan ketiadaan pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS tentu akan menyulitkan masyarakat untuk memberikan masukan terhadap DCS secara maksimal. Terlebih, informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan dalam laman KPU. Langkah penyelenggara pemilu saat ini dinilai Kurnia merupakan suatu kemunduran dan tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel. Sebab berbeda dengan pemilu 2019, dimana KPU sangat progresif mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi.
 Demokrasi Munculkan Standar Ganda
KPU sempat melarang  bekas napi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai bacaleg .  Namun pada tahun 2018  MA membatalkan dengan  alasan HAM. Kebolehan ini di satu sisi  seolah  menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah . Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar.
 Demokrasi memang tak butuh orang kapable atau memiliki segudang potensi, prestasi maupun kebaikan.  Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi.
Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko  terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli, ditawar bahkan dibekukan. Tergantung pihak yang memiliki uang yang otomatis memiliki kuasa menginginkan bagaimana. Dan begitu mudahnya, keluar bui masuk bacaleg.
 Terakhir, manuver terbaru perpolitikan di negeri ini, dimana salah satu calon presiden sebuah partai tiba-tiba beralih haluan memilih calon wapres bukan dari koalisinya. Berbagai spekulasi mencuat, hingga gorengan isu dan opini liar berkeliaran di media sosial. Demi apa hingga demikian frontal, benar-benar terbukti dalam politik hari ini tak ada lawan atau kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati.
 Tak akan bisa dipungkiri, standar ganda demi sebuah kepentingan sangat kuat aromanya. Siapa yang bermain, tentulah kepentingan segelintir pihak dan segepok uang penutup mulut. Padahal, semua semestinya dikembalikan pada satu pemahaman, untuk siapakah mereka berkuasa? Mengapa mereka berebut pesona bahkan konstituen, benarkah untuk rakyat?
 Jelas, ini bagi-bagi kue kekuasaan, menjadi anggota parlemen setiap orang tahu bagaimana sejahteranya. Gaji mereka tinggi, meski terkadang apa yang mereka kerjakan samasekali tidak mewakili keterwakilan mereka di negeri ini. Suara rakyat samasekali tak didengar padahal mereka memprotes keras salah satunya Toto (56) yang berasal dari Tegal Parang, Jakarta Selatan. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek itu menilai masih banyak orang lain dengan kapasitas mumpuni yang bisa menjadi anggota DPR ataupun DPRD. "Karena dia (pernah) korupsi, kalau gitu kan dia tega banget sama rakyat. Sudah enggak percaya, kan masih banyak yang lain," ujar Toto (CN Indonesia.com, 25)8/2023).
Kebolehan mantan napi mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat di atur dalam Pasal 240 Ayat (1) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Pada huruf g disebutkan selama bakal caleg terbuka dan jujur menyampaikan ke publik pernah menjadi mantan terpidana, maka ia boleh-boleh saja mencalonkan diri. Selain itu juga  mengatur sejumlah sumber pendanaan kampanye calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). UU tersebut juga berlaku di Pilpres 2024 mendatang.
Pasal 325 ayat (3) UU tersebut menyatakan sumber dana kampanye boleh berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ayat (3) pasal 325 UU pemilu juga membolehkan sumber pendanaan kampanye berasal dari capres/cawapres bersangkutan, partai politik atau koalisi partai politik yang mengusung serta sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
 Besaran sumbangan maksimal dana kampanye pun bervariasi. Batasan sumbangan pribadi atau perorangan misalnya dibatasi maksimal sejumlah Rp2,5 miliar. Sementara sumbangan kelompok, perusahaan, badan usaha nonpemerintah sebesar Rp25 miliar (CNN Indonesia, 25/8/2022).  Fix , demokrasi tak akan pernah menghadirkan secara riil dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Sebab rakyatnya hanya kiasan, yaitu rakyat cirle kekuasaan mereka saja.
 Posisi Wakil Rakyat dalam Islam
 Islam mensyaratkan  wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan  perannya sebagai penyambung lidah rakyat bisa terlaksana. Demokrasi meniscayakan adanya banyak praktik kecurangan sebab memang berbiaya tinggi, sedangkan dalam Islam pemilih pemimpin hanya boleh jika telah memiliki syarat in' iqad yaitu laki-laki, muslim , merdeka, baligh, mampu mengemban amanah dan berakal. Sehingga meniadakan praktik transaksi kekuasaan.
 Pun fungsi majelis umat atau yang jika dalam sistem demokrasi disebut dewan parlemen hanyalah muhasabah Lil hukam, atau menyampaikan koreksi dan pendapat kepada Khalifah. Pun jika ada penyelewengan kekuasaan atau ada kebijakan yang belum terlaksana. Anggota majelis umat boleh dari selain muslim, mereka pun diberi kebebasan untuk memberi pendapat dan koreksi kepada penguasa. Jelas di sini bukan untuk karier yang menghasilkan keuntungan hingga tujuh turunan.
 Kemudian ,sistem hukum dalam islam  sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku  kejahatan dapat benar-benar bertobat.  Apalagi  dalam islam sanksi berfungsi sebagai  zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus ). Sehingga setiap kebijakan benar-benar diterapkan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat, bukan kepentingan segelintir orang.
 Ada berbedaan yang sangat signifikan antara sistem politik demokrasi dan Islam. Pantaslah Allah swt. berfirman yang artinya, " Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS al-Maidah:50). Maka, jika kita benar beriman kepada Allah swt. bukankah sudah waktunya kita membuang demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam? Wallahu a'lam bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H