Viral di media sosial sebuah video tik tok yang memperlihatkan seorang ayah menangis usai dibentak sang anak karena telat datang acara Wisuda. Peristiwa ini terjadi di Yogyakarta. Tak cukup dibentak, ayah yang malang itu pun disuruh sang anak untuk meninggalkan tempat wisuda. Malang benar nasib sang ayah, karena kehabisan bensin dan uang yang ada di kantongnya tak cukup. Beruntung, ia ditolong orang yang kebetulan merekam kejadian tersebut (merdeka.com, 20/5/2023).Â
Kasus yang lain, di akhir tahun 2022 juga tak kalah miris, seorang pemuda bernama Deo Daffa (22), menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ayah, ibu dan kakak kandungnya. Mereka meninggal di rumahnya Jalan Sudiro, Gang Durian, Dusun Prajenan, Desa Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, setelah minum kopi beracun yang dibuat Daffa. (kompas.com,28/11/2022).Â
Ini hanya dua kasus yang viral, bisa jadi ada lebih banyak kasus yang tak diviralkan. Dan keduanya cukup memprihatinkan. Orangtua adalah orang yang melahirkan, merawat dan mendidik kita, bukan hanya ibu tapi juga ayah. Meskipun yang lebih sering berinteraksi adalah ibu, namun jasa ayah sebagai kepala keluarga tak kalah dibandingkan ibu.Â
Perjuangannya menafkahi keluarga adalah salah satu yang menjamin pengasuhan dan pendidikan anak-anak di dalamnya rumahnya berjalan lancar. Keteguhannya menciptakan rasa aman, nyaman meski dalam diam tidak secerewet ibu namun cukup menjadikan sosok ayah terhormat dan sama mulianya dengan ibu.Â
Namun, di era teknologi canggih, serba digital, orang bisa bersekolah tinggi di negara mana pun mengapa kejadian anak tak beradab kepada orangtuanya bahkan hingga level membunuh justru tumbuh subur?
Sekulerisme Akar Persoalannya
Anak durhaka tentu tak berhenti pada kisah Malin Kundang saja, hari ini pun faktanya banyak meski beda bentuk dan penyebab. Jelas anak bersikap dan berperilaku adalah bergantung pada pendidikan yang ia terima. Tidak saja dari keluarganya sebagai institusi terkecil dalam sebuah masyarakat, juga dari masyarakat yang dia hidup di dalamnya juga peran negara sebagai penjaga terkuat keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.Â
Keluarga, masyarakat dan negara yang bersinergi inilah yang akan mewujudkan ketahanan keluarga berikut munculnya generasi berkualitas. Satu lagi yang menjadi sangat penting adalah landasan pengikat ketiganya, keluarga, masyarakat dan negara. Jika sekuler bahkan kapitalisme niscaya hasilnya adalah apa yang kita lihat hari ini. Pendidikan memang menyediakan keleluasan ilmu, sains dan teknologi, namun tak satupun yang berlandaskan agama ,sehingga kering dari pemahaman penting dan krusial yaitu misi dan visi hidup di dunia ini.Â
Sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan, artinya, setiap manusia boleh memeluk agama sesuai kepercayaannya namun agama itu tak boleh mengatur bahkan memberikan solusi bagi setiap persoalan manusia ketika berinteraksi dengan manusia lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Jelas fatal akibatnya, manusia membuat aturan sendiri hingga pada level "Hak Asasi", hak setiap individu yang bebas dari campur tangan manusia lain bahkan penciptanya. Nauzubillah.Â
Hal asasi inilah yang mengacaukan kehidupan, membawa efek domino dan menjerumuskan dunia pada situasi buram bak hidup di hutan rimba, siapa kuat dia yang berkuasa. Seorang anak, membentak ayahnya hanya karena terlambat datang wisuda tentulah tak bisa dinalar. Ternyata kepandaian yang ia miliki dengan sukses menjadi sarjana, tak menjadi jaminan baik birul walidainnya. Bagaimana generasi bagaimana pula penguasanya, banyak yang berpendidikan tinggi nyatanya ramai-ramai korupsi, agama (baca: Islam) hanya dipandang sebelah mata, padahal saat sumpah jabatan mereka berada di bawah Alquran.Â
Pendidikan Islam Sukses Lahirkan Generasi Rabbaniyun
Jika melintas pada sejarah, saat Islam memimpin dunia, kita akan dapati nama-nama pemuda yang benar-benar berusia muda namun dengan segudang prestasi. Berkepribadian Islam yang tangguh dan sebenar-benarnya pembela agama. Sebut saja Muhamad al-Fatih yang menaklukkan kota Konstantinopel di usianya yang ke-21, Usamah bin Zaid menaklukkan tentara Romawi di usianya yang ke-17 dan lainnya. Mereka besar dalam lingkungan pendidikan Islam dan dekat dengan ulama. Sehingga mereka memiliki tujuan hidup yang jelas yaitu menjadi hamba Allah dengan cara menolong agama Allah.Â
Secanggih-canggihanya kurikulum pendidikan jika landasannya sekuler tak akan pernah bisa mewujudkan generasi yang matang baik secara mental maupun pemikiran. Terlebih tidak ada upaya pemerintah menghentikan tontotan dan konten yang membahayakan akidah, berbanding terbalik dengan Islam. Hal yang bertentangan dengan syariat tidak akan dibiarkan ada terus dan berkelanjutan. Sebab, negaralah yang menjamin rakyat berada dalam penjagaan akidah, jiwa, akal dan hartanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw," Siapa saja yang diamanahi oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya." (HR Muslim). Wallahu a'lam bish showab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H