Sebab menurut Agus memberikan subsidi untuk meringankan beban masyarakat, bukan jalan keluar atas tingginya harga sebuah produk di pasaran."Ibarat orang sakit yang diberi minyak angin/balsem, pemberiaan subsidi ini tidak akan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya. Sifatnya hanya menghangatkan sementara di tempat tertentu saja."
Ya, menjadi warga negara Indonesia memang harus siap menghadapi berbagai macam panic. Sebenarnya bukan hanya Panic Buying yang menjadi heboh, namun rendahnya kesadaran masyarakat terkait keadaan perekonomian yang carut marut ini tak kalah membuat panik. Sebab, ini menyangkut pengurusan urusan umat yang mana menjadi tanggungjawab dari pemerintah.Â
Lantas, bagaimana pandangan Islam terkait solusi naiknya harga minyak itu bisa diselesaikan dengan mematok satu harga di harga Rp14.000? Ternyata mutlak keharamannya, artinya tidak boleh penguasa menetapkan harga pada satu harga tertentu, kemudian memaksa masyarakat membeli harga yang telah dipatok tadi dan tidak boleh menambah dan menguranginya.Â
Alasan yang biasa digunakan adalah untuk kemaslahatan rakyat, untuk menghindari harga tinggi di atas harga asli atau agar tidak saling menjatuhkan antar para pedagang. Dan itu tak pernah terwujud di negara khilafah. Dari Anas bin Malik, "Sesungguhnya banyak manusia datang kepada Rasulullah dan berkata, "Tentukanlah harga bagi kami, harga-harga kami."Â
Rasulullah SAW bersabda, "Wahai manusia! Sesungguhnya naiknya (mahalnya) harga-harga kalian dan murahnya itu berada di tangan Allah Subhanahu Wata'ala, dan saya berharap kepada Allah ketika bertemu Allah (nanti), dan tidaklah salah satu orang terhadapku, (aku memiliki) kezaliman dalam harta dan tidak pula dalam darah."
Makna dari hadist ini adalah menetapkan harga dari sisi penguasa, atau siapapun yang menjadi pengurus urusan umat adalah haram secara mutlak. Sebab akan menyebabkan saling menzalimi. Oleh karena itu bagi siapapun yang melihat praktik pematokan harga untuk segera melaporkan kepada Qadhi (hakim) Mazalim ( hakim yang khusus memutuskan perkara atau sengketa antara rakyat dengan penguasa), agar segera bisa dihilangkan kedzalimannya.Â
Lantas bagaimana solusi Islam jika tidak boleh mematok harga, padahal harga sudah melambung dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat? Maka negara harus mendatangkan barang yang dipatok tadi dari berbagai wilayah yang lain yang surplus. Kemudian menyebarkan ke pasar sehingga ketika barang tidak sudah diakses rakyat harga bisa stabil.Â
Hal ini pernah dilakukan Umar bin Khattab ketika Madinah mengalami gagal panen dan paceklik melanda, harga barang kebutuhan pokok melambung. Umar meminta kepada salah satu walinya yang di Mesir untuk mensubsidi barang kebutuhan langka di Madinah. Bukan dengan mematok harga.Â
Namun inilah fakta ekonomi yang disusun berdasarkan aturan kapitalisme. Dimana asasnya bukan halal haram namun manfaat materi belajar. Maka mematok harga, menimbun dan permainan harga adalah sarana-sarana yang diambil, bagian dari apa yang mereka bolehkan untuk mengambil keuntungan. Sebab memang, dari praktik ketiganya, bagi yang bermodal besar ia akan mampu mendominasi pasar dan meraup keuntungan jauh di atas normal.Â
Jelas bertentangan dengan prinsip Islam, dimana penguasa dan negara hadir sebagai pelayan umat. Bukan berhitung untung rugi. Kemudian menjilat pantat investor asing kelas kakap. Rasulullah bersabda ,"Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)." (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad). Maka semua kebutuhan umat, lapar dan hausnya, sedih dan senangnya, sejahtera dan tidaknya adalah tanggungan negara.Â
Sebab dampak terburuk dari penetapan harga ini adalah rusaknya jalur distribusi, konsumsi bahkan produksi akibat kelangkaan barang dan meruginya pedagang kecil karena rusaknya harga. Jika perekonomian rusak, akankah akan tegak berdiri sebuah negara yang kuat? Jelas tidak, sebab akan menjadi bahan Bulliying negara-negara lain yang lebi sattle perekonomiannya.Â