Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Money

Utang Terus Siapa dan Bagaimana Bayarnya?

9 Januari 2022   19:12 Diperbarui: 9 Januari 2022   19:32 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: desain pribadi

Seorang ibu dengan nada memelas meminta satu lagi kesempatan boleh berutang,"Tolonglah bu, ini listrik saya sudah diputus PLN, bagaimana anak saya belajar?" Si ibu yang dimintai tolong diam seribu bahasa. Dalam hati sebetulnya merasa iba, ia bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa listrik. 

Namun utang si Fulana ini sudah melebihi kemampuan bayarnya, bukan menafikan rezeki berasal dari Allah SWT, tapi dengan keadaan suaminya yang tak punya penghasilan tetap lagi sejak work from home (WFH) dan utang yang terlanjur kemana-mana, pastilah bebannya akan bertambah berat. 

Dengan penghasilan tak tentu bagaimana ia akan membayar utang, sehingga si ibu ini tak mengabulkan keinginan Fulana. Kasus ini tentu tak bisa dianalogikan dengan apa yang menjadi optimisme Menteri Keuangan Kita, Ibu Sri Mulyani. Jika si Fulana ini berutang karena memang akses ekonominya terbatas, ia hanya individu rakyat biasa yang hidup di negara kapitalis. Dimana negara sedikit sekali perannya. Bahkan praktiknya negara bukan melayani, melainkan regulator kebijakan semata. 

Sedangkan yang dibicarakan Menkeu adalah negara, yang punya kekuasaan dan semua fasilitas untuk mewujudkan negara maju dan mandiri, tidak tergantung utang kepada negara lain. 

Senyatanya suami si Fulana bukan pegawai negara, dan setelah WFH kerjanya hanya sekali-dua dalam seminggu. Padahal harus tetap bayar SPP, BPJS, Pajak motor, tanah, rumah, listrik, air, parkir di ruang-ruang umum, musti bayar tol jika hendak mudik dengan bus yang ia tumpangi dan lain sebagainya. 

Belum dengan biaya kebutuhan pokok, minyak, telur, gula, beras dan segala naik. Harga menjelang akhir tahun hingga sepekan setelahnya masih juga belum normal. Banyak yang memprediksi keadaan ini akan berlangsung hingga perayaan Imlek. 

Pemerintah mengungkapkan, hingga akhir November 2021 utang pemerintah mencapai Rp 6.713,24 triliun atau setara 39,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis, pemerintah mampu membayar utang tersebut. Bagaimana cara pemerintah membayarnya?

"Kalau belanja bagus, jadi infrastruktur bagus, SDM berkualitas buat Indonesia, ekonomi tumbuh pasti bisa bayar lagi utangnya. Termasuk SBSN pasti kita bisa bayar Insya Allah kembali dengan aman," ujarnya. 

Sri Mulyani menjelaskan lagi, pemerintah mengambil utang karena memang Indonesia membutuhkannya untuk membangun fasilitas yang dinikmati rakyat, memberikan bantuan sosial, subsidi, hingga membayar gaji pegawai negeri. Sehingga, ia pun meminta masyarakat tidak hanya melihat dari nominal utangnya saja, tapi juga perlu dilihat secara rinci penggunaan utang tersebut. Masyarakat hanya baca utang negara sudah Rp6.000 T apakah sudah aman? Padahal tidak pernah lihat neraca seluruhnya. 

Dan karena selama pandemi ini, pendapatan negara anjlok, sedangkan belanja harus terus dilakukan bahkan diperbesar nilainya. Sebab, pemerintah juga menaikkan anggaran untuk belanja kesehatan, bantuan sosial, juga tunjangan untuk pegawai negeri dan TNI/Polri.

Oleh karena itu lanjut Menkeu, mau tidak mau utang harus dilakukan, baik dari pinjaman luar negeri bahkan dengan penerbitan surat utang. Sebab, semua itu tak mampu dibiayai oleh APBN saja. Intinya itu buat kita sendiri dan sebagian utang yang ada nanti kita bayar lagi. 

Ada beberapa poin yang harus kita gali lebih dalam maknanya.  Pertama, rakyat adalah beban negara. Kedua, APBN tak mungkin membiayai semua keperluan negara untuk rakyatnya. Ketiga yang sangat berbahaya, mindset negara utang adalah solusi. Ketiganya sungguh menyakiti hati rakyat. 

Pertama, Tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 berbunyi; "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial." Sangat jelas apa yang menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Baik itu di dalam negeri ataupun di luar negeri. Segala kebutuhan rakyat yang menjadi target terciptanya kesejahteraan, mencerdaskan dan melaksanakan ketertiban dunia ada di pundak negara. 

Hal ini semakin dengan hadis Rasulullah saw,"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari). Pemimpin sebuah negara adalah pengurus rakyat. Sejahtera tidak sejahtera rakyatnya ada di tangannya. Oleh karena itu jika negara kesulitan bahkan tak sanggup menjalankan kewajibannya pasti ada yang salah dalam pengaturan sistemnya. 

Sebab, Islam sendiri sudah memberikan seperangkat aturan agar pemimpin sebuah negara bisa menjalankan kewajibannya dengan mudah. Aturan itu adalah syariat. Allah-lah pengatur segalanya, bisa dipastikan jika yang terjadi malah bencana dan kesulitan yang beruntun itu karena syariat dilepaskan dan diganti dengan hukum manusia. 

Negaralah yang wajib menjamin kebutuhan rakyatnya individu per individu sejak dari kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan tanpa kompensasi, alias tanpa rakyat perlu membayar. Semua include keluar dari pembiayaan Baitul Mall. Ada beberapa pos pendapatan Baitul mall yang bukan berasal dari utang, melainkan riil dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara, zakat, jizyah, fa'i, ghanimah, harta rikaz, dan lainnya. 

Poin kedua dan ketiga sebenarnya semakin membuktikan bahwa negara ini salah atur. Jelas APBN kita tidak mencukupi, bukan saja karena pos pendapatan yang terbesar adalah pajak, tapi juga karena mindset penguasa kita utang adalah solusi. Sehingga ketika pendapatan dari pajak belum menutup kebutuhan diambillah utang, padahal, pendapatan dari pajak dan utang itu juga untuk membayar utang yang berbasis riba, pendeknya negara kita sebenarnya sedang gali lubang tutup lubang. 

Padahal, siapa tak kenal Indonesia? Negara kaya raya, sumber daya alamnya melimpah incaran bangsa-bangsa di dunia sejak zaman Belanda dan Portugis datang ke Indonesia, semua karena rempah Indonesia yang bernilai tinggi. Kini, bak ayam mati di lumbung, tak berdaya atas kekayaan diri sendiri. Berbagai perjanjian sudah di teken antara penguasa dan investor, dengan dalih kerjasama bilateral, multilateral maupun internasional, dengan nama hibah, kerjasama ekonomi dan lain sebagainya semua hanyalah kedok agar Indonesia menyerahkan kekayaan tanpa syarat. 

Bahkan dipaksa utang atas nama krisis energi, pandemi dan sebagainya. Nyata kita bukan negara mandiri, tak berdaya di ketiak para oligarki dan pengkianat negeri. Mereka rela menjual harga diri demi senang hati tuan dan kenyang perut sendiri. Masih hangat kasus bisnis alat tes Rapid penguasa. Atau masker yang gila-gilaan harganya. Nyawa rakyat tak disayang, bahkan terkesan menjadi tumbal. Kebijakan hanya mengekor negara adidaya. Padahal mereka menghendaki kita hancur. 

Jika terus begini keadaannya. Pun kebijakan penguasa tidak ada perubahan maka bisa jadi kita benar-benar tak akan bisa bayar utang. Sebab sektor yang digenjot dan digadang jadi tulang punggung hanya UMKM dan pariwisata. Sedangkan pengelolaan SDA oleh BUMN hanya sedikit sekali, bukan bagian strategis pula. Krisis energi yang diarusutamakan sehingga mengantar kita kepada pengambilan utang baru benar-benar jebakan kapitalis kepada negeri ini. 

Satu sebelum yang terakhir yang miris, bagaimana cara pemerintah membayarnya? Jika belum berubah pasti dengan cara menambah utang dan memperluas obyek pajak. Artinya siapa yang bayar utang negara? Rakyat. Fix!

Saatnya kembali kepada pengaturan Islam, yang sudah terbukti sepanjang 1300 tahun memimpin dunia, dengan kekayaan yang berlimpah. Dengan pemberdayaan Baitul mall dimana pengeluaran, penjagaan dan pemasukannya sesuai syariat. Negara yang dipimpin Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin tidak pernah mengandalkan utang apalagi yang berbasis riba. Sebab selain haram juga tidak membawa perubahan yang lebih baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun