Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gurita Korupsi Tiada Henti

7 Januari 2022   21:35 Diperbarui: 7 Januari 2022   21:41 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Desain pribadi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sekitar Rp 5 miliar dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) terhadap salah satu pejabat beserta koleganya di Bekasi, hari Rabu, 5 Januari dan Kamis, 6 Januari 2022. 

"Seluruh bukti uang yang diamankan dalam kegiatan tangkap tangan ini sekitar Rp 3 miliar dan buku rekening bank dengan jumlah uang sekitar Rp 2 miliar," ujar Ketua KPK Firli Bahuri. 

Bukan berita mengagetkan lagi, kasus korupsi di negeri ini bak gurita yang menjalar kemana-mana. Dari kepala desa, pejabat daerah, pejabat pusat hingga anggota parlemennya tak luput dari korupsi. 

Budaya korupsi menggilas semua motto departemen apapun. Menggilas motto setiap daerah, dan hanya tinggal menunggu waktu, setiap pejabat yang berkuasa cepat atau lambat akan terciduk juga. 

Mirisnya, ketika ditangkap tangan dan mengenakan seragam orange khas tahanan KPK, wajah-wajah para koruptor itu sumringah. Seakan bukan beban, bahkan ada yang melambaikan tangan saat hendak dimasukkan ke dalam mobil tahanan KPK. Apa yang ada dalam benak mereka? 

Rihlahkah? Atau karena hukuman untuk koruptor pejabat ringan, penjaranya lumayan dan masih bisa melakukan aktifitas sosialnya termasuk bertemu dengan keluarga? Atau karena ini SOP setiap pejabat demi menghidupi partai dan kelompoknya?

Badan Pengawas Keuangan (BPK), dibuat mandul, mereka hanya melaporkan data keuangan saja tanpa bisa menindak pelaku koruptor meskipun mereka tahu. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digadang bisa lebih tajam dari BPK juga bak macan ompong, setiap kali mengusut kasus pejabat tertentu dengan posisi vital pasti ada pergantian personil, dari ketua hingga anggota. Bahkan ada yang diperkarakan hingga saat ini belum ada ujung pangkalnya. 

Masih mengenai kewenangan KPK yang kembali direcoki dengan adanya Tes TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang tak ada sangkut pautnya dengan kinerja mereka sebagai abdi negara pemberantas korupsi. 

Inilah potret negara pengusung demokrasi. Setiap kali memilih pemimpin baru selalu muncul janji baru, seolah menjadi harapan terbaru menjadikan negeri ini lebih baik. 

Rakyat dibuat terlena dan dipaksa percaya, bahwa kali ini pasti akan berubah. Dan apa yang terjadi? Bak angin hilang begitu cepat menghilang. 

Apakah para pemimpin itu orang bodoh? Tak terpelajar? Tak agamis? Tidak, mereka yang dicalonkan bukan sembarangan, ada yang dari akademis dengan sederet gelar, ada yang dari pondok pesantren, ada dari kalangan militer, pengusaha, artis dan lainnya. Yang maju independen atau diusung sebuah partai ujungnya tetap sama, mereka korupsi dan mengkhianati janji mereka kepada rakyat. 

Dengan polos, setiap kali diulang dalam lima tahun berikutnya, rakyat kembali termakan janji "esok akan lebih baik". Mungkin kita hanya bisa berharap pada matahari yang begitu taat kepada perintah RabbNya untuk selalu terbit dari timur dan tenggelam ke barat.

Manusia-manusia yang diizinkan Allah menempati salah satu jabatan ternyata hanya boneka yang diatur oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Lihat saja kasus-kasus korupsi yang terjadi selalu berhubungan dengan lelang jabatan, pemasukan partai, bisnis pribadi, mengutil keuntungan pribadi dari proyek-proyek pengadaan barang dan jasa hingga pegawai di lingkungan Pemerintahan dan lain sebagainya. 

Dimana apa yang mereka lakukan saat mereka memegang kekuasaan, coba saja rakyat biasa tentulah tidak bisa. Ini artinya ada penyalahgunaan jabatan. Ada tindakan tidak amanah yang dalam Islam dinyatakan sebagai dosa. Sebab sejatinya pemimpin itu bertanggung jawab kepada Allah. Sebab setiap kali mereka naik jabatan selalu disumpah sebelumnya di bawah Alquran atau kitab suci kepercayaan mereka. 

Nabi Muhammad SAW. pernah memerintahkan Ibnu al-Lutaibah menjadi pengelola zakat. Suatu hari, Ibnu al-Lutaibah datang menghadap Rasulullah SAW untuk melaporkan dan menyerahkan hasil penarikan zakat. Dia mengatakan, "Ini untukmu dan yang ini telah dihadiahkan kepadaku!"

Rasulullah marah mendengar perkataan Ibnu al-Lutaibah, kemudian beliau berdiri di atas mimbar seraya mengatakan: "Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan suatu tugas lalu mengatakan: "Ini untukmu (Wahai Rasulullah) dan yang ini telah dihadiahkan untukku!" Mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?".

Lanjutnya, "Demi Tuhan yang jiwa kalian berada di tangan-Nya, bahwa tiada yang membawa sesuatu pun dari hadiah-hadiah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban tengkuknya pada hari kiamat." (HR Imam Ahmad).

Peristiwa ini membuktikan bahwa menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok adalah perbuatan haram. Sebab, kesempatan penyalahgunaan itu tak akan datang ketika dia hanya duduk-duduk saja di rumah ibu bapaknya, dalam artian dia tidak bekerja dan menjadi penguasa. 

Hal ini juga ditegaskan di dalam QS Al Baqarah:188 yang artinya," Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui". 

Lantas, dimana persoalannya hingga korupsi menjadi persoalan yang tak pernah ada akhirnya. Justru di awal tahun dibuka kasus korupsi terbaru, terlebih lagi negri ini mayoritas beragama Islam, yang jelas Islam melarang tegas tindakan korupsi. Pejabatnya pun mayoritas Muslim?

Jawabnya karena Islam tak menjadi pedoman dasar para penguasa, negara juga tidak menerapkan syariat Islam sebagi hukum yang memutuskan setiap perkara di ranah sosial. 

Agama dianggap kepentingan individu dengan RabbNya semata. Inilah sekulerisme, ide warisan barat, pada saat kaum intelektualnya menggugat kekuasaan gereja yang otoriter mereka akhirnya memilih solusi jalan tengah ( sekuler). 

Maka, berapa kalipun berganti pemimpin, pejabat, personil jika sistem aturannya tetap mengambil sekuler maka tak akan ada perubahan. Sebab sudah cacat sejak awal, menyerahkan solusi setiap persoalan kehidupan pada manusia sama saja mengharapkan perselisihan dan perbedaan terus terjadi. Terutama jika sudah disusupi dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Lawan bisa jadi kawan begitu sebaliknya. Tak ada kawan sejati yang ada kepentingan abadi. 

Lantas, bagaimana mengharap kesejahteraan? Untuk satu perkara saja "korupsi" tidak semua kepala menganggap buruk dan tercela, bagi pelaku, timnya, kaki tangannya bisa jadi korupsi adalah jalan terbaik, toh hukumannya ringan. Belum ada koruptor di negeri ini yang dihukum mati, bahkan yang menghilang bertahun-tahun saja tak ketemu juga banyak.

Bagi pihak yang kontra, telah habis peluh dan kering kerongkongan menyuarakan keadilan. Sebab korupsi dampaknya bukan hanya pada harta negara yang berkurang, namun juga kesejahteraan rakyat, yang seharusnya bisa diterima berupa fasilitas kesehatan, pendidikan, perekonomian dan lainnya menjadi tertunda bahkan hilang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun