Jawabnya karena Islam tak menjadi pedoman dasar para penguasa, negara juga tidak menerapkan syariat Islam sebagi hukum yang memutuskan setiap perkara di ranah sosial.Â
Agama dianggap kepentingan individu dengan RabbNya semata. Inilah sekulerisme, ide warisan barat, pada saat kaum intelektualnya menggugat kekuasaan gereja yang otoriter mereka akhirnya memilih solusi jalan tengah ( sekuler).Â
Maka, berapa kalipun berganti pemimpin, pejabat, personil jika sistem aturannya tetap mengambil sekuler maka tak akan ada perubahan. Sebab sudah cacat sejak awal, menyerahkan solusi setiap persoalan kehidupan pada manusia sama saja mengharapkan perselisihan dan perbedaan terus terjadi. Terutama jika sudah disusupi dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Lawan bisa jadi kawan begitu sebaliknya. Tak ada kawan sejati yang ada kepentingan abadi.Â
Lantas, bagaimana mengharap kesejahteraan? Untuk satu perkara saja "korupsi" tidak semua kepala menganggap buruk dan tercela, bagi pelaku, timnya, kaki tangannya bisa jadi korupsi adalah jalan terbaik, toh hukumannya ringan. Belum ada koruptor di negeri ini yang dihukum mati, bahkan yang menghilang bertahun-tahun saja tak ketemu juga banyak.
Bagi pihak yang kontra, telah habis peluh dan kering kerongkongan menyuarakan keadilan. Sebab korupsi dampaknya bukan hanya pada harta negara yang berkurang, namun juga kesejahteraan rakyat, yang seharusnya bisa diterima berupa fasilitas kesehatan, pendidikan, perekonomian dan lainnya menjadi tertunda bahkan hilang.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI