Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Boneka dari India

4 Januari 2022   21:34 Diperbarui: 4 Januari 2022   21:41 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Desain pribadi

Hatiku gembira, riang tak terkira

Mendengar berita, kabar yang bahagia

Ayahku 'kan tiba, datang dari India

Membawa boneka yang indah jelita

Oh, sayang

Boneka cantik, kumimpi-mimpi

Menjadi idaman sepanjang hari

Kini ku dapat boneka baru

Untuk hadiah ulang tahunku

Syair lagu di atas, terkenal di masanya lewat suara Titik Shandora. Syair jenaka yang menggambarkan kegembiraan seorang gadis kecil yang mendengar ayahnya akan segera pulang dan membawakan dia hadiah sebuah boneka.

Bisa terbayang betapa cantiknya boneka itu, bisa jadi bak gadis India yang terkenal cantik dan bermata lebar. Dengan rambut ikal dan pakaian sari yang membalut badannya. Dan kini soal persoalan boneka sedang viral dan menyita perhatian banyak orang. 

Bukan karena boneka itu datang dari India dan bukan pula hadiah ulangtahun seorang gadis. Melainkan spirit doll yang di"pelihara" bak seorang bayi oleh beberapa publik figur. Setelahnya bak virus, sebaran latahnya cepat sekali, sekali dua mereka diberitakan, ternyata jumlahnya semakin banyak, pun koleksinya ada yang sudah ratusan. 

Ada pula yang berprofesi sebagai ibu yang memelihara dan mencarikan bagi sang boneka adopter. Beda boneka beda karakter sekaligus beda arwah yang masuk di dalamnya. Mereka meyakinkan bahwa arwah yang dimasukkan ke dalam boneka bukan untuk pesugihan, namun wajib diberlakukan sebagaimana perlakuan kepada bayi. 

Lantas apa tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) soal fenomena ini? Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Muhammad Cholil Nafis menyebut tidak boleh memelihara makhluk halus. "Punya boneka mainan itu boleh, tapi kalau itu diisi atau dipersepsikan tempat arwah hukumnya tidak boleh memelihara makhluk halus. Kalau disembah musyrik tapi kalau berteman saja berarti berteman dengan jin," katanya. 

Cholil menyarankan umat Islam tidak terjebak hal mistis dan menuhankan selain Allah SWT. "Baiknya uang yang dimiliki disumbangkan kepada anak yatim dan duafa dari pada memelihara boneka yang mistis itu," ucapnya lagi. 

Bagaimana pula pendapat Sosiolog? Sigit Rohadi, sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rohadi, mengatakan bahwa fenomena ini merupakan cerminan masyarakat yang kesepian. "Meskipun tinggal di kota yang hiruk pikuk, masyarakat kota yang memelihara boneka dan memperlakukannya seperti manusia, mencerminkan masyarakat yang kesepian (kesepian dalam keramaian). 

Gejala ini juga menunjukkan warga yang kian individualis. Peran media sosial menyumbang besar dalam pembentukan individualitas dan kesepian ini," kata Rohadi kepada wartawan, Senin (3/1/2021).

Menurutnya, selama ini orang-orang sibuk di dunia maya, namun interaksinya di dunia nyata justru kering. Hal ini ditambah dengan pembatas fisik yang sukar dikontrol tetangga. 

Lagi-lagi kambing hitamnya adalah teknologi, benarkah demikian? Bukankah sains dan teknologi adalah bagian dari kecerdasan akal yang sudah dikaruniakan Allah SWT? Mungkinkah membawa dampak buruk?

Islam tidak melarang umatnya menciptakan teknologi dan memanfaatkannya, sebab teknologi hadir memang tak membawa nilai apapun kecuali universal, terlebih jika keberadaannya untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhannya dan sekaligus mendekatkan dirinya kepada Allah sebagai hambaNya dan ahli ibadah. 

Maka kuncinya penggunaan teknologi harus didasarkan pada akidah yang benar, yang tidak menjadikan tuhan kedua selain Allah. Namun hal itu sulit terwujud dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya diterapkan aturan kapitalisme liberalisme, dimana landasannya adalah sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. 

Masyarakat kapitalis cenderung individualistis, sebab hidup adalah kebebasan. Untuk dirinya sendiri saja ia tak mau diatur apalagi untuk orang lain. Hukum siapa kuat dia menang, siapa cepat dia dapat jadi harga mati. Maka jangan harap anda bisa menikmati hidup sebagaimana anda sendiri, kapitalis memiliki standar sendiri agar bisa jadi " orang". 

Hidung kurang mancung, operasi. Kelamin tak sesuai dengan jiwa, operasi. Tak mau repot bina keluarga, bina hubungan teman tapi mesra. Modal sedikit bisa pinjam utang meski riba, maka tak heran, ada orang yang bisa beli pulau beserta isinya. Mau hidup mewah, jual diri dilakoni. Seringkali misi dan visi hidupnya bak air mengalir, agama itu hak individu, jadi jangan bawa-bawa ke ranah umum. 

Dunia maya jadi ajang silahturahmi, penuhi laman atau akun dengan konten, tak masalah walau konten sampah dan tak mengedukasi umat, asal tenar dan menghasilkan. Ikut tren tanpa ilmu, hanya takut dibilang kudet, kurang up date, penilaian manusia lebih menohok daripada peringatan Allah dalam Al-Qur'an dan As Sunah. 

Pantas saja Mark Zuckerberg dan Bill Gates euforia memperkenalkan Metaverse, dunia virtual tanpa batas. Alasannya hanya karena virus Corona yang membatasi aktifitas manusia sehingga ide virtualisasi dianggap sebagai solusi. Lantas, jika semua divirtualisasi, maka akan seperti apa interaksi antar manusia? Tentulah akan menuju kepada kepunahan. 

Lagi-lagi kapitalisasi solusi dibungkus kemajuan teknologi. Maka, kaum Muslim tidak boleh terlena bahkan hingga masuk jebakan kapitalisme. Bekerja adalah ibadah, demikian pula menafkahi keluarga, bagian dari kewajiban yang tidak bisa digantikan kecuali ada uzur syar'i. Demikian pula sandaran tentang siapa Sang Pemberi Rezeki juga harus clear, supaya tidak jatuh dalam kesyirikan. 

Jelas, mempercayai boneka dan menganggapnya memiliki nilai positif sehingga bisa merubah hidupnya adalah kesalahan besar. Sebab, semua yang mendatangkan rezeki bukanlah berasal dari mereka, melainkan dari yang Maha Kaya, yaitu Allah SWT. Demikian pula dengan keyakinan hidup dan mati seseorang, bukan ditentukan oleh sebuah boneka. 

Mereka rela mengeluarkan biaya di atas rata-rata untuk sebuah keasyikan penuh kesyirikan. Mengapa mereka tak memilih menikah, menyantuni anak yatim, mewakafkan untuk masjid, TPQ dan lainnya atau bahkan memberangkatkan haji kaum dhuafa dan sebagainya. Sedangkan negara lemah dalam menjaga akidah rakyatnya, selalu radikalisme, terorisme yang digambarkan sebagai musuh. 

Jika saja para penguasa itu paham, badai syirik ini sangatlah berbahaya. Tak bisa dikatakan sebagai negara maju hanya dengan kecanggihan teknologi yang diterapkan jikalau manusianya setengah gila karena kemusyirkan yang merajalela. Bencana yang silih berganti ini hendaknya menjadi bahan muhasabah untuk kembali kepada aturan Allah SWT. 

Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang mengambil wali (pelindung) selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat kufur." (T.QS. Az Zumar: 3).

Ide liberalisme secara perlahan namun pasti mengajak pengikutnya untuk membelokkan akidah yang lurus, mengarah pada kemunduran sama seperti saat Islam belum disebarkan dan dibawa oleh Rasulullah Saw. Manusia menyembah batu, pohon, gunung, matahari dan semua benda yang mereka anggap punya kekuatan melebihi dari manusia itu sendiri. 

Padahal Allah itu dekat, dan Allah mewajibkan hanya menyembahNya, bukan yang lain. Firman Allah SWT, yang artinya, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu" (QS. Ghafir: 60).

Fakta ini sangat menggembirakan orang kafir, sebab mereka tak perlu bersusah payah lagi menyesatkan kaum beriman. Milyaran dollar dana yang digelontorkan bisa dipakai dengan nyaman oleh para munafik penyeru ide moderasi beragama. Semakin kaum Muslim hanyut dalam kegilaan ini, tak lagi menggunakan akal sehatnya maka semakin jauh dari perjuangan menegakkan syariat secara menyeluruh sebagai way of life. 

Keadaan ini tak bisa dibiarkan. Harus ada amar makruf sekaligus nahi mungkar, dengan menjelaskan kepada umat Islam, bagaimana meninggikan kalimat Allah adalah kewajiban. Hanya dengannya kita bisa terbebas dari belenggu kebodohan, kesyirikan dan kesesatan. Wallahu a' lam bish showab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun