Dilansir Harianaceh.co.id, 26 Agustus 2021, Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Prof Musni Umar merespon pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan utang negara bisa lunas jika rakyat membayar pajak. Sebab Kketergantungan terhadap hasil pajak rakyat untuk membayar utang negara membuktikan kinerja pemerintah bukan sebagai problem solver. "Ini bukti, yang bayar utang adalah rakyat melalui pajak," kata Prof Musni Umar, Kamis (harianaceh.co.id,26/8/2021).
Pernyataan Sri Mulyani juga makin menegaskan bahwa kebijakan utang yang kerap diambil pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya makin menyengsarakan rakyat. Pemerintah hanya sebagai mediator untuk bayar utang. Makin besar utang makin besar dan berat beban rakyat," tandas Prof Musni.Â
Per Juni 2021, utang Indonesia telah menyentuh Rp 6.554,56 triliun. Sedangkan, rasio utang terhadap PDB mencapai 41,35 persen. Jumlah ini tergolong naik dari periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 5.264,07 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 32,67 persen. Kenaikan ini tak juga membuat panik para pemangku kebijakan. Mereka terus saja membiayai proyek yang tak terlalu berguna untuk keadaan hari ini.
Pembangunan infrastruktur hingga baju dinas anggota parlemen, dari rumah dinas hingga pengecatan pesawat kenegaraan. Pembentukan badan-badan diluar kementerian dan staf khusus hingga gaji buzzerp. Sementara bansos atau pembiayaan pandemi dikorupsi atau dicicil menjadi kartu pra kerja. Pemberian vaksin gratis saja pro dan kontra.Â
Negara semestinya bak seorang ibu, sebab ia memiliki kekuatan besar untuk menyediakan apapun kebutuhan rakyatnya. Seorang ibu tak mungkin tega membiarkan buah hatinya lapar, sakit, sepi, sedih ataupun tak hidup berkecukupan. Tentu dengan segala daya upaya akan berjuang agar anaknya sukses, menyejukkan mata dan hatinya.Â
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari). negara, melalui pemimpinnya akan menjadi pengurus rakyat, tanpa syarat apapun. Sebab tampuk kepemimpinannya adalah anamah yang bukan sekadar prestise atau gaya hidup namun kelak akan menyeretnya ke neraka jika diemban dengan lalai dan khianat.Â
Untuk itu seorang pemimpin wajib menjalankan pemerintahannya dengan ketakwaan penuh, sehingga ia bisa adil. Pemimpin adalah penerap syariat, jika ia mampu lurus berjalan di atas khittah ini, tentu kesejahteraan yang akan terwujud. Secara historis hal ini bisa kita buktikan, bagaimana dahulu Umar bin Khattab memanggul gandum dari Baitul Mal untuk seorang janda dengan anak-anaknya yang belum makan sebab tak memiliki makanan. Tak cukup memanggul, namun juga memasak dan menyuapi anak-anak yang lapar itu hingga tertidur kenyang.
Atau Umar bin Abdul Aziz yang segera memperbaiki jalan di Baghdad begitu ia mendengar ada seekor keledai yang terperosok lubang di jalan. Ia tak mau mendapatkan azab di akhirat, maka ia perbaiki "kesalahan" itu di dunia. Atau Sultan Abdul Hamid II, Khalifah Turki Ustmani yang membangun jalan kereta api sepanjang Hijaz untuk memudahkan para jamaah haji sekaligus memangkas panjangnya jarak ke Madinah.Â
Semua itu terukir indah dalam benak kaum Muslim dan sinar kejayaan Negara saat menerapkan syariat Islam turut pula menyinari kaum kafir di dunia dan berbondong-bondonglah mereka tunduk patuh dengan aturan Islam, atau sekaligus mereka masuk Islam. Sebab melihat nyatanya fakta keadilan di depan mata mereka, terlebih jika dibandingkan dengan cara Romawi dan Persia memelihara kepentingan mereka yang tak lebih bak budak, banyak upeti dan oligarkhi kekuasaan.Â
Jadi, jika negara hanya sebagai mediator Utang sungguhlah kejam, negara memang butuh biaya untuk menjalankan seluruh kebutuhan operasionalnya termasuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dan utang adalah mubah, namun jika hanya utang dan pajak yang kemudian menjadi sandaran seoalah tak ada jalan lain.
Kembali kita bisa melihat bagaimana Rasulullah Saw , para sahabat dan pemimpin selanjutnya mengelola sistem keuangan negara yang mereka pimpin, yaitu melalui Baitul mal. Pos pendapatannya terdiri dari : hasil pengelolaan hak kepemilikan umum dan negara, jizyah, fa'i, zakat, rikaz ,harta orang murtad, harta mereka yang tak memiliki ahli waris, denda , dan lainnya. Pos pengeluarannya sesuai dengan pendapat Khalifah, kecuali zakat yang hanya dibagikan kepada orang-orang yang disebut dalam Alquran.Â
Pajak yang dalam bahasa Arab disebut Dharibah hanya dipungut dalam keadaan Baitul Mal kosong sementara negara masih harus memenuhi kewajiban negara seperti pembayaran gaji pegawai, maka akan dimintakan kepada rakyat, bukan sembarang rakyat, hanya mereka yang terkategori kaya hakiki, dimana harta mereka setelah dikurangi kebutuhan pokok keluarga, kerabat dan orang-orang yang ada dalam tanggungannya selain keluarga masih ada kelebihan. Jumlah pungutan tak melebihi yang dibutuhkan negara, bahkan jika negara sudah bisa mandiri kembali, Dharibah itu dihentikan.Â
Demikian pula jika memang harus utang kepada rakyatnya, atau pihak lain, maka akan diharamkan penambahan riba, tidak berutang kepada negara yang jelas-jelas menyerang bahkan menjajah Islam dan kaum Muslim . Utangpun dijadikan sebagai langkah terakhir, ketika upaya-upaya sebelumnya sudah dilakukan, semisal swasembada pangan, melarang impor, membeli hanya produk dalam negeri, memberikan bantuan bergerak dan tak bergerak kepada rakyat yang ingin bekerja, membuka lapangan pekerjaan dan lainnya yang memungkinkan rakyat produktif dan stabilnya perekonomian dalam negeri.Â
Hal itulah yang dulu dilakukan negara Korea, China dan Jepang, begitupun Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya, rakyat kooperatif sebab pemimpinnya konsekwen dan tegas menetapkan aturan. Hal ini yang tak ada di negera kita, tingkat kepercayaan rakyat perlahan menurun terutama di masa pandemi ini, pemerintah hanya berani memperpanjang PPKM, padahal kita sudah memiliki hukum karantina atau lockdown. Penguasa tak berani ambil risiko untuk karantina atau lockdown, yaitu kewajiban menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya.Â
Inilah kapitalisme, meniscayakan hubungan antara negara dan rakyatnya sekadar pengusaha dan konsumen, jual beli, untung rugi. Bukankah jika kita ingin perubahan harus berani mengambil aturan lain yang lebih baik? Wallahu a' lam bish showab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H