Mohon tunggu...
Jelita Srinita
Jelita Srinita Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Mengerjakan tugas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjuangan Slamet Riyadi

10 November 2021   13:07 Diperbarui: 10 November 2021   13:09 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di bawah teriknya matahari disiang hari ini, tiada setitik awan pun dilangit. Angin yang berhembus dan dedaunan pohon yang melambai -- lambai membuat hari ini yang tampak damai. Matahari akan segera tenggelam bersamaan dengan terbitnya bulan. Dengan cepat ia naik menggatikannya dengan kegelapan di malam yang sunyi sepi. Cahaya langit biru akan tergantikan dengan langit yang gelap dan bertaburan jutaan bintang yang indah.

Pada tanggal 26 Juli 1927, di Surakarta, Hindia Belanda, lahirlah seorang anak yang bernama Soekamto atau Riyadi. Riyadi merupakan putra dari pasangan Raden Ngabehi Prawiropralebdo, seorang perwira pada tentara Kasuananan, dan Soetati seorang penjual buah. Pada saat Soekamto berusia 1 tahun, ibunya menjatuhkannya kemudian Soekamto menjadi sering mengalami sakit -- sakitan, ibu Soekamto merasa sangat terpukul hatinya saat melihat anaknya. Untuk membantu menyembuhkan penyakitnya keluarganya "menjualnya" kepada pamannya Warnenhardjo, dalam sebuah ritual tradisional suku Jawa. Dalam ritual yang dihadiri oleh para tetua kampung, tokoh adat dan masyarakat, juga warga sekitar, Warnenhardjo berucap:

 "... maka, kami minta serta memohon doa restu dari semua hadirin agar Slamet bisa selalu kalis ing sambekala, terhindar dari segala macam bahaya, tumbuh dewasa, dan selalu berbakti kepada orang tua, masyarakat, bangsa, serta negaranya." Setalah ritual, nama Soekamto diganti menjadi Slamet.

Slamet tetap dibesarkan oleh kedua orangtuanya, meskipun secara formal Slamet adalah anak Warnenhardjo. Slamet menganut Katolik Roma, dan bisa dikatakan bahwa sejak masih kecil Slamet menyukai "tirakat" berpuasa dan hal -- hal "mistik".

Slamet menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Sekolah swasta yang di miliki dan dikelola oleh agamawan Belanda,Sekolah dasar yang ia lalui di Hollandsch -- Inlandsche School Ardjoeno. Saat Slamet bersekolah di Sekolah Menengah di Mangkoenegara, sang ibu meminta ayahnya untuk membelinya kembali dari sang paman. Awalnya sang ayah merasa keberatan dengan permintaan itu, walaupun sang ayah masih khawatir dengan keadaan Slamet jika ia membelinya kembali. 

Di sekolah menengah juga ia bertemu dengan seorang wanita yang menarik perhatiannya, ia cantik, dan memiliki tata krama santun yang baik, ia juga salah satu siswi yang berprestasi, dan pemberani. Ia adalah Soekma merupakan putri dari seorang guru disekolah menengah milik Belanda. Slamet ingin sekali mendekati wanita itu sekalipun hanya untuk saling bertegur sapa, tetapi ia tak berani mendekatinya karena takut Soekma merasa risih padanya. Sesekali ia mencuri -- curi pandang padanya, terkadang Soekma memergoki Slamet yang sedang memandangnya. Mereka sering kali berpapasan disekolah, tetapi tidak saling menyapa malah saling membuang muka. 

Tetapi siapa sangka bahwa mereka akan sedekat nadi, berawal dari Slamet yang tak sengaja menabrak Soekma, hingga akhirnya mereka bila bertemu berani untuk saling menyapa. Setelah itu mereka sering sekali mengobrol, belajar bareng, pulang bareng, dan selalu bersama tak pernah terpisahkan. Waktu yang tidak terasa Slamet dan Soekma tamat sekolah menengah, mereka pun terpaksa berpisah untuk melanjutkan pendidikannya. 

Sebagai bentuk perpisahan Slamet dan Soekma pergi bersama ke perpustakaan untuk mencari buku kesukaan masing -- masing, dan pergi berkeliling sekolah untuk mengenang waktu dan apa saja yang telah mereka lakukan selama ini saat bersama. Saat tiba di depan sebuah ruangan Soekma bertanya "apakah kau ingat tempat ini?".

 " Tentu saja saya ingat, tempat ini, kejadian itu takkan pernah saya lupakan sampai kapanpun, itu adalah kejadian yang sangat berarti dihidup saya." Mereka saling memandang lalu tersenyum, bila diingat -- ingat kalau bukan karena kejadian itu mereka tidak akan pernah sedekat sekarang. 

Mereka melanjutkan berkeliling sekolah lagi -- lagi Soekma bertanya kepada Slamet, " apa kau juga ingat saat saya memergoki dirimu yang sedang menatapku dibalik lemari itu?" tanya Soekma sambil terkekeh. 

" Kenapa kau mengingatnya? Saya jadi merasa malu, tapi saat itu kau benar -- benar menawan sekali hingga saya tak bisa berhenti menatapmu," ucap Slamet. 

" Tentu saja saya mengingatnya, baru pertama kali saya dipandang seperti itu oleh seorang pria saya merasa malu hanya saja saya heran kenapa kau bisa memandangiku seperti itu, padahal saya tidak ada apa -- apa nya dibandingkan dengan wanita lain, tidak ada yang menarik atau bagus dalam diri saya." Ucap Soekma.

 "Shutt... apa yang kau bicarakan, kau itu berbeda sangat berbeda dengan wanita lain, kau adalah wanita yang sempurna dimataku, saya tidak peduli apa yang orang lain nilai atau bicarakan tentangmu, saya hanya akan mencari tau sendiri, saya rasa itu yang terbaik." Jawab Slamet serius.

"Tapi masih banyak wanita lain yang lebih baik dariku, tapi kenapa kau tertarik denganku?" tanya Soekma. 

"Sudah ku bilang kau itu berbeda dengan yang lain, perbedaan itulah yang membuatku tertarik padamu," Jawab Slamet. Setelah beberapa jam mereka berkeliling sekolah dan telah mengenang kenangan saat mereka bersama, mereka memutuskan untuk menyudahi pertemuan mereka dan berpisah untuk beberapa waktu karena akan melanjutkan pendidikan mereka masing -- masing.

Setelah tamat sekolah menengah dan saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, ia melanjutkan pendidikannya ke akademi pelaut di Jakarta. Setelah lulus, ia bekerja sebagai navigator di sebuah kapal laut. Saat tidak bekerja di laut, Slamet tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sesekali ia juga bertemu dengan para pejuang bawah tanah.

Mereka terus memantau perang Pasifik melalui radio-radio gelap, pada saat itu Jepang melarang bangsa Indonesia memiliki pesawat komunikasi. Kelompok bawah tanah ini yang sering disebut golongan radikal/ keras, karena mereka tidak kenal kompromi dengan Jepang. Mereka merupakan wadah untuk menyusun aksi -- aksi pada penguasa Jepang dan menyusun pertemuan -- pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Saat pertemuan itu Slamet bertemu dengan para pejuang nasionalis yang ikut serta dalam organisasi ini, mereka semua membahas tentang taktik atau rencana yang akan mereka lakukan.

" Bagaimanakah rencana kita selanjutnya untuk melawan Jepang?" tanya seseorang.

" Bagaimana kalau kita serang saja secara langsung diberbagai titik dan arah, agar Jepang tidak dapat berkutik ataupun lari," Jawab seseorang.  

"Tidak bisa begitu, karena Jepang memiliki banyak senjata dan mereka mempunyai begitu banyak pasukan juga taktik," ucap Slamet.

 " Pasukan kita juga lebih banyak dari Jepang bila kita mengumpulkan semua warga negara ini." Ujar seseorang,

" Percuma kita mempunyai banyak pasukan bila senjata kita dan pasukan yang tidak lihai untuk ikut berperang" jawab Slamet. 

" Ya... kita siapkan saja senjata yang banyak untuk memadai perlawanan kita," 

" Tapi senjata kita tidak secanggih mereka, bagaimana kita bisa mengalahkan mereka bila dari hal senjata saja kita sudah kalah saing?" kata Wikana. 

" Sudah -- sudah, kita sekarang ini sedang memerlukan rencana yang bagus dan kuat, kalian jangan bergaduh seperti itu" ucap Chairul Saleh. 

" Bagaimana jika diantara kita ada yang bekerja sama dengan Jepang?" Ucap Slamet. 

" Apa maksudmu? Kita ini sudah mereka perbudak kau ingin kami bekerja sama dengan mereka? Tidak sudi!!" sanggah A. Maramis .

" Tolong dengarkan saya dulu, maksud saya adalah diantara kita ada yang bekerja sama dengan Mereka agar kita tahu apa rencana mereka selanjutnya, jadi kita pelajari rencana apa yang ada dalam Jepang guna untuk kita melawan mereka, kalau begitukan kita dapat dengan mudah melawan mereka." Ujar Slamet. 

" Saya setuju denganmu, rencana mereka biar kita yang melakukannya lebih dahulu atau kita bisa menyiapkan pertahanan dari perlawnan mereka." Jawab Sutan Syahrir.

" Tapi... maaf, saya tidak bersedia untuk bekerja sama dengan Jepang." Ucap Achmad Subarjo. 

"Saya juga tidak sudi bekerja sama dengan mereka," tambah Sukarni. 

"Begitu pun saya, walaupun saya setuju dengan mu tapi saya sangat tidak bersedia sekali untuk bekerja sama dengan mereka." Jawab Sutan Syahrir, 

"Mengapa seperti itu? jikalau diantara kita banyak yang bekerja sama dengan mereka kita dapat informasi rencananya juga lebih besar dan cepat dong" jawab seseorang. 

" Masih tanya kenapa? Sudah jelas Jepang itu tidak memiliki rasa kemanusiaan untuk rakyat indonesia, mereka sudah memperbudak kita lalu apa? Kita harus bekerja sama dengan mereka? Sangatlah tidak sudi, lebih baik saya mati saja." Jawab Amir Syarifuddin.

 "Kalau begitu tidak usah ikut saja tapi bantu kami caranya biar kami saja yang menjalankan, kalian berikan arahan pada kami." Ucap Slamet. 

"Baiklah, rencana kita sudah deal seperti ini jadi siapa saja yang akan ikut serta dalam rencana ini?" Tanya Sutan. Sebagian besar orang yang hadir atau ada disitu setuju akan rencana Slamet, tetapi ada yang tidak bersedia bekerja sama dengan pemerintah Jepang, karena satu dan lain hal. Para Pejuang Nasionalis yang tidak bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah penjajah yaitu Sutan Sjahrir, Achmad Subarjo, Sukarni, A. Maramis, Wikana, Chairul Saleh, dan Amir Syarifuddin. 

Suatu kali saat menjalankan tugas, Slamet Riyadi pernah menyatakan cita-citanya kepada sahabat sekaligus rekan kerjanya, Kolonel A.E. Kawilarang. 

"Kalau operasi ini selesai, saya ingin membentuk pasukan khusus yang setangguh pasukan baret hijau Belanda seperti yang kita hadapi saat ini," ucap Slamet Riyadi. 

Keinginan itu tak kuasa diwujudkan. Namun, cita-cita Slamet Riyadi ditunaikan A.E. Kawilarang dengan membentuk Kesatuan Komando (Kesko), lalu berturut-turut berganti nama Korp Komando Angkatan Darat (KKAD), Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha), hingga menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Pada 14 Februari 1945, setelah Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Rijadi beserta rekannya sesama pelaut meninggalkan asrama mereka dan mengambil senjata, Rijadi pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana. 

" Kawan ayo kita pulang dan berjuang mempertahankan negara ini dari penjajah, ambillah senjata kalian masing -- masing, kita tidak bisa berdiam diri saja disini sedangkan negara kita dalam kondisi yang seperti ini, seluruh rakyat juga sedang berjuang kita harus ikut serta kedalamnya karena kita adalah generasi penerus dinegara ini." Ajak Slamet kepada teman -- temannya. 

Salah satu gebrakan Slamet Riyadi dan rekan-rekannya yang dilakukan berhasil membawa kabur kapal milik Jepang, serta menggalang kekuatan dari para prajurit Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam kesatuan militer bentukan Dai Nippon.

Belanda berusaha untuk kembali menjajah Indonesia.Karena tidak ingin hal itu terjadi, rakyat Indonesia melakukan perlawanan. Slamet mulai melakukan kampanye gerilya melawan Belanda. Ia bertanggung jawab atas Resimen 26 di Surakarta. Selama Agresi Militer Belanda I, Riyadi memimpin pasukan Indonesia di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang, beliau juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dab Merbabu.

Aksi-aksi gerilya yang dilancarkan pasukan Slamet Rijadi sangat merepotkan pasukan Belanda di sekitar Solo. Komandan pasukan Belanda di Bangak mencoba melakukan "perang urat syaraf". Dalam surat yang dikirimkanya kepada Slamet Rijadi diperingatkannya bahwa aksi gerilya akan dibalas Belanda dengan aksi yang lebih hebat yang tentu saja akan menimbulkan korban dan kerugian di pihak rakyat. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak lagi, dimintanya agar Slamet Rijadi menghentikan perlawanan dan menyerah dengan membawa bendera putih. Komandan Belanda ini juga mengatakan akan menerima setiap anggota pasukan Slamet Rijadi yang mau menjadi tentara Belanda. "Untuk apa aku membalasnya, pasti mereka hanya mengelabuiku agar aku menyerah dan kehilangan pasukan ku, hingga aku tak bisa lagi melawan mereka." Ujar Slamet. Jadi surat itu tidak digubris oleh Slamet Rijadi, bahkan ia semakin meningkatkan aksi-aksi gerilyanya.

Bulan September 1948, Slamet mendapat promosi dan diberi tanggung jawab atas empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. Dua bulan setelahnya, Belanda melancarkan serangan kedua. Meskipun Slamet Riyadi dan pasukannya melancarkan serangan terhadap tentara Belanda yang berupaya menghampiri Solo menempuh Klaten, tentara Belanda akhir -- akhirnya sukses memasuki kota. Slamet menerapkan kebijakan "berpencar dan menaklukkan" dalam melawan Belanda. 

 " Kita tidak boleh diam saja, belanda akan segera memasuki ibu kota kita karena itu kita harus bersiap -- siap untuk melawan Belanda, siapkan semua senjata yang kalian miliki dan siapkan tenaga kalian untuk melawannya, sekarang kalian berpencar untuk menaklukkan Belanda dengan cepat di berbagai titik dan daerah ibu kota ini!" ucap Slamet kepada pasukannya. 

Tujuan utama serangan itu ialah untuk mencapai kedudukan yang baik sebelum gencatan senjata berlaku. Disamping itu, serangan umum terhadap kota Solo juga bertujuan untuk menunjukkan kepada musuh bahwasannya para gerilyawan bukan saja pandai di dalam mentrapkan aksi-aksi gerilya dengan prinsip menyerang dan segera menghilang kemudian menjadi satu dengan rakyat, namun juga mampu mengadakan serangan frontal dan liniar untuk menduduki suatu daerah tertentu, dan berani menghadapi gempuran musuh yang menggunakan pasukan kavaleri dan serangan senjata berat.

Serangan umum terhadap kota Solo dilakukan dalam dua gelombang, yaitu gelombang pertama dari tanggal 7 sampai dengan 9 Agustus 1949, dan gelombang kedua pada tanggal 10 Agustus 1949. Serangan ini sesuah dengan arahan dan perintahnya, selaku Komandan Wehkreise I sekaligus pimpinan Komando Pertempuran Panembahan Senopati/Brigade V Divisi II, serangan ini juga dipimpim langsung oleh Slamet, dengan semua kecakapan Slamet Riyadi letnan Kolonel  Slamet Rijadi memerintahkan pasukannya untuk mengepung Solo dari empat jurusan. Sejak pagi buta para gerilyawan dengan beragam persenjataan yang dimiliki telah di perintahkan untuk pergi menyusup masuk kedalam kota dan menyebar.

"Bawa senjata kalian masing -- masing, dan berpencarlah ke segala arah, menyusuplah ke dalam kota dan jangan sampai Belanda melihat kalian. Setelah kalian berada di dalam kota serang pasukan Belanda dengan sekuat tenaga kalian dan perjuangkanlah negara ini!" ucap Slamet kepada pasukannya. 

" Siap komandan! Tapi, bagaimana jika Belanda melihat kami? Apa yang harus kami lakukan?", 

 "Serang saja mereka, jangan sampai ada Belanda yang melapor kepada pasukannya" jawab Slamet, 

"Kenapa bila Belanda tahu?", 

"Jika pasukan Belanda tahu itu namanya bukan menyusup, jika begitu caranya kita serang saja langsung tanpa harus menyusup kedalam kota" ucap Slamet, 

"Siap komandan laksanakan!" semua pasukannya mengerti akan perintah sang komandan. Lalu semua pasukan Slamet Riyadi pergi menyusup kedalam kota, dan pasukannya berhasil masuk ke kota lalu melakukan penyerangan kepada pasukan Belanda.

 Serangan yang dilancarkan tanggal 7 Agustus 1949 cukup mengagetkan pasukan Belanda, karena setelah itu Belanda mengerahkan kekuatannya baik di udara maupun persenjataan daratnya untuk membalas serangan. Komandan pasukan Belanda mulai cemas karena serangan yang dilakukan oleh pasukan Slamet Riyadi terhadap pasukannya, ia takut kalau pasukannya akan kalah terhadap pasukan Slamet Riyadi. Ia ketar ketir melihat pasukannya juga yang ikut merasa takut, ia mulai memerintahkan pasukannya untuk bersiap melakukan perlawanan dari serangan yang terjadi.

"Apa?!!! Apa yang kalian lakukan!! Sekarang kita sedang di ambang kekalahan, siapkan semua pasukan dan senjata canggih yang ada, jangan sampai kita kalah oleh orang udik seperti mereka!" perintah komandan pasukan Belanda sambil menggebrak meja dengan sangat keras. Lalu ia jalan mundar -- mandir karena sangat gelisah dan takut pasukannya akan terkalahkan. 

"Bagaimana ini jika sampai pasukanku kalah melawan mereka? Apa yang harus kulakukan lagi? Pasukanku harus menang pasukanku tidak akan pernah kalah oleh siapapun!" batin sang komandan Belanda. 

Pertempuran di kota Solo berlangsung selama 4 hari 4 malam dan mencapai puncaknya pada tanggal 10 Agustus 1949, saat dilaksanakan serangan gelombang kedua. Serangan tersebut merupakan serangan perpisahan dan dilakukan secara besar-besaran. Serangan yang dilakukan ini tidak dimaksudkan untuk merebut kota, akan tetapi semata-mata untuk memberikan kesan kepada kepada pasukan Belanda, bahwa TNI masih tetap kuat untuk melawannya.

Dalam kurun waktu empat hari, Slamet berhasil menghalau tentara Belanda. Pasukan Slamet Riyadi menewaskan tujuh orang dan menawan tiga orang Belanda. Orang Belanda yang ditawan oleh pasukan Riyadi di bawa ke markas, mereka di ikat oleh pasukan Slamet Riyadi untuk ditanya -- tanyai dan sebagai tawanan yang harus ditebus atau ditukar. Orang Belanda yang tawan bukanlah sembarang orang Belanda, sehingga Belanda mau tidak mau harus mengalah kepada pasukan Slamet Riyadi.

"Apa kalian belum puas menjajah kami? Belum puaskah kalian merenggut nyawa rakyat Indonesia? Belum puas juga kalian merampas SDA kami?" tanya salah satu pasukan sambil mengarahkan ujung pisau, sang tawanan yang mulai bergidik nyeri melihat pisau didepan matanya ia menjawab dengan tergagu gagu. 

"SDA ini adalah milik kami, kalian orang udik tidak mungkin bisa mengelola dan mengolahnya, maka dari itu biar saja itu menjadi milik kami",

 "Apa kau bilang?!" beberapa pasukan Riyadi yang mulai emosi memukul tawanan dengan tongkat kayu dengan sangat keras, hingga sang tawanan meneteskan darah.

"Berani sekali kamu memukul saya! Lihat saja apa yang akan saya lakukan setelah keluar dari sini, saya akan memerintahkan pasukan saya untuk menghabisi kalian hingga rata tanpa tersisa satu orang pun dan tubuh kalian akan saya suguhkan untuk makanan anjing saya! Cuih" kata sang tawanan. 

"Hahaha itu semua tidak akan pernah terjadi, jika kamu ingin bebas dari sini maka perintahkan pasukanmu untuk berhenti dan menyerah," kata sang penawan. 

"Tidak akan! Saya tidak akan memerintahkan itu kepada pasukan saya!", 

"Jika itu pilahanmu maka hidupmu akan berakhir disini, jika ingin tetap hidup lakukan saja apa yang saya perintahkan", 

" Tapi saya tetap tidak mau dan tidak akan melakukannya", 

"Baiklah jika itu pilihanmu", lalu salah satu tawanan dipukuli oleh beberapa orang dari pasukan Slamet Riyadi, tawanan yang dipukili sudah pingsan dan berlumuran dengan darah ditubuhnya. Dan sang tawanan yang kedua mengatakan kepada sang komandan untuk mengikuti saja apa yang telah diperintahkan oleh pasukan Slamet Riyadi. 

"Komandan jika kita tidak mengikuti apa yang mereka inginkan kita akan berakhir seperti dia, mungkin lebih dari itu, saya masih ingin tetap hidup, saya tidak mau hidup saya berakhir disini, tolong lakukan saja apa yang mereka inginkan saya mohon komandan." Mohon sang tawanan dua kepda komandannya. Lalu sang komandan Belanda berfikir mempertimbangkan apa yang dikatakannya, disatu sisi ia juga tetap ingin bertahan hidup juga pasukannya yang menang, tapi disisi lain ia juga takut ia akan berakhir seperti itu mungkin nyawanya akan direnggut oleh pasukan Slamet Riyadi, ia masih bersisih kukuh untuk tidak memerintahkan pasukannya menyerah.

"Tidak, saya tidak akan melakukannya!" jawabnya dengan sangat lantang. Lalu dijawab oleh pasukan Slamet Riyadi,

"Apakah kau yakin akan keputusanmu? Jika kau tidak melakukannya kalian akan kehilangan nyawa kalian, bukan hanya kalian tetapi pasukan kalian juga akan kehilangan nyawanya karena akan disapu rata oleh pasukan kami, tapi jika kau melakukannya kalian masih bisa bertahan hidup dan pasukan kalian mungkin juga akan selamat". 

"Saya tetap tidak akan melakukannya! Pasukan saya pasti menang karena dari senjata saja sudah terbukti, senjata kami lebih canggih dari kalian. Dan pasukan kami juga lebih banyak dari kalian." Ucapnya dengan lantang.

 "Jika memang benar begitu, mengapa kalian berada disini? Pasukanmu tidak akan menang cobalah sedikit saja tunjukan asa kemanusiaanmu, percuma saja kau tidak menyetujuinya. Kau akan mati disini dan pasukanmu akan kalah, apakah ada gunanya kau seperti ini? Coba pikrirkan saja tidak ada keuntungannya bagimu".

 Sang tawanan mempetimbangkan kembali keputusannya jika ia mengakui dan mengikuti apa yang pasukan Riyadi inginkan, ia akan terlihat seperti pecundang dimata mereka begitu juga pasukannya. Setelah beberapa lama ia mempertimbangkannya ia memutuskan untuk menyetujuinya karena ia berfikir benar apa yang dikatakan oleh mereka tidak ada keuntungan baginya, daripada ia mati disini.

"Baiklah, saya akan memerintahkan pasukan saya untuk mundur dan berhenti, tapi kalian lepaskan saya terlebih dahulu agar saya memerintahkan mereka secara langsung. Dan satu lagi pasukan kalian juga harus mundu dan pergi dari kota Solo", 

"Enak saja kamu pikir kita ini bodoh ha?! Kita lepaskan kau dari sini lalu kau menyuruh pasukanmu untuk menyerang kami kan" jawabnya dengan kalut emosi.

 "Tidak saya tidak akan melakukan seperti itu, saya benar -- benar akan meerintahkan pasukan saya untuk berhenti". Slamet Riyadi yang mendengar itu lalu terpikir sesuatu lalu mengatakannya kepada sang tawanan.

Sang tawanan bingung kembali, ia enggan melakukan apa yang diminta oleh Slamet Riyadi, tapi ia tak punya pilihan dan waktu yang banyak karena Slamet Riyadi menyodorkan sebuah pistol dikepalanya. Dengan cepat ia menyetujui apa yang di inginkan oleh Slamet Riyadi, "baiklah saya akan melakukannya" ucapnya pasrah.

 "Melakukan apa?" tanya Slamet Riyadi,

 "Saya akan memerintahkan pasukan saya untuk berhenti, mundur, dan saya juga akan menyerahkan kota Solo kepada kalian, jadi sekarang lepaskan saya dan anak buah saya", 

" Jika kau tidak melakukannya dengan benar kau tau apa yang akan terjadi? Dan apa yang akan dilakukan olehku terhadap dirimu?" ucap Slamet Riyadi,

 "Aa-kan saya lakukan dengan bener, jadi lepaskan saya sekarang". Lalu Slamet Riyadi beserta pasukannya melepaskan 3 tawanan itu, dan mengawasi tawanan agar mereka melakukan apa yang diinginkan dengan benar. 

Slamet Riyadi meminta agar Belanda menyerahkan kota Solo kembali kepada Republik Indonesia, dan dia akan melepaskan mereka hidup -- hidup dan pasukan Belanda pun akan ia bebaskan dan berhenti di serang oleh pasukannya. Setelah gencatan senjata, kota Solo pun diserahkan oleh Belanda ke Republik Indonesia. Setelah itu, Slamet Riyadi di kirim ke Jawa Barat bagi melawan Tingkatan Perang Ratu Tidak Sewenang -- Wenang bentukan Reymond Westerling.

Pada 10 Juli 1950, Slamet Riyadi ditugaskan untuk menumpas pemberontakan Kapten Abdul Aziz di Makassar dan Republik Maluku Selatan yang dipelopori Dr. Soumokil. Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk menjaga keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1 batalion TNI dari Jawa pimpinan Mayor Hein Victor Worang. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan membentuk "Pasukan Bebas" di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh bekas tentara KNIL, Andi Aziz, pada tanggal 5 April 1950. Padahal sebelumnya, pemerintah telah mengangkat Andi Aziz menjadi Kapten dalam suatu acara pelantikan penerimaan bekas anggota KNIL ke dalam tubuh APRIS pada tanggal 30 Maret 1950.

Namun, karena Kapten Andi Aziz termakan hasutan Mr. Dr. Soumokil yang menginginkan tetap dipertahankannya Negara Indonesia Timur (NIT), akhirnya ia mengerahkan anak buahnya untuk menyerag Markas Panglima Territorium. Ia bersama anak buahnya melucuti senjata TNI yang menjaga daerah tersebut.

Di samping itu, Kapten Andi Abdul Aziz berusaha menghalang-halangi pendaratan pasukan TNI ke Makassar karena dianggapnya bahwa tanggung jawab Makassar harus berada di tangan bekas tentara KNIL. 

Dengan anggapan sudah merasa kuat pada tanggal 5 April 1950, setelah menangkap dan menawan Letnan kolonel Mokoginta, Panglima Territorium Sulawesi, Kapten Andi Aziz mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah pusat di Jakarta.

Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.

Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950.Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS.Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.

Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL.

Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

Antara pihak pemberontak dengan utusan pihak pemerintah dari Jakarta, semula diusahakan pemecahan masalah melalui perundingan yang kemudian disusul dengan ultimatum, sehingga pada akhirnya harus diambil tindakan militer. Pada tanggal 20 Agustus 1950 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dapat menguasai seluruh kota Makasar atau Ujung Pandang. 

 Tak lama setelah berakhirnya perang, Republik Maluku Selatan (RMS) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Indonesia yang baru lahir. Rijadi dikirim ke garis depan pada tanggal 10 Juli 1950 sebagai bagian dari Operasi Senopati. Untuk merebut kembali Pulau Ambon, Rijadi membawa setengah pasukannya dan menyerbu pantai timur, sedangkan sisanya ditugaskan untuk menyerang dari pantai utara. Meskipun pasukan kedua mengobarkan perlawanan dengan sengit, pasukan Rijadi mampu mengambil alih pantai tanpa perlawanan; mereka kemudian mendaratkan lebih banyak infanteri dan kendaraan lapis baja.

Pada tanggal 3 Oktober, pasukan Rijadi, bersama dengan Kolonel Alexander Evert Kawilarang, ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota pemberontak di New Victoria. Rijadi dan Kawilarang memimpin tiga serangan, pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Rijadi merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau, perjalanan yang memakan waktu selama sebulan. Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Rijadi, sering kali membuat mereka terjepit.

Dan tanggal 4 November 1950, saat sedang berusaha menumpas pemberontakan RMS di Gerbang Benteng Victoria, Ambon, pasukan Slamet Riyadi bertemu segerombolan pasukan yang bersembunyi di benteng tersebut dengan mengibarkan bendera merah putih. Melihat bendera tersebut, Riyadi memerintahkan pasukannya untuk menghentikan penyerangan karena ia yakin bahwa mereka adalah Tentara Siliwangi. Namun dugaan Riyadi salah. Ternyata mereka adalah segerombolan pemberontakan RMS.

Pasukan Rijadi diserang oleh pasukan RMS. Namun, ia tidak mengetahui akhir pertempuran tersebut. Ketika Rijadi sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak, selongsong peluru senjata mesin menembakinya. Peluru tersebut menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Rijadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Rijadi gugur pada malam itu juga, dan pertempuran berakhir pada hari yang sama. Rijadi dimakamkan di Ambon. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun