Mohon tunggu...
M. Gazali Noor
M. Gazali Noor Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan.

Hobi pada buku bacaan dan pemikiran rasional dan humanis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisruh Nasab Habaib Lagi. Jangan PeDe Pada Dunia Selain "Wahyu" Dan "Tokoh Besar"

23 Agustus 2024   10:40 Diperbarui: 23 Agustus 2024   11:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksistensi nasab Habaib Ba'alawi sebagai keturunan nabi secara historis, dapat diketok palu, tidak mencukupi sebagai bukti kebenaran sejarah jika harus "dipaksa" ditunjang dengan mimpi-mimpi keramat berbau ilusi atau fantasi. Lebih lagi data yang baru muncul 600 tahun kemudian setelah tokohnya. 600 tahun sebelumnya, sang pohon nasabnya nihil history. Yang menunjukan adanya upaya sungguh-sungguh "memaksakan" untuk mendapatkan sebuah pengakuan secara geneologi. Kalau itu benar terjadi.

Kisah-kisah karomah berbau dongeng purba yang ngetren sebelum adanya bioskop, yang dengannya berhasil mengangkat popularitas suatu figur fiktif, tidak dapat diambil pula sebagai bukti material sejarah.

Dalam Islam agaknya barangkali masih terdapat, yang diakui sebagai kebenaran sejarah kadang kala ditetapkan karena adanya tokoh yang menafikan suatu sumber sejarah lain. Umpama suatu sumber menyebut sejarah ini "A" lantas datang sumber lain menyebut sejarah ini "B". Maka atas dasar itu sejarah "A" ditolak karena "dibantah" oleh seorang tokoh yang dianggap lebih otoritatif karena rajin ibadah ritual misalnya  Sehingga bisa jadi penetapan yang bersifat "tekanan" dan tanding besar-besaran kubu.

Tidak semua sejarah di Islam mempunyai fakta sejarah yang "akurat". Kita sebut saja anak Imam Husein, ada yang menyebutnya sudah di "genosida" habis, ada yang menyangkalnya dengan mengatakan ada yang lolos dan selamat pada saat itu. Kontradiktif. Ini menunjukan "tidak jelasnya".

Kiayi Haji Hasan Basri, mantan Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) asal Muara Teweh, adalah ulama Dayak Bakumpai yang berpendapat anak cucu nabi Muhammad sudah tidak ada lagi.

Imam Hasan, ada yang menyebut meninggal karena diracun istrinya dan ada juga yang menyebut meninggal karena menderita sakit yang lama oleh karena racun. Tetapi untuk kasus seperti ini, meskipun dua pendapat ini tampak bertolak belakang tapi masih dapat dikompromikan, karena sama-sama disebabkan racun. Jadi adakalanya informasi sejarah yang tampak berlawanan masih bisa dikompromikan..

Imam Syafi'i kita akui keberadaannya, tetapi tidak semuanya tentang beliau "jelas". Disebut-sebut, bahwa ibu beliau Fatimah mempunyai nasab yang tersambung ke Ali Bin Abi Thalib. Nyatanya, informasi ini dibantah oleh Ahmad Amin, dengan mengatakan ibu Imam Syafi'i berasal dari suku Azad di daerah Yaman. Menurut beberapa kalangan Imam Syafi'i lahir tahun 150 di Gaza Palestina. Sebagian lagi menyebut lahir di Asqalan. Ada lagi yang menyebut beliau lahir di Yaman.

Apabila jumlah perkiraan bilangan tahun suatu peristiwa sejarah selisihnya berbeda dekat mungkin ini dapat dimaklumi, tetapi jika menyakut "diri", ini sudah menjadi problem menurut kami. Sedangkan beliau hidup di era yang disebut-sebut di era penulisan, sebagaimana beliau sendiri yang disebut-sebut "menulis" kitab (buku).

Kitab Al Umm atau Kitab Induk yang diyakini secara luas sebagai buah karya monumental Imam Syafi'i. Tidak sepenuhnya dipercaya sebagai karya Imam Syafi'i oleh semua kalangan. Kenyataanya ada yang berpendapat lain. Tetapi seperti yang kami terangkan di atas tadi, ada "ilmu" untuk menafikan sebuah informasi yang berlawanan dengannya, atau "kehendaknya", yaitu kata-kata "dibantah oleh". Cukup melenyapkan sebuah pendapat lain dengan penyebutan kata "dibantah". Atau ada pula kata "lebih masyur" untuk meniadakan informasi sejarah pihak lain. Misalnya diargumenkan bahwa hal itu diyakini oleh kiayi ini kiayi ini.

Kitab Al Umm memang terdapat juga pertanda bukan karya buah tangan Imam Syafi'i. Pendapat ini bukan tanpa alasan, dalam penulisannya sering Imam Syafi'i menjadi orang ketiga. Misalnya pada Juz 1 terdapat kalimat, "Dikabarkan kepada kami oleh Ar Rabi, yang mengatakan dikabarkan kepada kami OLEH ASY SYAFI'I". Beliau menjadi orang ketiga di bukunya. Untuk mendamaikan problem ini ada yang berpendapat, kitab tersebut di imlakan (didiktekan) katanya.

Melihat kenyataan yang ada tadi, tentang informasi Islam masa lalu yang zamannya jauh sesudah Nabi Muhammad wafat. Atau zaman tokoh-tokoh kecil sejarah. Bagi kami sendiri, sejarah tersebut hanyalah sebagai "bahan untuk pertimbangan" dalam analisa-analisa. Karena itu kami lebih mengasyikan diri pada sumber yang jelas saja yaitu Al Qur'an, yang kedua tokoh besar atau tersampaikan pada hadits shahih. Dengan menjadikan sumber-sumber setelah masa nabi Muhammad (tokoh-tokoh kecil) hanya sebagai bahan pertimbangan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun