Mohon tunggu...
M. Gazali Noor
M. Gazali Noor Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan.

Hobi pada buku bacaan dan pemikiran rasional dan humanis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wartawan Papan Bawah, Timbal Balik Hidup dan Perut Keroncong.

11 Agustus 2024   02:18 Diperbarui: 11 Agustus 2024   02:23 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Jam 12 siang ditengah musim kemarau begini, jemuran yang biasanya kering antara pukul 14 s/d 16 sore biasanya lebih cepat keringnya. Pukul 12 pagi bisa sudah kering.

Bayangkan berdiri dibawah sengatan matahari disaat itu, kering pulalah pastinya kerongkongan akibat dehidrasi.

Selamat siang pak bu..Menyapa suami istri pemilik warung yang berdagang macam-macam barang kebutuhan pokok, termasuk makanan dan minuman segar. "Kami datang lagi untuk menyampaikan progres dari wawancara kita kemaren, sekalian melihat adakah respon dari BUMN nya " kata kami. 

Kami melihat, disamping warungnya ada berdiri rumah yang terbuat dari beton dan terbilang cukup permanen. Dihalaman rumah tersebut terdapat motor-motor dan truk pemilik warungnya.

Kami mau menyampaikan kabar gembira, keluhan yang dialaminya selama 2 tahun atas masalah terkait sebuah BUMN telah terbit di edisi media pers. Artinya sudah publish untuk meminta perhatian yang lebih luas. Disamping itu ada jawaban positif dari BUMN nya juga ada didukung anggota dewan setempat.

Kebetulan, dihari kami datang, pihak BUMN yang sebelumnya "dijewer" lewat informasi sebelumnya sedang mengerjakan apa yang diharapkan Bapak dan Ibu pemilik warung tersebut. Mereka penuhi dengan gercep harapan mereka.

Apa masalahnya? Rasanya tidak perlu kita ungkit-ungkit lagi disini. Lagi pula kami tidak sedang mengangkat masalah tersebut di artikel ini, BUMN nya sudah memenuhi harapan bapak ibu tadi. Clear.

Bahagia terpancar dari wajah suami istri yang sebelumnya mengeluh bercampur marah saat kami wawancarai beberapa hari yang lalu. Sebelumnya, "Maklum kami ini orang bodoh", "kami sudah dua tahun tidak ditanggapi" sembur mereka.

Sekarang wajah mereka sudah bahagia. Pembicaraan pun beralih ke topik yang lain sambil sesekali keluar senyum dari wajah mereka.

Beda 90 derajat dengan kami, sedari berangkat dari rumah tadi belum makan. Tambah lagi cuaca terik kemarau membuat dahaga semakin menjadi-jadi. Uang dikantong ada, tapi... sebenarnya malu sih menyebutnya....cuma ada 150 ribu. Kami wajib hemat.

Maklumlah wartawan yang medianya belum ada kontrak berita, dapat gajih dari mana bila medianya saja tidak raksasa. Bila misal tidak membuat berita dengan pertimbangan untung rugi, makin suram peluang kedepannya dalam profesi ini. Pilihannya antara dua, berkorban dulu buat berita atau hilang harapan sama sekali.

Rencananya hanya sebentar saja menengok disitu terus pulang. Pulang ke rumah menempuh waktu cuma sekitar 30 menit. Tapi lapar dan haus ini yang tiba-tiba saja datang dan diluar prediksi.

Sambil ngobrol mata sesekali mencuri melihat minuman segar dan makanan di warung itu. Ada bersuara dalam pikiran, semoga saja ditawari pemiliknya atas timbal balik sedikit jasa kami sebelumnya. 

Beberapa waktu berlalu rupanya tidak keluar juga barang secangkir air putih.

Sudah tidak tahan kami pun permisi untuk pulang. Seraya mengucap salam dan pergi berlalu, tidak terdengar sama sekali ucapan terima kasih dari pertemuan kabar gembira tersebut.

Setelah melewati perjalan naik motor sambil menahan lapar dan haus akhirnya sampai juga dirumah. Bisa ditebak berapa gelas air yang diminum dan nasi yang dituangkan di piring dilahap.

Tadi sewaktu ngobrol kami sempat tukaran nomor HP. Rencananya suami pemilik warung tadi akan kami kirim link beritanya. Begitu kami kirim memang masuk dan centang biru. Tetapi setelah kami chat lagi minta tanggapan pemilik warung atas dipenuhinya harapan mereka untuk berita kami selanjutnya, chat kami cuma centang satu dan tidak dapat dihubungi lagi. Tanda kami telah diblokir.

Dari peristiwa itu penulis teringat kisah-kisah negatif tentang wartawan. Wartawan bodrek yang meminta dan menerima uang dari narasumber (bukan memeras). Pelan-pelan terpikir dibenak, jangan-jangan alasan seperti ini sehingga mereka jadi seperti itu? Pernah sahabat kami yang rutin mendonorkan darahnya untuk pasien Rumah Sakit awalnya selalu memberikan gratis darahnya. Sampai suatu saat berulang-ulang ada keluarga pasien yang mengucapkan terima kasih pun tidak. Akhirnya kini dia tidak mau mendonorkan darahnya gratis. 

Tidakkah dalam interaksi di kehidupan ini kita dibantu maka kita pun semestinya juga berkewajiban membantu. Harus sama-sama enak, jangan cuma mau enaknya sendiri. Kepentingannya dibantu, namanya dibantu muncul ke orbit, tetapi wartawannya dipandang tidak mengapa tangan hampa. Dia kan tugasnya memang mencari dan menyiarkan info, sesederhana dan sependek itu logikanya tentang wartawan. Jangan salah paham, ini bukan menyuruh minta dari nara sumber, ini hanya tentang segelas air dan nasi putih saja dalam hidup.

Coba pikir saja godaannya lagi, bisa saja wartawan tadi membatalkan publish setelah bernegosiasi dengan pihak yang dikonfirmasi dalam masalahnya. Lebih dari secangkir es teh dan sepiring nasi di warung yang bisa dia kantongi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut tentang kesejahteraan wartawan. "Tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik dengan baik" sebut AJI diartikelnya.

Memang rasanya sukar mengharapkan jurnalis yang "anti uang" bila perutnya saja keroncongan. Kecuali "kode etik iman" dan keikhlasan yang dipertahankannya sebagai wartawan demi kebenaran.

Penulis : Muhammad Gazali Noor (Wartawan Lokal)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun