Mohon tunggu...
M. Gazali Noor
M. Gazali Noor Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan.

Hobi pada buku bacaan dan pemikiran rasional dan humanis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wartawan Papan Bawah, Timbal Balik Hidup dan Perut Keroncong.

11 Agustus 2024   02:18 Diperbarui: 11 Agustus 2024   02:23 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Rencananya hanya sebentar saja menengok disitu terus pulang. Pulang ke rumah menempuh waktu cuma sekitar 30 menit. Tapi lapar dan haus ini yang tiba-tiba saja datang dan diluar prediksi.

Sambil ngobrol mata sesekali mencuri melihat minuman segar dan makanan di warung itu. Ada bersuara dalam pikiran, semoga saja ditawari pemiliknya atas timbal balik sedikit jasa kami sebelumnya. 

Beberapa waktu berlalu rupanya tidak keluar juga barang secangkir air putih.

Sudah tidak tahan kami pun permisi untuk pulang. Seraya mengucap salam dan pergi berlalu, tidak terdengar sama sekali ucapan terima kasih dari pertemuan kabar gembira tersebut.

Setelah melewati perjalan naik motor sambil menahan lapar dan haus akhirnya sampai juga dirumah. Bisa ditebak berapa gelas air yang diminum dan nasi yang dituangkan di piring dilahap.

Tadi sewaktu ngobrol kami sempat tukaran nomor HP. Rencananya suami pemilik warung tadi akan kami kirim link beritanya. Begitu kami kirim memang masuk dan centang biru. Tetapi setelah kami chat lagi minta tanggapan pemilik warung atas dipenuhinya harapan mereka untuk berita kami selanjutnya, chat kami cuma centang satu dan tidak dapat dihubungi lagi. Tanda kami telah diblokir.

Dari peristiwa itu penulis teringat kisah-kisah negatif tentang wartawan. Wartawan bodrek yang meminta dan menerima uang dari narasumber (bukan memeras). Pelan-pelan terpikir dibenak, jangan-jangan alasan seperti ini sehingga mereka jadi seperti itu? Pernah sahabat kami yang rutin mendonorkan darahnya untuk pasien Rumah Sakit awalnya selalu memberikan gratis darahnya. Sampai suatu saat berulang-ulang ada keluarga pasien yang mengucapkan terima kasih pun tidak. Akhirnya kini dia tidak mau mendonorkan darahnya gratis. 

Tidakkah dalam interaksi di kehidupan ini kita dibantu maka kita pun semestinya juga berkewajiban membantu. Harus sama-sama enak, jangan cuma mau enaknya sendiri. Kepentingannya dibantu, namanya dibantu muncul ke orbit, tetapi wartawannya dipandang tidak mengapa tangan hampa. Dia kan tugasnya memang mencari dan menyiarkan info, sesederhana dan sependek itu logikanya tentang wartawan. Jangan salah paham, ini bukan menyuruh minta dari nara sumber, ini hanya tentang segelas air dan nasi putih saja dalam hidup.

Coba pikir saja godaannya lagi, bisa saja wartawan tadi membatalkan publish setelah bernegosiasi dengan pihak yang dikonfirmasi dalam masalahnya. Lebih dari secangkir es teh dan sepiring nasi di warung yang bisa dia kantongi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut tentang kesejahteraan wartawan. "Tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik dengan baik" sebut AJI diartikelnya.

Memang rasanya sukar mengharapkan jurnalis yang "anti uang" bila perutnya saja keroncongan. Kecuali "kode etik iman" dan keikhlasan yang dipertahankannya sebagai wartawan demi kebenaran.

Penulis : Muhammad Gazali Noor (Wartawan Lokal)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun