Mohon tunggu...
Jekry Ariyanto Sopa
Jekry Ariyanto Sopa Mohon Tunggu... Wiraswasta - TERUS MENJADI

Terus Bermakna Bagi Sesama dan Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Upaya Musyawarah Menuju Keadilan Substantif dalam Kemelut Sengketa Pilpres

27 Mei 2019   22:50 Diperbarui: 27 Mei 2019   22:58 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rangkaian pesta demokrasi dalam setiap tahapannya telah dilalui, hasil dari pelaksanaannya ada yang bahagia karena kepuasan dari hasil yang berbuah kemenangan namun adapun yang protes dan tidak menerima hasil pemilu karena nihil atau kegagalan yang didapat. 

Kondisi ini tidak terlepas dari hasil Pilpres yang telah ditetapkan oleh KPU yang telah menetapkan Paslon Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai pemenang pilpres berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara secara nasional. sebagai bentuk ekspresi protes dari kubu Prabowo-Sandi dengan melakukan demonstrasi yang sebelumnya dihembuskan oleh beberapa tokoh politik dalam narasi people power yang mendapat ancaman pidana perbuatan makar, kemudian narasi itu diperhalus dengan penyebutan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR). 

Dalam aksi tersebut berujung pada tindakan anarkis dan bentrok antar masa aksi dengan aparat Kepolisian dan TNI yang mengawal jalannya masa aksi, bahkan menimbulkan korban jiwa serta kerugian lainnya.

Sangat disayangkan ketika ruang kebebasan berekspresi keluar dari koridor mekanisme yang tidak semestinya dilakukan oleh para demontran. Setelah dilakukannya upaya protes dan penolakan terhadap hasil pilpres melalui narasi people power yang dapat dinilai tidak membuahkan hasil, kemudian kubu BPN Prabowo-Sandi telah bersepakat melalui pertimbangan internal dan kuasa hukumnya untuk menempuh jalur hukum dalam gugatan segketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi yang sejauh ini diyakini sebagai satu-satunya jalan mendapatkan keadilan dalam sengketa hasil pilpres.

Satu-satunya jalan yang telah tertulis dalam perintah hukum positif kita dalam penanganan terhadap sengketa hasil pemilu yakni menuju Mahkamah Konstitusi tanpa dipertimbangkan kepentingan kemanusiaan melalui penilaian diluar bangunan hukum yang formal terkait potensi lainnya yang muncul setelah langkah itu ditempuh ataupun kemanfaatan dari langkah tersebut. 

Tentunya pertimbangan itu tidak terdapat dalam bangunan hukum yang kaku dan formal melainkan hanya pada nurani kemanusiaanlah yang dapat mempertimbangkan dan dapat menilai opsi atau jalan-jalan lainnya yang lebih baik untuk mendapatkan keadilan substansi bagi segenap masyarakat dan kelompok yang bersengketa selain melalui opsi jalur hukum.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu diperhatikan mengingat perhelatan pesta demokrasi yang telah dilalui cukup menguras energi bahkan banyak menyisahkan konflik dan ketegangan baik secara vertikal maupun horizontal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan bernegara. 

Kekhawatiran yang muncul bilamana kondisi ini tidak segera disikapi dengan arif dan bijaksana oleh kelompok yang berseteru maka berpotensi menghambat pembangunan dan ketertiban dalam masyarakat bahkan penyelenggara negara hanya menghabiskan energi mengurus kekacauan dalam masyarakat sehingga berimbas pada ketidakstabilan lalu lintas pembangunan.

Mengfinalkan satu-satunya opsi jalaur hukum dalam penanganan terhadap sengketa hasil pilpres merupakan sebuah kekeliruan, sebab sengketa hasil pilpres yang terjadi bilamana ditempuh melalui pendekatkan hukum maka yang tersedia ialah sesuatu yang mutlak, otonom, dan final. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu dan bukan hukum. 

Satjipto Rahardjo memaknai hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk sesuatu yang luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Maka hukum itu harus terus menerus disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan kehidupan, agar bermanfaat buat masyarakat. Jangan sekali-kali dibalik, sehingga kehidupan manusialah yang dipaksa-paksa untuk menyesuaikan kepada hukum.

Berangkat dari narasi konsep hukum progresif yang telah dibentangkan oleh Satjipto Raharjo telah membuka khasana cara berpikir dan berhukum kita agar kondisi sosial kemasyarakatan yang tengah dalam ketegangan perlu disikapi melalui jalan-lainnya oleh tokoh-tokoh politik dan kedua kubu untuk mengadakan terciptanya kedamaian dan kesejukan dalam masyarakat sebab opsi jalur hukum tidak cukup ruang untuk mendapati keadilan substansi bagi setiap elemen masyarakat.

Merupakan mimpi buruk ketika penyelesaian sengketa pilpres hanya sekedar sengketa di bawah ke ruang pengadilan untuk mendapatkan keadilan, tentunya keadilan dalam ruang peradilan cenderung berorientasi pada parameter keberhasilan melalui menerapan norma hukum yang otonom dan formal, sejauh ini kondisi kehidupan hukum dengan cita-cita keadilan yang selalu didengungkan, bagi Romli merupakan fatamorgana semata, tanpa manfaat nyata yang dirasakan, diberi sesuai dengan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya pada kepentingan masyarakat luas.

Kehidupan hukum yang menempatkan hukum sebagai bangunan final yang telah menutup alternative lainnya dalam penyelesaian sengketa dalam alam liberalism merupakan kemenangan atas pengaruh paham individualism yang telah menguburkan paham kolektivisme yang secara historis tumbuh dan berkembang di Nusantara. 

Karena itu, penerapan hukum atau cara berhukum kita masih berada dalam bayang-bayang kolonialisme. Meskipun era penjajahan fisik telah berakhir, akan tetapi era penjajahan ideologi dan ajaran dalam bidang hukum belum berakhir, karena hingga saat ini pergulatan hukum dan masyarakat terus berlanjut bahkan cenderung hukum diutamakan ketimbang nilai dasar kemanusiaan, tentunya cara berhukum demikian tidak mencirikan keindonesiaan kita.

Kecenderungan ini sebagai bentuk perjuangan yang bersifat individual atau liberalism, yang bukan merupakan identitas dari jiwa keindonesiaan kita yang mengedepankan kualitas bukan kuantitas penyelesaian perkara. Kualitas yang terukur melalui pendekatan parameter kemanfaatan dan kebahagiaan bagi setiap elemen dalam setiap penyelesaian perkara. 

Karena itu, keadilan yang diharapkan ialah konsep keadilan yang merupakan identitas negara ini yang telah tumbuh dan berkembang semenjak adanya negara ini bahkan terkristal dalam semangat dasar negara kita, bahwa negara hukum bukan hanya negara yang membuat dan menerapkan hukum, melainkan negara yang mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya.

Semangat yang terbangun dari spirit kolektivisme sebagai budaya bangsa Indonesia. Sebagaimana pandangan Romli Atmasasmita bahwa Justinian concept of justice hanya menghasilkan who is the winner and the loser, bahkan memperpanjang konflik antar individu atau sosial dalam kehidupan masyarakat. 

Karenanya, Panca Sila berdasarkan asas musyawarah dan mufakat memiliki tujuan utama (ultimate goals), yaitu perdamaian untuk para pihak dan semua (peace and justice for all) sehingga mencegah permusuhan atau konflik berkepanjangan antar individu dan kelompok masyarakat bahkan para pihak yang bersengketa. 

Bagian hilir dari kemelut ini ialah terciptanya perdamaian (peace) dan kemanfaatan (utility) bagi kedua kelompok yang berseteru dan juga keseluruhan masyarakat sebagai tujuan utama (ultimate goals). 

Wujud dari keadilan substantif melalui spirit kolektivisme maka pentingnya tokoh politik yang berada pada barisan kubunya masing-masing perlu mengambil inisiatif di luar mekanisme hukum otonom untuk membangun komunikasi dan konsolidasi antar kelompok dalam menciptakan suhu politik yang sejuk dan damai bagi setiap kelompok dan komponen masyarakat. 

Hal ini sebagai representasi dari jiwa ketokohan serta kenegarawan dari masing-masing pihak. Tanpa dorongan dari pihak manapun melainkan motivasi pribadi dalam menyejukan suhu demokrasi yang syarat konflik serta berpotensi keretakan bahkan perpecahan di dalam masyarakat.

Tentunya langkah ini tidak tertuang dalam konteks aturan formal teknis pelaksanaan yang tertulis dalam penyelesaian sengketa pilpres, melainkan atas pertimbangan kepentingan kemanusiaan di atas segala kepentingan politik, kelompok  dan kepentingan lainnya demi kebahagiaan bersama dalam keberlangsungan kehidupan bernegara yang menyejukan dengan penuh rasa kekeluargaan, sebagai wujud leitmotive and leitstar dalam komitmen berbangsa dan bernegara berdasarkan Panca Sila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun