Isu SARA sebagai salah satu komoditi yang cukup subur ketika mesin politik pada aras nasional maupun akar ruput pandai memainkan ritmenya sebagai bahan propaganda dan agitasi dalam menggerus esensi dari demokrasi guna menggalang elektabilitas dari kelompok dan figure tertentu. Isu ini menjadi momok yang cukup mengkwatirkan karena berdampak luas serta cukup mengganggu kestabilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif. Sungguh miris ketika melihat kondisi negara dengan jargon kesatuan dalam payung pancasila terus di rong-rong.
Keresahan ini semakin membara ketika kembali melihat sejarah keberadaan bangsa ini dalam satu spirit perjuangan kolektif tanpa menanyakan, tanpa membedakan apa agamamu? Apa sukumu? Dari golongan manakah kamu? Dan seterusnya.
Pada masa kelam itu, pendahulu kita sama-sama berjibaku memperjuangkan yang namanya kemerdekaan bukan untuk golongan, suku, dan agama tertentu melainkan atas dasar perjuangan dan kemerdekaan bersama. Dasar kemerdekaan bersama itu maka, kita berkesepakatan bersama dalam satu rumah yang namanya Indonesia dalam bingkai negara kesatuan yang berdasarkan pancasila sebagai kristalisasi dari spirit kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesejukan spirit kesatuan ini, tidak seindah yang diimpikan. Boleh dikatakan spirit ini hanyalah metamorgana ketika sarapan pagi kita masih disuguhi isu SARA yang terus membahana melintasi jagat nusantara. Kondisi sosial kita mencerminkan sikap sadar maupun tidak sadar baik person maupun kelompok sedang mengkotak-kotakan spirit kesatuan ini untuk memuaskan hasrat ambisius keserakahan mereka. Tentunya sikap ini terus mengusik bagi mereka yang konsisten berada pada barisan cinta akan kesatuan, ketika teriakan intoleransi, SARA dan hoax bukan lagi menjadi hal yang lumbrah justru semakin giat dan marak dibicarakan dalam kelompok masyarakat maupun diberbagai media yang berakibat pada perpecahan, kebencian yang berkepanjangan.
Pengalaman kelam kita terhadap dampak dari isu SARA dalam setiap hajatan pesta demokrasi, menjadi bahan refleksi yang cukup, dalam menentukan langkah melalui kebijakan penyelenggara negara untuk menyikapi momok ini dengan cara-cara yang luar biasa, agar sebanding dengan akibat yang luar biasa dari adanya isu sara. Tentunya cara-cara yang luar biasa dimaksud dapat ditempuh melalui upaya penal maupun non-penal yang dimotori oleh pihak-pihak terkait seperti penegak hukum lembaga legislative dan eksekutif. Karenanya maka perlu adanya kesadaran bersama bawasannya isu SARA merupakan musu bersama yang sewaktu-waktu dapat menciderai dan meruntuhkan ketahanan dan kerukunan bangsa.
Melalui adanya kesadaran itu, maka upaya-upaya preventive perlu dilakukan secara masif sehingga dapat memangkas berbagai bentuk isu SARA yang berpotensi melemahkan solidaritas dari berbagai keberagaman yang ada. Upaya ini tidak terlepas dari tanggungjawab setiap partai politik beserta setiap kader-kadernya agar ada dalam satu kesadaran bersama terkait pentingnya kebhinekaan dan kerukunan antar kelompok untuk membumi hanguskan politik identitas di negri ini.
Menguatnya politik identitas erat kaitannya dengan minimnya literasi masyarakat yang lemah serta perkembangan media sosial yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral dari pengguna yang kurang arif dan bijaksana sehingga derasnya politik identitas memicu timbulnya perpecahan hingga pada masyarakat akar rumput. Jika kondisi ini dibiarkan maka potensi runtuhnya negara ini bisa saja terjadi, maka secepatnya perlu disikapi oleh penyelenggara negara.
Sisi lain dari itu perlu adanya penanganan yang luar biasa terhadap tindakan-tindakan yang berbau SARA melalui upaya repressive kepada individu maupun kelompok-kelompok yang mencoba memanfaatkan keberagaman yang ada sebagai bahan propaganda dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu. Maka pengaturan yang ketat dan sanksi-sanksi yang berat perlu diberikan guna memberi efek jera kepada pelaku maupun calon-calon pelaku lainnya yang mencoba menggerakan isu SARA yang mengancam akan keutuhan dan kerukunan negara ini.
Sanksi tegas itu perlu ditegakan mengingat semangat dalam membangun negara ini dari berbagai perbedaan bukan pekerjaan gampang, sebab darah dan nyawa menjadi bayarannya. Maka, mereka-mereka yang menggerakan isu SARA dalam setiap kepentingannya layak mereka disebut "penghianat kemerdekaan", layak mereka disebut "penjahat besar" karena mereka menciderai komitmen bersama berupa politik identitas dan praktek-praktek lainnya yang mengancam akan spirit persatuan negara ini. Tentunya masa depan dari negara kita tidak diharapkan berakhir seperti Negara Yugoslavia yang berpusat di Belgrade.
Tragedi kemanusiaan di Bosnia tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi di Yugoslavia, sebuah Negara federasi dimana Bosnia-Herzegovina adalah salah satu Negara bagiannya. Pada tahun 1980-an, penduduk terdiri dari etnik Serbia (1,3 juta) , etnik Bosnia (1 juta) , dan Kroasia (700.000). kebanyakan Etnik Serbia adalah menganut Katolik Ortodoks, sebagian besar etnik Bosniak  adalah Muslim Sunni, dan etnik Krosia pada umumnya adalah penganut Katolik Roma. Ketiga etnik ini sama-sama merasa memiliki akar historis diwilayah Bosnia dan menganggap Bosnia sebagai tanah air mereka.
Akibat dari adanya politik identitas dan penyebaran isu sara yang membahana sehingga berakhir dengan kejahatan Genosida yang berkaitan dengan maksud menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok suku bangsa, etnik, ras atau agama tertentu juga termasuk perbuatan pembunuhan, pengudungan anggota tubuh, penggunaan obat bius yang dapat menghancurkan kelompok termasuk tindakan pemandulan. (Arie Siswanto: 2015). Negara Yugoslavia merupakan salah satu contoh selain sederetan negara-negara lain yang bubar akibat dari adanya politik identitas serta motivasi melalui isu-isu lainnya yang berbau SARA.