Foto : Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh
  Mengapa hal tersebut sangat menarik dan jarang untuk dibahas dan 1 Artikel yang bersama? Mungkin karena dalam memahami sejarah kita selalu berpatokan dengan 1 peristiwa saja, padahal sejarah saling keterkaitan satu sama lain. Dan hal tersebut juga yang dialami ketika perang Diponegoro dan Tanam Paksa dan disini kita akan mengupas sejarah tersebut, bagaimana Penjelasan lengkapnya? Simak baik-baik, stay tune and stay foccous
 Indonesia memiliki banyak pahlawan baik dari pendidikan, Budaya, Militer maupun dari berbagai bidang. Indonesia juga mempunyai sikap bahwa "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya" dan oleh sebab itu Indonesia memiliki sikap menghormati dan menghargai para pahlawan-pahlawannya. Diantara banyak pahlawan Nasional di Indonesia, Ada satu nama yang tak asing ditelinga kita yaitu Pangeran Diponegoro.
Siapa Pangeran Diponegoro sebenarnya?
 Pangeran Diponegoro memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Harya Dipanegara lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 dan meninggal di Makassar,8 Januari 1855 pada usia 69 Tahun. Pangeran Diponegoro putra dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono III dan R.A. Mangkarawati.
 Sedangkan menurut Sejarawan asal Inggris yang memfokuskan dirinya pada sejarah Indonesia terutama Jawa, Ia berkata, Pahlawan nasional, mistik Jawa, Muslim yang taat dan pemimpin "perang suci" melawan Belanda antara tahun 1825 dan 1830, itu Pangeran Yogyakarta, Dipanagara (1785-1855, atau dikenal sebagai Diponegoro) (Carey, 2015).
Mengapa Perang Diponegoro dapat meletus? Dan mengapa Perang ini sangat menyengsarakan kerajaan Belanda?
 Perang jawa atau nama lainnya Perang total(Perang Maghrib, istilah guyonannya) merupakan gambaran perang rakyat yang bersifat perang asimetri yang menggambarkan kemampuan perlawanan yang tidak seimbang melawan penjajah yang cenderung lebih modern dan terlatih, dikaitkan dengan pemahaman konsep perang semesta karena keterlibatannya memenuhi 3 unsur; yaitu kesemestaan, kerakyatan serta kewilayahan yang melibatkan rakyat diberbagai wilayah utamanya di jawa tengah(Yogjakarta dan Surakarta). Perang Jawa juga menjadi salah satu bagian perubahan yang besar di dunia di akhir abad 18 dan awal abad 19. Bagi orang-orang Jawa khususnya di Surakarta maupun Yogyakarta, masa- masa itu merupakan masa yang memperlihatkan semakin merosotnya tatanan Jawa khususnya di dalam keraton.
 Alasan mengapa perang ini bisa terjadi memiliki 1 benang merah yang sama yaitu bahwa Kehadiran Bangsa Belanda ke Jawa khususnya Yogyakarta menimbulkan beberapa polemik permasalahan sosial dan politik. Strategi-strategi yang diterapkan Belanda mampu membius pemerintahan Kesultanan Yogyakarta, sehingga timbul kemerosotan moral di dalam keraton. Hal ini sangat disesalkan oleh Pangeran Diponegoro.
 Singkatnya dengan 1 alasan utama diatas, Pangeran Diponegoro mendeklarasikan Perang terhadap kerajaan Belanda. Dengan menggunakan taktik gerilya dengan gerilyawan berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah
 Mengapa Perang ini sangat membuat kewalahan dan harus mengucurkan kas Belanda dalam jumlah besar untuk membiayai perang ini? Jawabannya menurut penulis karena banyaknya pihak yang terlibat dalam perang ini dan juga karena perang ini adalah perang total atau dalam kata lain perang penghabisan, oleh karena itu mereka berjuang mati-matian untuk bisa memenangkan perang ini. Tercatat Biaya untuk perang tersebut tidak kurang dari 20 juta gulden. Setelah perang ini juga tercatat menelan korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.
 Lalu bagaimana nasib Pulau Jawa khususnya Yogjakarta setelah perang usai? Menurut (Mustarom, 2017) mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang, Belanda secara tak terbantahkan menguasai pulau Jawa dan sebuah fase baru pemerintah kolonial Belanda dimulai dengan diberlakukannya "sistem tanam paksa" (cultuur stelsel) pada tahun 1830-1870 oleh Gubernur Jenderal Johannes van van den Bosch (menjabat antara 1830-1834). Hal ini menjadi tanda bahwa benar-benar dimulainya penjajahan Belanda yang sesungguhnya di tanah Jawa. Keadaan rakyat semakin tertindas, ditambah dengan pengasingan terhadap Pangeran Diponegoro.
Lalu bagaimana Tanam Paksa atau Cultuurstelsel ini dapat membangkitkan perekonomian belanda lagi setelah perang Jawa?
  Singkatnya, setelah Belanda dapat memenangkan perang Diponegoro, Belanda langsung banting setir, karena tanah jajahan yang ia dambakan untuk mendapatkan surplus ekonomi malah membawa malapetaka besar bagi kas Belanda. Maka, tepat pada tahun 1830, Pemerintah kerajaan Belanda lewat gubenur jenderal Johanes Van Den Bosch memutuskan untuk menerapkan cultuurstelsel atau tanam paksa yang dipusatkan dipulau Jawa yang diharapkan bisa menjadi pemasukan tambahan Kas Kerajaan Belanda. Lalu apa komoditi ekspor utamanya? Diantaranya ada kopi, gula, Nila, Teh, Tembakau, dll.Â
Harga Komoditas tersebut ditetapkan kerajaan Belanda yang tentunya sangat murah untuk dijual dipasar Eropa dengan harga berkali-kali lipat untuk mendapatkan keuntungan atas selisih harga tersebut. Keuntungan tersebut disebut Batig slot yang secara mudahnya adalah perbedaan keuntungan harga beli dipulau Jawa dengan harga jual di pasar Eropa.
 Lalu bagaimana hasil kebijakan tersebut? Pemerintah Belanda mengalami surplus ekonomi dalam jumlah besar. Sebuah sistem yang memberikan penghasilan bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000 gulden (setara dengan USD75 miliar uang hari ini) sehingga meringankan beban transisi negara tersebut menuju ke ekonomi industri modern. Perkembangan pasca-Perang Jawa. Diperkuat dengan satu studi yang memperkirakan bahwa setiap tahun rata-rata sekitar 6% dari PDB Jawa ditransfer ke Belanda melalui sistem Tanam Paksa tersebut.
 Mengenai Dampak pasti kita bisa berkesimpulan bahwa tanam paksa itu sangat merugikan masyarakat Indonesia, tetapi ada hal yang bisa kita jadikan pelajaran untuk digarisbawahi bahwa rakyat Indonesia dapat mengenal jenis tanaman baru, Direkonstruksi infrastruktur seperti jalan, jembatan, dll dan dampak positif yang paling penting menurut penulis adalah kebijakan balas Budi kerajaan Belanda yang biasa disebut Politik Etis, dari Program tersebut akan muncul masyarakat terpelajar yang dimasa depan akan membawa semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Bagaimana kelanjutannya? Simak penjelasannya di konten selanjutnya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabaraktu
Referensi Utama :
 Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia. Bandung : Mizan
 Hartono,Agus Setyo dan Lukman Yudho Prakoso. 2021. LITERATURE REVIEW; PERANG JAWA TERBESAR (PERANG DIPONEGORO) 1825-1830 DALAM PANDANGAN KONSEP PERANG SEMESTA ATAU TOTAL WAR. Bogor : Universitas Pertahanan. Diakses dari https://www.jurnal.syntax-idea.co.id/index.php/syntax-idea/article/view/1227
 Hartono, Agus Setyo. 2021. PERANG JAWA TERBESAR (PERANG DIPONEGORO) 1825-1830 DALAM PANDANGAN KONSEP PERANG SEMESTA ATAU TOTAL WAR. Bogor : Universitas Pertahanan. Diakses dari https://www.jurnal.syntax-idea.co.id/index.php/syntax-idea/article/view/1227
  Dewi, Vira Maulisa, dkk. 2020. PANGERAN DIPONEGORO DALAM PERANG JAWA 1825-1830. Jawa Timur : Universitas Jember. Diakses dari https://www.ojs.stkippgri-lubuklinggau.ac.id/index.php/JS/article/view/254
 Sondarika, Wulan. 2019. Dampak Culturstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870. Ciamis : Universitas Galuh Ciamis. Diakses dari https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/view/337
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H