Mohon tunggu...
Danu Respati
Danu Respati Mohon Tunggu... -

Menjalin cerita dari keseharian

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Pemilik Kebun Sawit Malaysia yang Kena Tipu Pekerja Indonesia

1 Juli 2013   08:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Travelling ke Malaysia terus terang bukan urutan teratas dalam daftar "jalan-jalan impian" yang saya punya. Ah ngapain jalan ke negara tetangga yang suka mengusik kita. Lagian paling juga kondisinya ga jauh beda ama Indonesia. Begitu kira-kira pikiran saya saat pertama ngebahas liburan ke negeri jiran ini dengan teman. Tapi ternyata setelah didatengi, Malaysia tidaklah seburuk yang kita sangka. Soal kondisi negara, tentu saja mereka jauh di depan kita. Mo bandingin jalan waduh jangan sekali-kali. Mo bandingin ibukota apalagi. Cuman bukan itu yang mau saya bagi. Ini cerita lain. Dan bicara soal cerita saya banyak dapat hal-hal menarik di Malaysia.

Salah satunya saya dapat pada hari pertama di negara itu. Karena pesawat dari Indonesia dateng dini hari, saya dan teman menginap di sekitar bandara. Niatnya sih paginya bisa mampir di Putrajaya yang konon cukup mencengangkan itu.

So pagi itu habis sarapan kita segera menghampiri resepsionis untuk check-out sekalian nanyain transportasi ke Putrajaya.

"Ah you can take a taxi to Putrajaya. It's the only transportation available from here."

Ya apa bole buat. Jadi ingat semalem naik taxi bandara kena charge tengah malem. Kalau dirupiahkan dari bandara tarifnta 150 ribuan. Sial. "O oke can you call one please?"

"Wait a moment". Cewek resepsionis keluar berbicara dengan seorang bapak-bapak dan masuk dengannya.

"This one sir. It cost 25 ringgit".

Ga terlalu mahal ku rasa. "Oke we'll take it."

Resepsionis itu bicara lagi dengan bapak-bapak yang diajaknya masuk dalam bahasa Hokian. Waduh tanda-tanda akan ada kesulitan bahasa. Cuman tiba-tiba bapak itu bicara Bahasa Malaysia ke cewek resepsionis. "Tak bisekah cakap Base Melayu die?".

"Oh bisa-bisa Pak. Kita dari Indonesia. Udah ayo Pak jalan". Bapak itu tersenyum cerah merasa bebas ga harus berbahasa Inggris sepertinya.

Sampe di sebelah mobil Karimun atau apalah di Malaysia mirip-mirip gitu dia buka pintu dan kita melongok. "Whattt taxinya mobil begini?" Yeilehh ga niat amat ni Bapak narik taxi.

"Oh mau liat-liat komplek Putrajaya ya?" Ya iyalah. "Saya banyak antar tamu ke sana. Liat-liat, foto-foto". Bicaranya bahasa Malaysia dengan logat Melayu campur Hokian yang bikin kening berkerut dan kuping melebar.

"Iya Pak. Nanti muter-muter dulu ya di komplek".

"Tak bise. Saya ada tamu nak antar ke bandara". Kira-kira begitulah bahasanya. Aduh agak matre ni kesannya. Hahahaha. Cuman salut juga dengan umur kira-kira 55an tahun masih semangat juga Bapak ini.

"Pak sudah lama bawa taxi ni?"

"Lumayan lama. Saya dulu banyak usaha ganti-ganti. Pernah pula bertanam sawit".

"Wah gede tu pasti hasilnya. Kenapa ditinggalin?"

"Masih ada sedikit. Hasilnya tak banyak lagi. Mana pernah kena tipu orang Indon".

Wah agak sensitif ni. "Lah kok bisa. Ditipu gimana?"

"Iya saya sudah bayar uang banyak untuk pekerjaan. Tapi mereka bawa lari itu uang. Susah cari orang baik-baik kerja sawit." Ga jelas sih pekerjaan apa yang dia bayar. Saya pikir ya membersihkan kebun atau memupuk atau memanen.

"Wah apes banget. Tapi ga semua orang Indonesia begitu lo". Rasa nasionalisme sedikit terusik. Ga enak banget dengar ceritanya tapi mikir juga. Di Indonesia juga banyak yang kerjanya nipu. Jadi masuk akal kalau ada yang memperluas wilayah operasi ke Malaysia. "Cari yang mau kerja beneran pasti banyaklah Pak".

"Iya memang. Orang Indon di Malaysia memang banyak, bayangkan ada 3 juta. Tapi saya sudah tua capek ngurus sawit makanya banyak saya jual kebun sawit".

Tiga juta? Ah biasa aja kale. Di Indonesia ada 250 juta orang. Hahahaha. Cuman saya pernah baca jumlah ini cukup banyak dibandingkan dengan penduduk Malaysia yang kira-kira sebanyak 30 juta itu. Sepuluh persennya! Wajar saja mereka ketar-ketir.

"Kalau kamu berdua beda. Pasti sekolah tinggi. Itu tas pasti isinya komputer. Pasti pandai".

Ihhh sok tahu. Tapi lumayan juga, minimal dia ga mikir semua orang Indonesia kriminal. Bukannya ga nasionalis ya. Tapi membayangkan orang ini ditipu orang Indonesia ya masuk akal aja. Kadang kita mikir orang Malaysia itu ngeselin minta ampun. Tapi kita mungkin lupa ada orang-orang Indonesia di sana juga yang bikin kesal.

Di sisa perjalanan kami membahas hal-hal lain seputar pekerjaan dia dan Putrajaya. Mungkin dia juga sadar bahwa membahas kekesalannya pada orang Indonesia yang telah menipunya bakal bikin suasana ga enak. Kalau ingat ini saya jadi mikir, perjalanan yang saya pikir ga penting ini ternyata membawa pandangan-pandangan yang berbeda. Jadi ingat pepatah "buruk rupa cermin dibelah". Hihihihih jaman sekolah banget.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun