Mohon tunggu...
Anggarian Andisetya
Anggarian Andisetya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa, sosok yang belajar menjadi dewasa di tengah-tengah dunia yang (tidak) semakin dewasa\r\n\r\nBerkediaman di Dunia Maya @ Jejak-SangManyar.Blogspot.Com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gema Toilet dan Orang-orang Berwajah Toilet

5 Januari 2012   09:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atau kita menjadikan diri sendiri apatis terhadap kenyataan yang timpang? Membiarkan telinga larut dalam nyanyian cinta dan menutupnya dari jeritan putus asa seseorang yang, mungkin, saat ini terluka hatinya karena anaknya menuntut uang sekolah 200 ribu rupiah? Atau, kita sibuk menyusun rencana meraih jabatan di kampus: Presiden EM. Ketua Senat. Bergerak di depan membela perjuangan turunnya SPP sedangkan di belakang menyusun basis kolusi dan nepotisme untuk mendapatkan kerja setelah lulus nanti. Beginikah kita?

10 tahun lebih kita menghirup udara kebebasan. Bebas bernyanyi tanpa mesti dikebiri seperti gaji si Oemar Bakri. Bebas berpendapat tanpa di"asing"kan seperti Marsinah.

10 tahun lebih kita bebas menghujat: menulis "nama" Presiden pada tubuh kerbau dan mengutuk para petinggi negara dengan sindiran hingga cacian. Ternyata, kita masih begini. Terlunta, "miskin", dan papa.

Sengketa Mesuji dan Tragedi Bima, entah dipolitisasi atau memang begitu adanya, menjadi tanda macetnya reformasi di negeri kita. Belum lagi Freeport yang menjadi agenda perdamaian paling merepotkan di negeri ini. Masalah demi masalah seperti dibiarkan terpendam: sehari, dua hari. Setahun, dua tahun. Satu generasi dan membiarkannya "meledak" di suatu hari nanti. Papua "aman" saat ini. Siapa jamin bulan depan? Tahun depan? Pemerintahan yang akan datang?

Kita harus mengelus dada. Munculnya kebengisan akhir-akhir ini dari saudara-saudara kita tidak lain karena mereka menahan "perut yang lapar." Ketika rasa lapar mereka bukannya kita obati, namun malah kita cabuti "semaian padi, gandum, ubi, sagu, jagung" dari mereka dan melemparkan ampas-ampas kosong padanya, teriakan pun menggoncang langit. Arus modal asing tidak mempertimbangan kemanusiaan. Industri menjadi momok bagi tanah ulayat dan sepetak, dua petak lahan sawah penyambung hidup. Dengan 2 miliar, orang-orang di Senayan bisa membuang hajat di toilet baru mereka. Sementara saudara kita di sana: orang-orang di keterpencilan desa tanpa listrik dan jalan raya. Di puncak gunung. Di tengah samudera. Di emperan jalan tanpa rumah persinggarahan. Anak-anak bangsa di perempatan jalan, siang hari, dengan tangan tengadah atau gitar seadanya. Bisa apa mereka dengan 2 ribu rupiah?

Nanti, setelah toilet baru berdiri di gedung DPR-RI, saya berdo'a: "Ya Allah. Sirnakanlah seluruh kotoran di dalam tubuh para wakil kami, pemimpin kami yang menyuarakan nasib kami. Agar mereka lebih memahami seperti apa perut kami dan setumpul apa otak kami yang 'terusir' dari sekolah RSBI."

Jika Tuhan mendengar, namun para wakil rakyat, pemimpin kita yang bebal di sana, saya akan memanjatkan do'a baru: "Ya Allah ya Tuhan kami. Telah mereka sesap darah dan keringat kami demi toilet baru di rumah singgah mereka. Ya Allah ya Tuhan kami. Sudilah Kau lemparkan seisi toilet mereka tepat di wajahnya agar mereka mengerti, agar mereka memahami seperti apa diri mereka: sama dengan kotoran yang mereka tumpahkan di atas jamban yang mereka dirikan. Amin."

Pada akhirnya, kita (hanya) bisa berharap semoga mesin presensi yang mereka sediakan, toilet yang mereka bangun sanggup memulihkan kesadaran mereka tentang jati diri mereka. Semoga segala sesuatu yang baru di rumah singgah mereka, Gedung DPR-RI, menjadikan mereka lebih giat mewakili kita sebagai rakyat. Jika tidak, sia-sia 2 miliar terbuang hanya untuk kakus baru sedangkan kakus yang lama tertinggal, masih menempel di wajah para wakil rakyat kita.

Jika tidak, semoga Pak Mamat Gayo tidak mengutuki kita dari tepian jalan atas kekufuran mereka, para khalifah di sana, disebabkan ketidakamanahan mereka. Jika 2 miliar itu terbuang percuma, semoga Tuhan tidak menutup surga dan membuka pintu nerakanya lebar-lebar lalu menjatuhkan Tsunami seperti zaman Nuh dan menyeret kita, menenggelamkan kita ke neraka Jahanam yang legam dan hitam. Naudzubillah, summa naudzubillah.

Akhir kata. Mari kita mengheningkan cipta. Menundukkan kepala untuk semenit saja. Merenungi: sudahkah kita menjadi bangsa yang merdeka?

-Salam-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun