Mohon tunggu...
Anggarian Andisetya
Anggarian Andisetya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa, sosok yang belajar menjadi dewasa di tengah-tengah dunia yang (tidak) semakin dewasa\r\n\r\nBerkediaman di Dunia Maya @ Jejak-SangManyar.Blogspot.Com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gema Toilet dan Orang-orang Berwajah Toilet

5 Januari 2012   09:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agak kaget ketika saya menemukan judul demikian di salah satu bagian otak saya. Awalnya saya ingin "memperhalus", namun mengingat topik yang akan saya bahas "tidak halus", ya untuk apa "diperhalus"?

Renovasi toilet gedung DPR-RI senilai 2 miliar membuat saya terjaga dari surfing asal-asalan saya pagi ini. Begitu Yahoo! memajang berita tersebut, mata saya langsung terbelalak dan tiba-tiba tercetus gagasan ini. 2 miliar. 2 miliar untuk 220 toilet di Gedung Nusantara I DPR-RI. Hitung punya hitung, satu toilet dianggarkan sekitar Rp. 9 juta. Apakah seluruhnya terenovasi? 220 toilet? Atau teranggarkan satu toilet dan 219 lainnya pindah ke toilet rumah pribadi? Heh.

Saya teringat pada rumah-rumah bambu di desa saya. Rumah-rumah yang entah berapa puluh tahun bersahabat dengan bilik anyaman bambu sebagai dinding dan tanah sebagai alasnya. Saya teringat pada salah satu rumah yang sekarang rata dengan tanah setelah enam bulan ditinggalkan pemiliknya menetap bersama sang anak di luar Jawa. Saya teringat pada rumah itu, dua tahun yang lalu, ketika dinding bagian samping keropos dan berlubang sekitar sepelukan lengan. Wanita tua penghuninya tak berbuat banyak selain menutupinya dengan goni dan karung beras seadanya hingga ia pergi meninggalkan rumah itu. Andai ia punya 2 miliar, atau 2oo ribu saja, pasti ia bisa membeli dinding bambu yang baru dan menyingkirkan dinding berlubang itu berikut karung goni dan karung beras dari warung seberang jalan.

Saya pun teringat pada seorang lelaki buntung, tanpa kaki dan tangan, yang mengemis di POM Bensin kota saya tiga hari yang lalu. Dengan senyum masgul ia menunggu derma dari rasa iba para pengendara yang melihatnya. Andai ia punya 2 miliar, 20 juta saja, mungkin ia bisa memiliki kaki dan tangan palsu dan pergi ke perempatan jalan untuk mengasong dan mempertahankan harga dirinya sebagai pemuda 20 tahunan.

Saya teringat pada sebuah artikel tentang lelaki yang berjualan amplop di gerbang sebuah masjid. Di tengah gencetan arus globalisasi dan mekanisasi, amplop? Benda apa itu? Andai ia punya 2 miliar, 12 juta saja, barangkali Pak Tua Penjual Amplop itu bisa mendirikan kios dorong di tepi jalan dengan aneka dagangan: mulai rokok, permen, air mineral, makanan ringan, hingga Bibel dan Al-Qur'an bagi saudara-saudara kita yang "kelaparan dan kehausan."

Saya kembali teringat pula pada si mungil Bilqis. Gadis cilik itu harus meninggalkan dunia dengan kesan yang manis dan trenyuh. Manis karena kehadirannya menjadi bukti bahwa dunia masih mengenal cinta dan kasih sayang. Koin Cinta untuk Bilqis yang digalang oleh keluarga Bilqis mampu menarik empati masyarakat dan mengumpulkan dana tak kurang dari satu miliar. Harapan pun bersinar. Sayang, Tuhan punya kehendak lain. Gadis cilik itu pergi sebelum transplantasi hati dilakukan padanya. Andai ia punya 2 miliar, barangkali tak perlu menunggu berbulan-bulan untuk menyelamatkan nyawanya. Dan ketrenyuhan ini takkan pernah terjadi. Andai saja...

Kini, uang 2 miliar itu siap dicairkan lewat sebuah proposal. Proposal proyek: PERBAIKAN TOILET DI GEDUNG DPR. Begitu kurang lebih titel proposal tersebut. Saya mencoba mengelus dada. Begitu mudahnya kocek 2 miliar dikucurkan untuk membangun toilet, sedangkan dua ribu rupiah untuk makan pun bagi para pengamen jalanan mesti bernyanyi-nyanyi dahulu di sela sesaknya bus ekonomi dan tatapan sinis para penumpang. Begitu mudahnya 2 miliar rupiah mengucur sementara sudut-sudut perkampungan di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Papua menjadi asing dan sepi dari pembangunan.

Begitu mudahnya toilet dibangun sementara sekolah-sekolah harus "diruntuhkan" dahulu baru dibangun. Begitu mudahnya toilet direnovasi sementara ratusan ribu (atau lebih?) anak negeri ini berkeliaran di jalanan tanpa ada yang peduli: siapa yang akan memperbaiki takdir mereka?

Keculasan menjerit dari puncak. Menikami nurani, menginjak-injak perasaan yang sekian puluh tahun tersakiti. Demokrasi, reformasi yang kita harapkan membawa perubahan, apalah daya. Sekedar menambah luka lama. Dulu kita punya WS Rendra dengan sajak anggunnya yang memantati wajah kekuasaan meski di ujung senapan dan penindasan. Kita punya Iwan Fals yang gamblang dengan lagu dan iramanya, mengabarkan kehidupan tanpa kepalsuan. Kita punya Ebiet G. Ade, yang santun dan mencoba sabar mesti tak lebih tebal dari selembar daun.

Kita punya Hariman Siregar dan aktifis '98 yang berjuang menetang tirani. Kita punya pahlawan-pahlawan yang nyaris terlupakan dan tak dikenali-Marsinah, Sengkon dan Karta (dua orang ini menjadi sejarah kelam peradilan di Indonesia), dan para pejuang keadilan lainnya yang di-dor oleh kompeni-kompeni Orde Baru. Kini, suara kita kacau ditelan galau. Kita asyik membina kubu ini dan itu. Kita fokus menonjolkan perjuangan kelompok kita. Identitas intrakomunal. Kita lupa membangun solidaritas inter society. Kelompokmu untukmu, kelompokku untukku. Egosentris menjadi celah rusaknya persatuan di kalangan masyarakat. Tak ada lagi kekompakan. Jadi, jangan heran kalau suara jalanan tidak lagi memiliki taring seperti Malari yang mengagetkan investor Jepang dan Bapak Tukang Kebiri Hak Asasi Bangsa Ini. Atau lebih gila lagi Tragedi Semanggi dan Revolusi '98 yang menjadi pintu keamburadulan kita saat ini. Revolusi-Reformasi Setenagh Mati dan Seperempat Hati.

Jangan heran kalau kematian Sondang menjadi sepercik intermezzo yang lenyap seiring jalannya waktu. Usahlah kita muluk-muluk ingin mengulangi sejarah lengsernya Soeharto. Usahlah kita berancang-ancang menurunkan SBY atau siapa saja yang menjadi pecundang di menara daging (karena dibangun di atas darah dan air mata rakyat Indonesia.pen) sana. Yang harus kita pikirkan: sudah lepaskah kita, generasi muda, dari angan-angan busuk para senior kita di sana? Atau, kita malah menjadi pewaris dari keculasan mereka? Keserakahan mereka? Kedunguan mereka?

Atau kita menjadikan diri sendiri apatis terhadap kenyataan yang timpang? Membiarkan telinga larut dalam nyanyian cinta dan menutupnya dari jeritan putus asa seseorang yang, mungkin, saat ini terluka hatinya karena anaknya menuntut uang sekolah 200 ribu rupiah? Atau, kita sibuk menyusun rencana meraih jabatan di kampus: Presiden EM. Ketua Senat. Bergerak di depan membela perjuangan turunnya SPP sedangkan di belakang menyusun basis kolusi dan nepotisme untuk mendapatkan kerja setelah lulus nanti. Beginikah kita?

10 tahun lebih kita menghirup udara kebebasan. Bebas bernyanyi tanpa mesti dikebiri seperti gaji si Oemar Bakri. Bebas berpendapat tanpa di"asing"kan seperti Marsinah.

10 tahun lebih kita bebas menghujat: menulis "nama" Presiden pada tubuh kerbau dan mengutuk para petinggi negara dengan sindiran hingga cacian. Ternyata, kita masih begini. Terlunta, "miskin", dan papa.

Sengketa Mesuji dan Tragedi Bima, entah dipolitisasi atau memang begitu adanya, menjadi tanda macetnya reformasi di negeri kita. Belum lagi Freeport yang menjadi agenda perdamaian paling merepotkan di negeri ini. Masalah demi masalah seperti dibiarkan terpendam: sehari, dua hari. Setahun, dua tahun. Satu generasi dan membiarkannya "meledak" di suatu hari nanti. Papua "aman" saat ini. Siapa jamin bulan depan? Tahun depan? Pemerintahan yang akan datang?

Kita harus mengelus dada. Munculnya kebengisan akhir-akhir ini dari saudara-saudara kita tidak lain karena mereka menahan "perut yang lapar." Ketika rasa lapar mereka bukannya kita obati, namun malah kita cabuti "semaian padi, gandum, ubi, sagu, jagung" dari mereka dan melemparkan ampas-ampas kosong padanya, teriakan pun menggoncang langit. Arus modal asing tidak mempertimbangan kemanusiaan. Industri menjadi momok bagi tanah ulayat dan sepetak, dua petak lahan sawah penyambung hidup. Dengan 2 miliar, orang-orang di Senayan bisa membuang hajat di toilet baru mereka. Sementara saudara kita di sana: orang-orang di keterpencilan desa tanpa listrik dan jalan raya. Di puncak gunung. Di tengah samudera. Di emperan jalan tanpa rumah persinggarahan. Anak-anak bangsa di perempatan jalan, siang hari, dengan tangan tengadah atau gitar seadanya. Bisa apa mereka dengan 2 ribu rupiah?

Nanti, setelah toilet baru berdiri di gedung DPR-RI, saya berdo'a: "Ya Allah. Sirnakanlah seluruh kotoran di dalam tubuh para wakil kami, pemimpin kami yang menyuarakan nasib kami. Agar mereka lebih memahami seperti apa perut kami dan setumpul apa otak kami yang 'terusir' dari sekolah RSBI."

Jika Tuhan mendengar, namun para wakil rakyat, pemimpin kita yang bebal di sana, saya akan memanjatkan do'a baru: "Ya Allah ya Tuhan kami. Telah mereka sesap darah dan keringat kami demi toilet baru di rumah singgah mereka. Ya Allah ya Tuhan kami. Sudilah Kau lemparkan seisi toilet mereka tepat di wajahnya agar mereka mengerti, agar mereka memahami seperti apa diri mereka: sama dengan kotoran yang mereka tumpahkan di atas jamban yang mereka dirikan. Amin."

Pada akhirnya, kita (hanya) bisa berharap semoga mesin presensi yang mereka sediakan, toilet yang mereka bangun sanggup memulihkan kesadaran mereka tentang jati diri mereka. Semoga segala sesuatu yang baru di rumah singgah mereka, Gedung DPR-RI, menjadikan mereka lebih giat mewakili kita sebagai rakyat. Jika tidak, sia-sia 2 miliar terbuang hanya untuk kakus baru sedangkan kakus yang lama tertinggal, masih menempel di wajah para wakil rakyat kita.

Jika tidak, semoga Pak Mamat Gayo tidak mengutuki kita dari tepian jalan atas kekufuran mereka, para khalifah di sana, disebabkan ketidakamanahan mereka. Jika 2 miliar itu terbuang percuma, semoga Tuhan tidak menutup surga dan membuka pintu nerakanya lebar-lebar lalu menjatuhkan Tsunami seperti zaman Nuh dan menyeret kita, menenggelamkan kita ke neraka Jahanam yang legam dan hitam. Naudzubillah, summa naudzubillah.

Akhir kata. Mari kita mengheningkan cipta. Menundukkan kepala untuk semenit saja. Merenungi: sudahkah kita menjadi bangsa yang merdeka?

-Salam-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun