Mohon tunggu...
Jefta Ramschie
Jefta Ramschie Mohon Tunggu... Lainnya - Cogito ergo sum

Sarjana Hukum || Penulis amatiran yang ingin mengembangkan keterampilan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pilkada Diwakilkan DPRD: Sinyal Bahaya Demokrasi.

18 Desember 2024   21:59 Diperbarui: 19 Desember 2024   07:19 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Ilustrasi Pilkada dari Indonesian Corruption Watch.

Penulis : Jefta Ramschie, SH.

Indonesia merupakan salah satu negara di Dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Implikasi dari dianutnya paham ini yaitu seluruh warga negara berperan aktif berdasarkan haknya terlibat dalam pegambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu "demos" yang berarti rakyat dan "kratos/kratein" yang berarti pemerintahan, yang jika disimpulkan maka sistem demokrasi memberikan ruang dan hak penuh bagi masyarakat untuk memegang atau menjalankan kekuasaan tertinggi dalam hal partisipasi politik maupun pengambilan keputusan dalam negara tersebut.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang di cetuskan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1863 yaitu goverment of the people, by the people, and for the people (Kekuasaan/Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).

Adapun indikator yang menjadi ciri utama suatu negara menganut sistem demokrasi yaitu, adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara, adanya pemilihan langsung dan yang terakhir yaitu terjaminnya kebebasan pers.

Namun ada hal menarik yang belakangan ini menjadi topik hangat terkait dengan wacana proses Pilkada yang diwakilkan oleh DPRD. Dilansir dari KompasTV,  Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Prabowo  guna memperbaiki sistem Politik di Indonesia yang dinilai berbiaya tinggi. Hal ini disampaikan beliau saat menghadiri HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul.

Beliau juga membandingkan pemilihan kepala daerah di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan India yang jauh lebih efisien dengan harapan bahwa Indonesia dapat menerapkan hal yang sama sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya dan uang negara bisa dialihkan untuk kebutuhan lainnya.

Lantas, bagaimana impilkasi hukum yang ditimbulkan jika proses Pilkada diwakilkan oleh DPRD? Simak ulasannya.

Pilkada Diwakili DPRD.

Isu terkait dengan efisiensi anggaran menjadi salah satu poin pertimbangan pemerintah untuk merubah pola demokrasi terkait pilkada di Indonesia. Namun hal ini secara signifikan akan berdampak buruk pada terganggunya nilai-nilai demokrasi yang nantinya akan berpengaruh pada stabilitas politik negara.

Pilkada yang diwakilkan oleh DPRD juga berpotensi disusupi oleh pihak-pihak yang ingin membangun sebuah sistem guna melanggengkan kedudukannya. Salah satu ciri otentik yang mendukung asumsi ini yaitu para calon legislator tidak akan pernah bisa maju secara independen untuk bertarung memperebutkan posisi, akan tetapi harus berdasarkan rekomendasi dari partai pengusung.

Selain itu juga, dapat dilihat pada realita yang terjadi dilapangan bahwa meskipun para legislator secara elektoral dipilih oleh masyarakat, akan tetapi dapat dilihat bahwa dalam praktiknya tak jarang jika legislator tersebut diperhadapkan dengan sebuah permasalahan dilematis antara mengikuti kehendak rakyat atau kehendak partai, maka sudah dipastikan bahwa akan lebih mengutamakan kehendak partai pengusung. 

Kemudian juga jika merujuk pada tugas, pokok dan fungsi, lembaga legislatif merupakan lembaga yang bertugas untuk membuat atau merumuskan undang-undang sekaligus juga sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh kinerja dari lembaga eksekutif selaku pelaksana undang-undang.

Dalam konteks ini, jika lembaga legislatif dipaksakan untuk mewakili rakyat dalam Pilkada maka akan menyalahi kewenangannya yang hanya berkedudukan sebagai lembaga pembuat undang-undang sekaligus juga sebagai instrumen pengawasan terhadap lembaga eksekutif, bukan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjalankan perintah undang-undang. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh pada sistem ketatanegaraan Indonesia.

Esensi Pemilihan Secara Langsung.

Pada prinsipnya Pemilu dan Pilkada memiliki kesamaan yaitu merupakan mekanisme yang disediakan kepada masyarakat untuk menggunakan hak suara agar dapat memilih atupun dipilih secara bebas tanpa intervensi dari pihak manapun.

 Kebebasan warga negara untuk menggunakan hak suara dalam proses pemilihan merupakan sebuah merupakan hak fundamental yang tidak dapat dipatahkan dengan dalil apapun. Karena melalui proses ini, masyarakat dapat memilih kandidat pemimpin/pejabat publik yang dikehendakinya tanpa ada intervensi dari berbagai pihak.

Hal ini juga merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratis berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Kondisi ini  tentunya timbul sebagai konsekuensi dari dianutnya sistem demokrasi yang beorientasi pada pemenuhan atau perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Sejalan dengan hal ini, Henry Mayo dalam bukunya Introduction to Democratic Theory mendefenisikan demokrasi sebagai sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum di tentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suanana terjaminnya kebebasan politik. Berarti dalam berdemokrasi, masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih pejabat publik dalam hal ini kepala daerah yang sesuai dengan hati nuraninya.

Namun ternyata dalam penerapannya pemerintah mengeluarkan wacana yang terkesan memberikan sinyal untuk mengekang hak asasi manusia. Hal ini tentunya akan sangat berbahaya bagi sistem demokrasi di Indonesia.

Regulasi Yang Mengatur.

Secara normatif, terdapat beberapa regulasi hukum yang mengatur terkait pemenuhan hak suara dan partisipasi oleh setiap warga negara dalam proses pemilihan. Adapun penjabarannya sebagai berikut:

Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:

(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya sendiri, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas.;

(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negaranya;

(3) Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.

Pasal 25 international Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik):

"Setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa adanya pembedaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan:

(a) Ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun diwakili oleh wakil-wakil yang dipilih secara bebas;

(b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan berekspresi dalam menyatakan kehendak dari para pemilih.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945:

"Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar."

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945:

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28D ayat (3) UUD 1945:

"Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan."

Pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM:

"Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Kemudian juga terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan terhadap Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 juga menegaskan bahwa:

"Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara."

Secara spesifik, ketentuan terkait Pemilu di atur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.

Adapun pengertian Pemilu sebagaimana di atur dalam Pasal 1 UU 7/2017 yaitu sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilijh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Begitu juga dengan ketentuan terkait Pilkada yang di atur dalam Pasal 1 UU 8/2015 yaitu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

Dari keseluruhan regulasi di atas, dapat dilihat bahwa regulasi tersebut secara tegas mengatur agar proses pemilihan dilakukan secara langsung dan bebas tanpa ada intervensi dari pihak manapun.

Wacana tersebut dirasa perlu untuk dikaji secara kompherensif oleh pemerintah untuk tidak salah arah dalam mengambil keputusan. Karena jika pemerintah tetap berkomitmen untuk melakukannya, maka akan menimbulkan keresahan yang akan berpengaruh pada kepercayan publik terhadap pemerintah.

Jika efisiensi biaya menjadi alasan utama, maka seyogyanya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu mengevaluasi seluruh prosedur mekanisme pelaksanaan pemilu yang berjalan di lingkup pemerintah tanpa mengesampingkan hak suara setiap warga negara, yang jika dibiarkan pastinya akan mengarah kepada suatu kondisi yang disebut dengan pembangkangan terhadap konstitusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun