Adapun pengertian Pemilu sebagaimana di atur dalam Pasal 1 UU 7/2017 yaitu sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilijh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Begitu juga dengan ketentuan terkait Pilkada yang di atur dalam Pasal 1 UU 8/2015 yaitu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.
Dari keseluruhan regulasi di atas, dapat dilihat bahwa regulasi tersebut secara tegas mengatur agar proses pemilihan dilakukan secara langsung dan bebas tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Wacana tersebut dirasa perlu untuk dikaji secara kompherensif oleh pemerintah untuk tidak salah arah dalam mengambil keputusan. Karena jika pemerintah tetap berkomitmen untuk melakukannya, maka akan menimbulkan keresahan yang akan berpengaruh pada kepercayan publik terhadap pemerintah.
Jika efisiensi biaya menjadi alasan utama, maka seyogyanya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu mengevaluasi seluruh prosedur mekanisme pelaksanaan pemilu yang berjalan di lingkup pemerintah tanpa mengesampingkan hak suara setiap warga negara, yang jika dibiarkan pastinya akan mengarah kepada suatu kondisi yang disebut dengan pembangkangan terhadap konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H