Mohon tunggu...
Jefta Ramschie
Jefta Ramschie Mohon Tunggu... Lainnya - Cogito ergo sum

Sarjana Hukum || Penulis amatiran yang ingin mengembangkan keterampilan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pembangkangan Konstitusi.

21 Agustus 2024   23:36 Diperbarui: 5 September 2024   08:31 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Sumber: Berita 99.co Indonesia. 

Penulis : Jefta Ramschie, SH.

 

Baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan polemik Keputusan Baleg (Badan Legislasi) DPR RI yang menyetujui Putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024, untuk menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 70/PUU-XXII/2024 yang nantinya akan digunakan sebagai preseden terkait syarat usia calon kepala daerah dalam Revisi UU Pilkada.

Berbagai dinamika yang terjadi dalam rapat Baleg pun terjadi, salah satunya yaitu Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi langsung mengatakan bahwa mayoritas fraksi telah memilih putusan MA, tanpa menginventaris daftar fraksi terlebih dahulu. Proses pengambilan keputusan terkait hal ini juga terkesan "terburu-buru", karena proses ini dilakukan kurang lebih hanya dalam waktu 7 jam. Lantas terkait permasalahan ini, dapatkah putusan MA dapat menganulir putusan yang dikeluarkan MK terkait syarat batas usia calon kepala daerah? Berikut penjelasannya.

A. Kedua Mahkamah Beserta Kewenangannya.

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi negara yang sama-sama membidangi urusan peradilan norma di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit di atur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa :

Pasal 24 ayat (1) :

"Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan       keadilan."

Pasal 24 ayat (2 :

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi."

Dari bunyi Pasal di atas, jika dikontekstualisasikan maka dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan dua lembaga tinggi negara yang memiliki tugas ,pokok, dan fungsi dalam menjalankan peradilan di Indonesia. Yang menjadi pembeda dari kedua mahkamah ini yaitu terkait dengan kewenangannya dalam mengadili norma sesuai tingkatannya. Mahkamah Agung (MA) Memiliki kewenangan untuk menguji Peraturan Perundang-undangan (ex:Perda) terhadap Undang-Undang.

 Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yaitu :

Pasal 31 ayat (1) :

"Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang."

Pasal 31 ayat (2) :

"Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi."

Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki tugas dan kewenangan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 yaitu :

24C ayat (1) :

  • Menguji Undang-Undang dengan UUD NRI 1945;
  • Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
  • Memutus pembubaran partai politik (parpol);
  • Memutus sengketa hasil pemilihan umum (pemilu).

24C ayat (2) :

"Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar."

Dengan kewenangan inilah, MK kemudian disebut sebagai Guardian of constitution (Penjaga Konstitusi).

B. Sifat Putusan.

Terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh kedua mahkamah, masing-masing memiliki karakteristik masing-masing yang akan dijabarkan sebagai berikut.

Putusan Mahkamah Agung merupakan putusan yang bersifat final, akan tetapi dalam penerapannya masih bisa dilakukan upaya hukum banding, kasasi sampai peninjauan kembali. Ini memberikan gambaran bahwa dalam hal penjatuhan putusan oleh Mahkamah Agung, masih disediakan upaya hukum bagi setiap pencari keadilan sehingga putusan ini saat pertama kali dikeluarkan masih belum bersifat mengikat.

Berbeda halnya dengan putusan Mahkamah konstitusi yang mana pada saat pertama kali diucapkan oleh mahkamah, maka sudah tidak ada lagi jalur upaya hukum yang bisa dilakukan untuk menyanggah/menganulir putusan tersebut. Hal ini secara eksplisit di atur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011.

"Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan Mahkamah konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

C. Legal Opinion Penulis.

Sebelum memberikan legal opinion terhadap anomali yang sedang terjadi, penulis ingin menegaskan bahwa tulisan ini sebenar-benarnya  murni  bersumber dari pemikiran penulis, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Tulisan ini juga merupakan manifestasi/perwujudan hak penulis sebagai warga Negara Republik Indonesia untuk menyampaikan pendapat serta dilindungi oleh negara sebagaimana yang di amanatkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945:

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."

*****

Merujuk pada penjelasan di atas, kita sama-sama dapat melihat kompleksitas perbedaan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga tinggi negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Saat ini masyarakat Indonesia sedang terpolarisasi antara mendukung keputusan Badan Legislasi DPR RI terkait penggunaan putusan MA dan mengesampingkan putusan MK ataupun sebaliknya.

Disetujuinya penggunaan putusan MA sebagai preseden dalam merevisi undang-undang Pilkada dengan alasan bahwa putusan MA lebih detail menjelaskan tentang syarat usia calon kepala daerah dibanding putusan MK dan juga terdapat alasan lain yaitu kedua mahkamah ini sama-sama mengadili norma, sehingga putusan yang dikeluarkan oleh MK tidak dapat menegasikan putusan yang dikeluarkan oleh MA.

Menurut hemat penulis, ini merupakan manifestasi dari logical fallacy (kesesatan berpikir) yang dilakukan saat mengambil suatu keputusan dalam kaitannya dengan perancangan undang-undang, sehingga dari keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Legislasi DPR RI tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan berimplikasi pada keabsahan dari aturan tersebut, sehingga terindikasi cacat hukum dan juga perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan inkonstitusional (tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar).

Terkait dengan pemaparan masing-masing kewenangan yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan MK merupakan satu-satunya lembaga tinggi negara yang memiliki kewenangan untuk mengadili norma terkait pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dan juga dalam hal penyelesaian sengketa hasil pemilu. 

Sedangkan MA tidak memiliki kewenangan untuk melakukan uji materil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dan juga tidak memiliki kewenangan untuk memutus sengketa hasil pemilu ataupun turunannya. Namun terkait dengan pengujian, MA hanya memiliki kewenangan melakukan uji materil bagi peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 31 ayat(1) dan (2) UU Mahkamah Agung.

Kewenangan ini mengisyaratkan bahwa dalam hal pemilu, MK pun juga memiliki kewenangan untuk mengatur segala mekanisme yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum ataupun turunannya, sehingga harus dipatuhi oleh semua pihak sesuai dengan prinsip erga omnes.

Merujuk pada hal ini, maka secara norma MK pun memilki kewenangan untuk membatalkan hasil pemilihan umum ataupun turunannya. Sehingga yang kedapatan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan putusan MK,  maka hal tersebut akan berimplikasi pada pemberlakuan pemungutan suara ulang ataupun di diskualifikasinya kandidat tersebut. Sehingga dalam hal ini, putusan MA tidak dapat menganulir putusan MK terkait batas usia calon kepala daerah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun