Terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh kedua mahkamah, masing-masing memiliki karakteristik masing-masing yang akan dijabarkan sebagai berikut.
Putusan Mahkamah Agung merupakan putusan yang bersifat final, akan tetapi dalam penerapannya masih bisa dilakukan upaya hukum banding, kasasi sampai peninjauan kembali. Ini memberikan gambaran bahwa dalam hal penjatuhan putusan oleh Mahkamah Agung, masih disediakan upaya hukum bagi setiap pencari keadilan sehingga putusan ini saat pertama kali dikeluarkan masih belum bersifat mengikat.
Berbeda halnya dengan putusan Mahkamah konstitusi yang mana pada saat pertama kali diucapkan oleh mahkamah, maka sudah tidak ada lagi jalur upaya hukum yang bisa dilakukan untuk menyanggah/menganulir putusan tersebut. Hal ini secara eksplisit di atur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011.
"Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan Mahkamah konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
C. Legal Opinion Penulis.
Sebelum memberikan legal opinion terhadap anomali yang sedang terjadi, penulis ingin menegaskan bahwa tulisan ini sebenar-benarnya  murni  bersumber dari pemikiran penulis, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Tulisan ini juga merupakan manifestasi/perwujudan hak penulis sebagai warga Negara Republik Indonesia untuk menyampaikan pendapat serta dilindungi oleh negara sebagaimana yang di amanatkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."
*****
Merujuk pada penjelasan di atas, kita sama-sama dapat melihat kompleksitas perbedaan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga tinggi negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Saat ini masyarakat Indonesia sedang terpolarisasi antara mendukung keputusan Badan Legislasi DPR RI terkait penggunaan putusan MA dan mengesampingkan putusan MK ataupun sebaliknya.
Disetujuinya penggunaan putusan MA sebagai preseden dalam merevisi undang-undang Pilkada dengan alasan bahwa putusan MA lebih detail menjelaskan tentang syarat usia calon kepala daerah dibanding putusan MK dan juga terdapat alasan lain yaitu kedua mahkamah ini sama-sama mengadili norma, sehingga putusan yang dikeluarkan oleh MK tidak dapat menegasikan putusan yang dikeluarkan oleh MA.
Menurut hemat penulis, ini merupakan manifestasi dari logical fallacy (kesesatan berpikir) yang dilakukan saat mengambil suatu keputusan dalam kaitannya dengan perancangan undang-undang, sehingga dari keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Legislasi DPR RI tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan berimplikasi pada keabsahan dari aturan tersebut, sehingga terindikasi cacat hukum dan juga perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan inkonstitusional (tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar).