Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan tercela dan bentuk dari penyakit sosial masyarakat, sehingga korupsi dikategorikan sebagai suatu tindak pidana (straafbarfeit). Perkara tindak pidana korupsi merupakan perkara yang dapat digolongkan ke dalam suatu kejahatan yang disebut dengan “white colar crime” yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat dan dilakukan sehubungan dengan tugas atau pekerjaannya.
Tindak pidana korupsi dalam jumlah besar berpotensi merugikan keuangan negara sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu negara. Korupsi juga dapat diindikasikan sebagai alasan timbulnya bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain baik bersifat domestik maupun transnasional. Korupsi jelas-jelas telah merusak mental pejabat yang mengelolah keuangan tersebut.
Tindak pidana korupsi merupakan yang bersifat luarbiasa (extraordinary crime) yang berpotensi merusak dan mengancam stabilitas kehidupan bangsa. Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, disamping itu juga merupakan perilaku kejahatan yang sulit ditanggulangi.
Kejahatan korupsi selalu memiliki korelasi dengan tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, berarti dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya oknum tersebut melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan job description yang dimilikinya dan melanggar sumpah saat ia diangkat menjadi pejabat ataupun pegawai negeri sipil. Merujuk pada hal ini, apakah mungkin seseorang yang pernah menyalahgunakan kewenangan dan melanggar sumpah dapat diberikan tanggungjawab yang sama seperti yang pernah dilanggar tersebut?
Bertalian dengan hal ini, terdapat satu kasus yang bisa dijadikan sebagai preseden dalam melihat permasalahan ini yaitu kasus Eks Bupati Kudus. M Tamzil yang pada tahun 2018 merupakan Bupati Kudus terpilih, kembali ditangkap atas kasus suap yang dilakukannya terkait pengisian jabatan.
Sebelumnya, Tamzil pernah ditangkap karena melakukan perbuatan korupsi atas bantuan dana sarana dan prasarana pendidikan, meskipun pada akhir tahun 2015 ia telah menyelesaikan masa hukuman. Dari kasus ini, dapat dilihat bahwa seseorang yang pernah melakukan kejahatan, berpotensi untuk melakukan kejahatan yang serupa di masa yang akan datang.
Experience is the best teacher merupakan pepatah yang jika dikaitkan dengan perilaku koruptor, maka akan sangat memberikan dampak signifikan yang berimplikasi terhadap pembaruannya metode korupsi itu dilakukan. Dengan pernah diprosesnya pelaku, bukan tidak mungkin telah memberikan suatu pelajaran berharga bagi oknum tersebut untuk melakukan tindak pidana korupsi menggunakan metode/cara yang lebih "canggih", agar perbuatannya tidak ketahuan di masa yang akan datang.
Upaya seperti ini seyogyanya dapat dilihat secara cermat oleh masyarakat, agar dalam pengambilan keputusan terkait kandidat seperti ini tidak semata-mata dilakukan hanya sebagai langkah pemenuhan hak asasi, namun juga sebagai bentuk dari partisipasi masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Terkait dengan hal ini, jika masyarakat melihat terdapat suatu hal yang janggal, maka masyarakat juga memiliki hak untuk melayangkan protes kepada pemerintah terkait dengan majunya mantan narapidana koruptor di Pilkada 2024. Hak tersebut secara eksplisit dimuat dalam Padal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu :
“Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan dan/atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintah yang bersih, efektif dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Terlepas dari segala aturan yang ada, memilih seseorang yang memiliki track record sebagai eks narapidana korupsi tentunya dapat digambarkan sebagai manifestasi dari degradasi moral demokrasi dalam upaya untuk memberantas kejahatan korupsi melalui pemimpin yang bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini tentunya bertentangan dengan tanggungjawab moralitas kita sebagai bangsa yang memiliki etika dalam kaitannya dengan spirit pemberantasan korupsi di Indonesia.