Penulis : Jefta Ramschie.
Masyarakat Indonesia telah melewati proses Pemilu dengan segala dinamika politik yang terjadi. Pertarungan yang cukup sengit dalam memperjuangkan visi dan misi, dan juga sebagai ajang untuk menarik simpati masyarakat pun dilakukan dengan berbagai macam cara. Kini, Indonesia akan memasuki "babak baru" yaitu kontestasi pilkada 2024 dalam memperebutkan kursi calon kepala dan wakil kepala daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati dan Walikota.
Secara garis besar, Pilkada merupakan proses pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat administratif daerah setempat yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih tetap. Proses Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan juga diawasi oleh Panwaslu. Peserta dari Pilkada ini yaitu bakal calon yang telah diusung oleh partai atau gabungan partai (koalisi), untuk bersaing memperebutkan kursi nomor satu di daerah sesuai tingkatannya.
Pada kondisi dewasa sekarang ini, segala macam persiapan telah dilakukan oleh calon kandidat sebagai langkah untuk menentukan strategi dan arah kebijakan dalam menghadapi gempuran-gempuran yang akan terjadi pada kontestasi politik yang akan berjalan ini. Namun, ada hal menarik yang menyita perhatian publik yaitu terdapat Eks Narapidana KPK yang turut megambil formulir pendaftaran diri untuk maju sebagai calon Bupati, yaitu di daerah Banyuwangi (Jawa Timur) dan Kebumen (Jawa Tengah).
Lantas, bagaimana legalitas/keabsahan seorang eks narapidana KPK dalam mengikuti kontestasi Pilkada 2024? Berikut penjelasannya.
Regulasi yang mengatur.
Secara normatif, setiap orang memiliki hak yang sama dalam berpolitik ataupun juga untuk ada dalam suatu struktur pemerintahan. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat 3 :
"Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan."
Selain itu, hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) secara eksplisit juga diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu :
"Setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seusai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Kemudian terkait dengan tata cara pendaftaran diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rangka mengikuti kontestasi Politik diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo. ayat (2) huruf g Undang-Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Adapun bunyi Pasalnya sebagai berikut :
Pasal 7 ayat (1) jo. ayat (2) huruf g :
"(1) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
(2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;"
Ambiguitas regulasi.
Aturan ini seakan memberikan karpet merah bagi eks narapidana koruptor untuk dapat kembali maju ke perhelatan kontestasi politik. Menurut aturan ini, eks narapidana KPK boleh menggunakan haknya untuk maju ke perhelatan kontestasi politik pilkada tahun 2024, jika oknum tersebut secara terbuka dan dengan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana.
Hal ini tentunya menimbulkan polemik yang berdampak pada terpolarisasinya masyarakat, karena sebagian masyarakat yang tergolong sebagai kaum elit atau yang memiliki kepentingan langsung dengan hal itu memilih untuk berpegang pada Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang pada pokoknya mengatur tentang hak asasi berpolitik yang berimplikasi kepada hak untuk memilih dan dipilih, dan/atau juga sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa pemimpin yang berkualitas itu dapat dilihat pada catatan perjalanan (track record) yang bersih.
Menanggapi hal ini, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019, berpegang pada yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009 yang pada pokoknya mengatur bahwa :
"bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan menunggu waktu selama 5 (lima) tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah. Hal tersebut kecuali terhadap calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa."
Berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mantan narapidana yang dalam hal jika ditarik ke dalam konteks tindak pidana korupsi, secara regulasi memiliki keabsahan untuk maju ke kontestasi politik pilkada 2024 sebagai calon kepala daerah.
Legal opinion penulis.
Kendatipun sudah ada aturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang dalam hal ini memiliki kewenangan untuk mengadili norma dengan memberikan pembatasan tenggat waktu bagi mantan narapidana untuk ikut berpolitik, masyarakat haruslah tetap bersikap bijak dalam menentukan pilihannya terkait pemimpin di masa yang akan datang.
Menurut hemat penulis, seorang mantan narapidana korupsi akan sangat sulit terlepas dari godaan yang timbul saat menduduki jabatan penting. Mau diberikan tenggat waktu berapa lamapun, tidak akan merubah naluri seseorang untuk melakukan kejahatan tersebut. Mengingat manusia merupakan makhluk yang penuh dengan keterbatasan, maka mantan narapidana korupsi sepatutnya dibatasi haknya untuk maju menjadi kepala daerah, demi kepentingan/kemaslahatan hak banyak orang dan sebagai langkah untuk mencegah perbuatan tersebut terjadi kembali.
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan tercela dan bentuk dari penyakit sosial masyarakat, sehingga korupsi dikategorikan sebagai suatu tindak pidana (straafbarfeit). Perkara tindak pidana korupsi merupakan perkara yang dapat digolongkan ke dalam suatu kejahatan yang disebut dengan “white colar crime” yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat dan dilakukan sehubungan dengan tugas atau pekerjaannya.
Tindak pidana korupsi dalam jumlah besar berpotensi merugikan keuangan negara sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu negara. Korupsi juga dapat diindikasikan sebagai alasan timbulnya bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain baik bersifat domestik maupun transnasional. Korupsi jelas-jelas telah merusak mental pejabat yang mengelolah keuangan tersebut.
Tindak pidana korupsi merupakan yang bersifat luarbiasa (extraordinary crime) yang berpotensi merusak dan mengancam stabilitas kehidupan bangsa. Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, disamping itu juga merupakan perilaku kejahatan yang sulit ditanggulangi.
Kejahatan korupsi selalu memiliki korelasi dengan tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, berarti dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya oknum tersebut melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan job description yang dimilikinya dan melanggar sumpah saat ia diangkat menjadi pejabat ataupun pegawai negeri sipil. Merujuk pada hal ini, apakah mungkin seseorang yang pernah menyalahgunakan kewenangan dan melanggar sumpah dapat diberikan tanggungjawab yang sama seperti yang pernah dilanggar tersebut?
Bertalian dengan hal ini, terdapat satu kasus yang bisa dijadikan sebagai preseden dalam melihat permasalahan ini yaitu kasus Eks Bupati Kudus. M Tamzil yang pada tahun 2018 merupakan Bupati Kudus terpilih, kembali ditangkap atas kasus suap yang dilakukannya terkait pengisian jabatan.
Sebelumnya, Tamzil pernah ditangkap karena melakukan perbuatan korupsi atas bantuan dana sarana dan prasarana pendidikan, meskipun pada akhir tahun 2015 ia telah menyelesaikan masa hukuman. Dari kasus ini, dapat dilihat bahwa seseorang yang pernah melakukan kejahatan, berpotensi untuk melakukan kejahatan yang serupa di masa yang akan datang.
Experience is the best teacher merupakan pepatah yang jika dikaitkan dengan perilaku koruptor, maka akan sangat memberikan dampak signifikan yang berimplikasi terhadap pembaruannya metode korupsi itu dilakukan. Dengan pernah diprosesnya pelaku, bukan tidak mungkin telah memberikan suatu pelajaran berharga bagi oknum tersebut untuk melakukan tindak pidana korupsi menggunakan metode/cara yang lebih "canggih", agar perbuatannya tidak ketahuan di masa yang akan datang.
Upaya seperti ini seyogyanya dapat dilihat secara cermat oleh masyarakat, agar dalam pengambilan keputusan terkait kandidat seperti ini tidak semata-mata dilakukan hanya sebagai langkah pemenuhan hak asasi, namun juga sebagai bentuk dari partisipasi masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Terkait dengan hal ini, jika masyarakat melihat terdapat suatu hal yang janggal, maka masyarakat juga memiliki hak untuk melayangkan protes kepada pemerintah terkait dengan majunya mantan narapidana koruptor di Pilkada 2024. Hak tersebut secara eksplisit dimuat dalam Padal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu :
“Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan dan/atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintah yang bersih, efektif dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Terlepas dari segala aturan yang ada, memilih seseorang yang memiliki track record sebagai eks narapidana korupsi tentunya dapat digambarkan sebagai manifestasi dari degradasi moral demokrasi dalam upaya untuk memberantas kejahatan korupsi melalui pemimpin yang bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini tentunya bertentangan dengan tanggungjawab moralitas kita sebagai bangsa yang memiliki etika dalam kaitannya dengan spirit pemberantasan korupsi di Indonesia.
Maka seyogyanya masyarakat yang dalam hal ini bertindak selaku pemilih dapat memilih kandidat berdasarkan hati nurani guna mewujudkan birokrasi yang bersih di daerahnya dengan cara memilih pemimpin yang berintegritas dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H