Berdasarkan pengertian dari istilah tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan strategi yang digunakan dalam menentukan arah kebijakan dan juga sebagai preseden dalam hal penanggulangan suatu tindak pidana.
Dalam arti luas, kebijakan kriminal juga dapat dikatakan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menindaklanjuti perbuatan-perbuatan yang jika dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu menimbulkan kerugian, serta menentukan arah kebijakan yang akan digunakan untuk menanggulangi perbuatan terlarang/pidana tersebut guna mewujudkan ketertiban umum dan kesejahteraan masyarakat.
Mulder berpendapat bahwa strafrechtpolitiek ialah suatu garis kebijakan dalam menentukan :
a. Perlukah peraturan-peraturan pidana diubah atau diperbaharui.
b. Langkah apa yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana.
c. Mekanisme tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan hingga pemidanaan itu sendiri.
Sejalan dengan pendapat di atas, G.P Hoefnagels dalam bukunya yang berjudul sisi lain dari kriminologi, menjelaskan bahwa kebijakan kriminal merupakan upaya rasional yang timbul dari kejahatan yang dilakukan dan untuk menentukan arah kebijakan kriminal (criminal policy) terkait dengan perbuatan tersebut, maka harus ada pengkajian lebih dalam dan dilakukan dengan perencanaan yang rasional.
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal 2 bentuk kebijakan yang sering diterapkan untuk mencegah ataupun menanggulangi suatu perbuatan pidana, yaitu kebijakan non-penal (preventif) dan kebijakan penal (represif), dan kaitannya dengan kebijakan penanganan tindak pidana.
a.Kebijakan Non-Penal.
Kebijakan Non-Penal adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai langkah-langkah preventif yang menitik-beratkan pada usaha untuk mencegah suatu perbuatan pidana (delict) dilakukan tanpa adanya upaya represif yang diterapkan oleh pemerintah.
b.Kebijakan Penal.
Kebijakan Penal adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai langkah-langkah represif yang menitik-beratkan pada usaha untuk memberantas/menanggulangi suatu perbuatan pidana (delict)Â yang dilakukan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bisa dilihat bahwa pendidikan anti korupsi bagi anak usia dini termasuk ke dalam kebijakan hukum pidana non-penal yang mengedepankan upaya preventif/pencegahan suatu tindak pidana dilakukan.Â
Hal ini dilakukan untuk meminimalkan penyebab dan peluang untuk dilakukannya tindak pidana korupsi melalui penataan dalam berbagai sektor kehidupan sosial.Â
Jika ditarik kedalam konteks pendidikan anti korupsi bagi anak usia dini, maka hal ini juga termasuk sebagai upaya pengoptimalisasian peran orang tua sebagai pengayom sekaligus pendidik di lingkungan keluarga.
Setelah nilai-nilai anti korupsi berhasil ditanamkan kepada anak, maka akan berimplikasi terbentuknya generasi yang memiliki kualitas moral  yang unggul dan bisa menjadi garda terdepan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, menuju Indonesia emas 2045.
Dengan demikian, orang tua telah turut mengambil bagian dalam upaya pemberantasan korupsi sebagai bentuk dari partisipasi masyarakat dalam upaya memerangi tindak pidana korupsi di Indonesia.