Mohon tunggu...
Jefta Ramschie
Jefta Ramschie Mohon Tunggu... Lainnya - Cogito ergo sum

Sarjana Hukum || Penulis amatiran yang ingin mengembangkan keterampilan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dinamika Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

3 Mei 2024   12:23 Diperbarui: 3 Mei 2024   12:24 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Data survei Lembaga Survei Indonesia tentang pendapat masyarakat terkait hukuman bagi pelaku korupsi timah.

Penulis : Jefta Ramschie

Kejahatan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat dan juga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Kemajuan kehidupan sosial masyarakat dan IPTEK, mengakibatkan berkembangnya bentuk kejahatan, bahkan modus operandi yang digunakan pelaku untuk melakukan kejahatan, salah satunya adalah kejahatan korupsi.

 Di Indonesia tindak pidana korupsi bukan hal yang baru lagi, melainkan sudah familiar di telinga masyarakat.

Jika di analogikan, tindak pidana korupsi ini bagaikan penyakit kanker stadium akhir yang rasanya mustahil untuk diobati, karena banyak sekali kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam lingkup pemerintah pusat bahkan juga dalam lingkup pemerintah daerah.

Tindak pidana korupsi tergolong sebagai Tindak Pidana Khusus "bijzonder schuld", yang mana ketentuan pidana dari kejahatan tersebut terdapat diluar kodifikasi hukum pidana (KUHP) dan di atur dalam Undang-Undang.

Saat ini Indonesia sedang mengalami degradasi moral. Hal ini ditandai dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para stakeholder di Indonesia. Oleh karena itu tidak ada waktu lagi untuk menunda, sudah saatnya seluruh elemen masyarakat melakukan perang terhadap korupsi.

Hal ini Jika dibiarkan maka akan menimbulkan efek negatif bagi perekonomian suatu negara, kesejahteraan masyarakat dan pembangunan infrastruktur.

Korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, sehingga bisa disebut sebagai suatu tindak pidana.

Defenisi lain tentang tindak pidana korupsi juga terdapat dalam Kamus lengkap Webster's Third New International Dictionary yang mendefenisikan korupsi merupakan ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh pejabat publik (pelanggaran tugas).

Tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai "white collar crime". White collar crime merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai profesi tertentu, atau yang mempunyai strata kehidupan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat.

 White Collar Crime pertama kali dikemukakan oleh Edward A. Ross dan dipopulerkan oleh Edwin Sutherland pada 1939 dalam pidatonya di hadapan the American Sociological Society.

Sumber : statistik pelaku tindak pidana berdasarkan jabatan/profesi pelaku (KPK).
Sumber : statistik pelaku tindak pidana berdasarkan jabatan/profesi pelaku (KPK).
Kejahatan kerah putih ini di Indonesia banyak dikenal dalam bentuk kejahatan dengan nama KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Korupsi bisa dikatakan sebagai suatu tindakan tidak jujur dan busuk yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara dan jika dilihat dari perspektif normatif, kejahatan ini bisa merusak tatanan negara.


Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu coruuption atau corruptus yang selanjutnya disebutkan corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptive (korruptie) yang mengandung arti perbuatan korup ataupun penyuapan. (Sumber : Andi Hamzah : 2006)

Tindak pidana korupsi dapat dikatakan sebagai penyebab timbulnya bahaya bagi kehidupan manusia, karena korupsi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif yang dampak dari korupsi itu sendiri sangat luas. Hal tersebut bisa berdampak buruk ke dunia pendidikan, penyedia sandang pangan masyarakat, kesehatan, pembangunan sumber daya manusia, politik suatu negara, fungsi-fungsi pelayanan sosial baik yang bersifat domestik maupun transnasional.

Secara normatif di Indonesia mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi beserta sanksi pidana yang akan didapatkan jika seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Contohnya seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No 20 Tahun 2001 mendefinisikan tindak pidana korupsi beserta sanksi sebagai berikut :
Pasal 2 Ayat (1) :
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)."
Pasal 3:
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Lika-liku penegakan hukum.
Dari pengertian korupsi dan pemaparan Pasal pada paragraf sebelumnya, dapat dilihat bahwa pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun menariknya tindak pidana korupsi, terus berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tentunya ini menjadi masalah yang patut diberikan perhatian ekstra guna mencari latar belakang penyebab masalah ini terjadi.


Di Indonesia, terdapat perbincangan terkait dengan pemberlakuan sanksi yang tepat untuk menimbulkan efek jerah yang kuat, salah satunya pidana mati. Pidana mati bagi koruptor masih sangat alot diperdebatkan. Sampai masyarakat Indonesia pun terpolarisasi berdasarkan keyakinan mereka masing-masing.


Sebagian masyarakat Indonesia menyatakan dirinya pro kepada HAM (kaum abilisionis) dan mereka beranggapan bahwa tindakan mencabut nyawa milik orang lain itu merupakan hak mutlaknya Tuhan. Masyarakat ini memiliki keyakinan bahwa hukuman mati bagi koruptor bukanlah jalan keluar yang baik dan ditakutkan tidak akan memberikan efek jerah bagi koruptor.

 
Masyarakat yang lain beranggapan bahwa, jika koruptor saja melakukan tindak pidana korupsi tanpa memikirkan kemaslahatan kehidupan masyarakat, kenapa harus ditoleransi (kaum retensionis). Sebagian masyarakat ini berkeyakinan bahwa dengan diberlakukannya hukuman mati bagi korupsi, maka indeks persentasi tindak pidana korupsi akan megalami penurunan, karena hukuman mati ini dapat memberikan efek jerah yang kuat bagi koruptor.


Progresivitas kesadaran masyarakat dan hukum.
Seiring berjalannya waktu dan juga seakan menjawab perdebatan yang selama ini terjadi, kini pemerintah telah mengambil langkah dengan cara menginisiasi pembentukan undang-undang perampasan aset yang sekarang ini statusnya masih sebagai draft rancangan undang-undang (RUU). Yang mekanismenya pun telah diatur sedemikian rupa dalam hal mendukung pengembalian kerugian negara.


Jika telah disahkan menjadi suatu undang-undang, dalam penerapannya menganut konsep non conviction based atau perampasan aset tanpa pemidanaan. Dengan metode ini, pemerintah akan lebih muda dalam memberantas tindak pidana yang menggunakan uang dengan skala yang besar, seperti korupsi.


Upaya pemerintah dalam mengsahkan RUU Perampasan Aset menjadi suatu undang-undang perlu mendapat dukungan dan dorongan dari semua kalangan. Pasalnya, perampasan aset sangat membawa pengaruh yang signifikan terhadap upaya penyelamatan kerugian negara.


Terkait dengan perampasan aset, hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah terhadap pejabat-pejabat yang memiliki harta kekayaan dengan jumlah yang mencurigakan dan tidak jelas asal-usulnya. Jika status kekayaan pejabat tersebut diperiksa dan ditemukan kejanggalan, maka negara dapat mengajukan gugatan ke pengadilan guna merampas aset dari pejabat yang terindikasi nakal tersebut.

Sumber : Data survei Lembaga Survei Indonesia tentang pendapat masyarakat terkait hukuman bagi pelaku korupsi timah.
Sumber : Data survei Lembaga Survei Indonesia tentang pendapat masyarakat terkait hukuman bagi pelaku korupsi timah.
Berkaca dari kasus korupsi timah yang melibatkan public figur serta menimbulkan kerugian negara mencapai Rp.271T, dan juga berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukan bahwa 39.9% masyarakat setuju diterapkannya perampasan aset terhadap koruptor. Hal ini tentunya memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan bahaya dari korupsi itu sendiri.


Sejalan dengan data di atas, hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas per tanggal 4-6 April 2024 juga menunjukan bahwa 87.9% masyarakat memberikan tanggapan dengan menilai bahwa salah satu alasan masih maraknya korupsi terjadi di Indonesia adalah karena masih lemahnya aturan untuk memiskinkan pelaku korupsi itu sendiri (sumber : Litbang Kompas).

Langkah ini sangatlah tepat untuk memberikan efek jerah jangka panjang kepada koruptor. Karena dengan menggunakan pendekatan in rem, kendati orangnya tidak dipidana, akan tetapi orang tersebut akan berpikir keras untuk melakukan tindak pidana korupsi. Karena jika tertangkap, maka harta kekayaannya yang berkaitan dengan aset tindak pidana akan dirampas oleh negara.

Selain itu juga, hal ini sangat efektif karena memfokuskan spirit penegakan hukum langsung kepada inti dari permasalahan korupsi, yang mana jika ditarik ke dalam konteks ini yaitu berarti aset yang didapat/digunakan dalam melakukan tindak pidana. Karena seyogyanya, tanpa aset maka para koruptor akan mengalami kesulitan untuk melakukan perbuatannya, dan juga hal ini dapat menjadi warning bagi oknum-oknum yang ingin melakukan perbuatan tercela tersebut.

Selain efektivitasnya, penerapan aturan ini akan mengurangi gesekan antara kaum abilisionis dan retentionis yang memperdebatkan antara Supremasi HAM dan penegakan hukum di republik ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun