Mohon tunggu...
Jeff NdunJr
Jeff NdunJr Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Sampah Inzphyrasi

Menulis itu ilahi. Melaluinya setiap orang menjadi abadi dalam waktu dan ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Integral: Mengajarkah dengan Diri Bukan dengan Gelar

16 Februari 2022   09:28 Diperbarui: 16 Februari 2022   09:36 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto.christian.com

A. CERITA SINGKAT

Namanya adalah Christian. Umurnya sekitar 3-4 tahun. Pada malam itu, 14 Februari 2022, tepatnya Hari Valentine, ia datang ke pastoran Paroki Kristus Raja Seon. Ia memaksa ayahnya yang sementara bekerja lembur di sekolah untuk datang. Maklum sekolah dan gereja begitu dekat. Hal yang membuat ia datang adalah ketika mendengar suara musik. Malam itu, komunitas Pastoran Paroki Kristus Raja Seon sementara merayakan Valentine Day dalam nuansa sederhana. Tidak ada tukar kado, tidak ada ratu dan pangeran Valentine. Hanyalah makan bersama, bermain aneka permainan dan juga karaoke. Christian datang hanya untuk karaoke.

Setelah diantar oleh ayahnya, ia bergabung dengan anak-anak asrama. Ayahnya pulang kembali ke sekolah. Ia tidak merasa takut atau sendirian. Justru menikmatinya. Dengan mic di tangan, ia mulai melantunkan beberapa lagu. Tanpa melihat syair lagu dalam HP. Ia menyanyi dengan begitu tenang dan sungguh menikmati. Kemampuan feeling musiknya pun tepat sekali. Banyak mata terpukau menyaksikannya. Bahkan ada yang katakan "dia hafal lagu. Dia suara bagus". Lagu-lagu pilihannya pun tergolong rumit kalau diukur dari segi usia. Bukan lagu anak-anak yang ia nyanyikan tetapi lagu pop;"Janji Putih", "Sahabat Kecil", "Angin Datang Kasi Kabar", dan lain-lain. Anak-anak asrama yang menyaksikannya pun akhirnya turut bernyanyi bersamanya.

Malam telah menunjukkan pukul 21. 00 lebih, ayahnya datang untuk mengajaknya pulang. Lagi-lagi ia menolak secara halus. 'satu lagu lagi ya...", katanya. Kembali lantunan suara kecil nan merdu menghiasi jagat malam. Menambah makna Valentine Day saat itu. Menghanyutkan siapa saja untuk merindukan yang jauh atau menghargai yang ada bersama. Ia pulang dengan suka cita dan wajah berseri. Seolah ada kelepasan yang ia alami. Sebab menurut ayahnya, sudah lama ia tidak karaoke. Ia memang hobi menyanyi. Itulah sepenggal kisah tentang  Christian.

A. PENDIDIKAN INTEGRAL

Pola pendidikan yang perlu diusahakan dalam dunia ini adalah pola pendidikan Integral. Pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek dalam diri seseorang. Pendidikan kognitif, pendidikan afeksi, pendidikan spiritual, pendidikan keterampilan, pendidikan minat dan bakat, pendidikan kinestetik dan lain sebagainya.

Pola pendidikan ini sudah seharusnya dilakukan sejak awal dan di dalam keluarga. Gurunya adalah orang tua. Orang tua perlu melihat segala kemampuan yang ada pada anaknya. Mungkin tentang pendidikan kognitif sifatnya terbatas karena membutuhkan profesionalisme khusus tetapi untuk pendidikan afeksi dan minat-bakat, itu seharusnya menjadi tanggung jawab dan domain dari orang tua.

Nampak bahwa ketika berbicara tentang pendidikan orang langsung berpikiran ke arah pengembangan kognitif atau pengembangan otak. Karena itu, anak banyak disuruh untuk belajar di rumah. Membaca, menulis, dan menghitung. Toh tidak salah tetapi sering menimbulkan pemaksaan dan kekerasan secara halus hanya untuk anak belajar. Sebab sasarannya adalah supaya nilai anak tinggi, nilai rapor tidak di bawah standar yang ditentukan dan kalau bisa juara. Pendidikan yang lain terkesan diabaikan. Salah satunya adalah pendidikan minat-bakat.

Pendidikan integral sangat perlu dikembangkan agar menghasilkan kepribadian yang seimbang. Walaupun berjalan lambat atau pelan namun sungguh membawa keutuhan dalam diri anak. Penekanan pada satu aspek, mungkin membawa akselerasi dalam hal tertentu tetapi itu sangat tidak sehat untuk masa depan anak.

B. MENGAJARLAH DENGAN DIRI BUKAN DENGAN GELAR

Fenomena dalam pendidikan zaman ini adalah guru atau orang tua mengajar dengan gelar yang melekat padanya. Kalau guru fisika ya mengajar fisika, kalau guru bahasa Inggris ya mengajar bahasa Inggris. Pola ini sebenarnya menggambarkan bahwa guru mengajar karena kerja bukan karena tanggung jawab dan panggilan pemanusiaan manusia. Akibatnya, guru hanya memiliki kesempatan pada saat jam mengajarnya, pada saat di sekolah. Pola ini juga sebenarnya memposisikan pendidikan terkait dengan ilmu saja.

Hendaklah guru mengajar dengan dirinya. Ketika guru mengajar dengan dirinya, ia tidak saja memberikan ilmunya tetapi juga memberikan nilai-nilai lain. Nilai-nilai lain itu seperti bakatnya, keterampilannya dan sebagainya. Kalau guru hanya mengajar dengan gelarnya, ia hanya memberikan ilmunya.

Sering kali guru-orang tua dan atau murid menjadi jenuh bahkan minim kreatif karena guru-orang tua hanya mengajar dengan gelarnya bukan dirinya. Akibatnya pengajaran terkesan monoton dan bersifat mekanistis. Pengajaran dengan seluruh diri memungkinkan terbukanya ruang-ruang kreatifitas dari guru dan juga murid. MENGAJARLAH DENGAN DIRI BUKAN DENGAN GELAR

C. KERJA SAMA GURU-ORANG TUA-MASYARAKAT

Membentuk manusia menjadi lebih manusia bukan urusan satu pihak tetapi urusan banyak pihak. Pihak-pihak itu adalah orang tua, guru dan masyarakat. Orang tua memiliki tanggung jawab di rumah, guru di sekolah sedangkan masyarakat di dalam lingkungan sosial masyarakat. Ketiganya perlu membangun sebuah kolaborasi yang baik. Tidak ada lempar tanggung jawab apalagi lepas tanggung jawab.

Persoalan yang sering ditemukan adalah pendidikan di masyarakat seolah tidak ada guru di sana. Anak-anak belajar dari sesuatu yang terberi. Anak-anak seolah dipaksa untuk menarik dan memetik nilai sendiri di dalam lingkungan masyarakat. Anak-anak seolah berjalan mencari sesuatu, sesuai yang dinginkan. Mengapa demikian? Lingkungan masyarakat lebih dilihat sebagai lingkungan terbuka dan bebas nilai. Pola-pola nilai budaya, agama, politik dan lain-lain seolah dimasukan ke dalam ruang privasi dan tertutup.

Untuk itu masing-masing pihak perlu merekonstruksi kembali tugas dan tanggung jawabnya dalam pendidikan. Orang tua membangun tanggung jawab yang penuh. Sekolah membangun tanggung jawab tidak hanya sebagai pemberian dari luar tetapi panggilan dalam diri. Di dalam masyarakat, perlu penguatan sekaligus pembentukan sistem nilai budaya, nilai agama, nilai politik yang kuat dan jelas agar menciptakan suasana masyarakat-sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun